Konten dari Pengguna

Bisakah Demokrasi Naik Kelas?

Fathin Robbani Sukmana
Penulis dan Pengamat Kebijakan Publik, Manajer Riset, Publikasi dan Media di Seknas LS-VINUS
27 Mei 2024 8:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathin Robbani Sukmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seminar. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seminar. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Pasca Pemilu 2024, demokrasi di Indonesia dianggap menurun, karena diduga aktor-aktor politik banyak mempertontonkan pelanggaran terhadap undang-undang di dalam pelaksanaan pesta demokrasi untuk rakyat, namun rupanya banyak dari mereka yang menabrak berbagai regulasi demi memanjangkan kekuasaan atas nama pembangunan bangsa.
ADVERTISEMENT
Publik dikagetkan dengan berbagai akrobat politik seperti perubahan konstitusi secara mendadak, belum lagi Ketua KPU RI yang seharusnya menjadi wasit dalam kompetisi Pemilu 2024 justru terlihat keberpihakannya, pelanggaran berat sudah sering dijatuhkan namun ia tetap bertahan pada posisinya.
Ketua DPD RI bahkan menyebutkan bahwa kualitas demokrasi pasca Pemilu 2024 telah menurun akibat dari Amandemen Konstitusi secara mendadak. Bahkan ia menuturkan Pemilu 2024 disebut dengan politik kosmetik palsu.
Belum lagi, berbagai laporan seperti bantuan sosial atau bansos yang banyak disalahgunakan, bahkan di beberapa tempat seperti di Kelurahan dekat tempat kerja saya dibagikan di hari tenang dengan warna biru yang identik dengan salah satu Paslon namun acara tersebut dibalut dengan pasar murah.
ADVERTISEMENT
Tentu ini menjadi catatan sejarah yang kurang baik dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, apalagi era saat ini adalah era pasca reformasi yang dianggap menjadi era kebebasan dalam demokrasi, sialnya semua perjuangan lalu seperti nihil.

Gagasan Demokrasi Naik Kelas

Beberapa waktu lalu, saya menghadiri acara launching Bijak Demokrasi di Museum Kebangkitan Nasional Jakarta, acara yang menarik dan penuh gagasan serta semangat anak-anak muda dalam menjalankan demokrasi sesuai Undang-undang sangat terasa. Acara itu dihadiri oleh peserta dari berbagai latar belakang berbeda namun punya semangat yang sama.
Gagasan yang ditawarkan oleh kawan-kawan bijak demokrasi adalah tagline demokrasi naik kelas. Tujuannya agar anak-anak muda yang belum dan sudah melek soal demokrasi dan politik bisa terwadahi dengan baik. Tidak tanggung-tanggung, mereka langsung meluncurkan empat program seperti Bijak Pilkada, Bijak Memantau, Komunitas Bijak dan Sekolah Bijak.
ADVERTISEMENT
Bukan tanpa alasan mereka menawarkan tagline tersebut, melalui lembaga Think Policy, kawan-kawan bijak demokrasi melihat seberapa besar dampak mereka terhadap demokrasi, dan tentu cukup berdampak terhadap proses demokrasi dalam lima tahun ke belakang.
Tidak hanya itu, pada Pemilu 2024, mereka memiliki Platform Bijak Memilih yang memiliki tujuan agar masyarakat memiliki alasan untuk memilih seorang Caleg, karena dalam Platform tersebut disajikan berbagai informasi Caleg mulai dari latar belakang hingga Visi dan Misi.
Platform Bijak Memilih melaporkan bahwa website mereka telah dikunjungi 1,4 juta pengguna menjelang Pemilu 2024, dan rata-rata yang mengaksesnya adalah anak-anak muda yang mulai peduli terhadap proses politik mulai dari sebelum pemilihan, bahkan banyak dari mereka yang mengakses pada H-1 Pemilu karena mereka masih bingung tokoh mana yang harus mereka pilih karena minimnya kampanye.
ADVERTISEMENT
Lalu apakah bisa demokrasi kita naik kelas? Tentu bisa dengan bonus demografi banyak anak muda yang peduli soal demokrasi, gerakan ini bisa maksimal dilakukan, apalagi saat ini kita dibantu dengan kemajuan internet, sehingga melakukan kampanye demokrasi naik kelas bisa dilakukan dengan maksimal.
Saya pernah melakukan riset di 2021, mengenai gerakan sosial digital yang dilakukan salah satu platform petisi yang telah mengubah banyak kebijakan salah satunya di era covid 19 yang lalu, bahkan gerakan sosial digital masih berlangsung hingga saat ini terutama dalam penegakan hukum dan kebijakan. Jika kita masih ingat kasus Mario Dandy yang baru dilakukan proses hukuman setelah viral, dan terbaru adalah kasus Vina Cirebon yang sudah lama terabaikan baru diangkat lagi saat ini, bahkan masih banyak kasus lain yang seperti itu.
ADVERTISEMENT

Tantangan Demokrasi Naik Kelas

Beratnya mewujudkan gagasan tentang demokrasi naik kelas bukan terletak mau atau tidaknya generasi muda, akan tetapi ada yang lebih berat yaitu melawan orang-orang yang justru enggan demokrasi kita melangkah maju, sebagian kelompok ingin demokrasi jalan di tempat untuk menguntungkan diri sendiri atau suatu kelompok.
Saya mencoba ambil contoh, misalnya transportasi di Jakarta, di tahun pertama pengoperasian Transjakarta, banyak gejolak yang menolaknya, dari kalangan sopir pribadi hingga angkutan umum, mereka menilai dioperasikannya Transjakarta malah menambah kemacetan dan merugikan banyak pihak, bahkan hingga saat ini beberapa rute Tj ada yang ditutup sementara karena sekelompok orang enggan jakarta memiliki transportasi maju, padahal kita sebagai masyarakat sangat terbantu dengan adanya Transjakarta.
ADVERTISEMENT
Contoh lainnya adalah ketika proses Pemilu 2024 kemarin, jika ada seseorang yang memviralkan kebenaran, maka langsung diserang oleh buzzer yang tidak lain, tuannya buzzer tersebut enggan Pemilu 2024 berjalan dengan baik, lancar dan penuh kebenaran karena jika terjadi, sebagian bisnis si tuan akan berakhir.
Lalu ada contoh lainnya baru-baru ini, yaitu sejumlah personel brimob yang melakukan konvoi dengan mengelilingi kantor Kejaksaan Agung, bahkan diduga ada Intel yang mengikuti jaksa muda yang sedang menangani kasus kelas kakap, yaitu korupsi timah yang nilainya hingga 271 Triliun rupiah.
Beberapa contoh yang saya berikan adalah fakta bahwa masih banyak sekelompok orang yang enggan demokrasi kita naik kelas bahkan menginginkan demokrasi kita menurun agar mereka tetap mendapatkan keuntungan dari proses yang curang dan menyebalkan. Saya jadi teringat Proklamator kita mengingatkan bahwa perjuangan kita akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana kita menghadapinya? Tentu salah satunya menggunakan media sosial sebagai media kampanye positif, lalu tentunya kita harus menyatukan gerakan dengan maksimal agar bisa mewujudkan demokrasi yang naik kelas. Mengapa kita harus melakukan itu? Ingatlah siapa yang menguasai media, ia akan menguasai dunia.