Eksploitasi Pekerja Magang, Bentuk Perbudakan Masa Kini?

Fathin Robbani Sukmana
Penulis dan Pengamat Kebijakan Publik, Manajer Riset, Publikasi dan Media di Seknas LS-VINUS
Konten dari Pengguna
7 Mei 2023 18:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathin Robbani Sukmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Karyawan Magang. Sumber : Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Karyawan Magang. Sumber : Pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Cari kerja sekarang susah, ada pun pasti lowongan untuk magang,” kata seseorang yang sedang nongkrong bersama teman-temannya di salah satu kafe di kota yang sering viral di Jawa Barat. Mereka sepertinya anak-anak yang baru lulus kuliah dan mengeluhkan sulitnya mencari pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Memang, saya juga merasakan saat ini begitu sulit mencari pekerjaan yang layak, jika pun ada banyak yang membayar di bawah biaya kehidupan standar, ada juga kerja dibayar sangat rendah dengan beban kerja yang sangat tinggi.
Belum lagi, persoalan outsourching yang enggak selesai-selesai. Transaksi untuk perpanjangan kontrak tidak lagi menggunakan uang, tetapi harus staycation bersama atasan. Setidaknya itulah salah satu persoalan tenaga kerja kontrak yang menguap ke permukaan baru-baru ini.
Ternyata, beberapa waktu lalu hingga saat ini persoalan karyawan magang. Ya magang, jam kerja seharusnya sedikit lalu dibayar sesuai jam kerja. Lowongan magang sedang menjadi primadona perusahaan. Apalagi semenjak kemendikbudristek melakukan integrasi dunia pendidikan dan dunia kerja dengan produknya magang merdeka.
ADVERTISEMENT

Bagaimana Regulasi Magang?

Ilustrasi magang. Foto: mojo cp/Shutterstock
Sebetulnya tenaga kerja magang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemagangan atau biasa disebut magang sebetulnya bagian dari sistem pelatihan tenaga kerja yang diselenggarakan secara terpadu oleh lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah instruktur ataupun pekerja yang lebih berpengalaman.
Teknis dan perjanjian magang sebetulnya juga sudah diatur melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri yang sudah banyak diminati perusahaan.
Dalam Permendagri tersebut, sebetulnya Lulusan SMA atau bahkan SMP yang berusia minimal 17 tahun sudah boleh menjadi pekerja magang, lalu dipastikan harus sehat rohani dan jasmani serta lulus dalam seleksi pemagangan.
Sebelum peserta magang memulai kegiatannya, perlu ada perjanjian pemagangan tertulis yang berisi hak dan kewajiban peserta magang, hak dan kewajiban penyelenggara magang, program magang, jangka waktu hingga besaran uang saku.
ADVERTISEMENT
Hak peserta magang juga perlu diperhatikan seperti memperoleh bimbingan dari instruktur atau pembimbing, memperoleh hak sesuai perjanjian pemagangan, memperoleh fasilitas keselamatan dan kesehatan, memperoleh uang saku, diikutsertakan jaminan sosial serta mendapat sertifikat atau surat keterangan telah mengikuti magang.

Realitas Anak Magang

Ilustrasi magang. Foto: Ekkamai Chaikanta/Shutterstock
Setelah kita lihat regulasi, tentu pekerjaan magang atau program magang sangat diperhatikan oleh pembuat regulasi dalam hal ini kementerian ketenagakerjaan. Karena tujuan magang adalah proses pelatihan bagi para pencari kerja.
Namun, ternyata, keluhan anak-anak lulusan baru di kafe tempat saya nongkrong membuktikan bahwa magang begitu menyeramkan. Tidak seperti apa yang dibayangkan, magang malah menjadi tempat “perbudakan” perusahaan.
Contohnya, salah satu dari 4 para pencari kerja itu menceritakan pengalaman suram melakukan program magang di salah satu perusahaan yang menurut saya cukup besar. Sehingga ia enggan lagi melakukan atau melamar pekerjaan yang berbau magang.
ADVERTISEMENT
Mengapa ia sampai enggan magang? Dalam pikiran saya bertanya-tanya, setelah saya mendengar ceritanya sungguh menyebalkan. Bayangkan awal bekerja saja sudah tidak ada perjanjian kerja. Setelah interview, keesokan harinya disuruh bekerja tanpa adanya perjanjian.
Lalu, bayangkan, mereka diberikan waktu bekerja dan porsi kerja yang sama dengan karyawan kontrak dan karyawan tetap. Bahkan diberikan lembur. Padahal uang saku yang berikan hanya seratus ribu perhari. Seratus ribu dengan porsi kerja yang sama tentu sangat tidak adil.
Tak hanya itu, ia dibimbing hanya satu minggu dari 3 bulan masa magang. Setelah itu ia benar-benar bekerja layaknya karyawan. Padahal status masih magang. Parahnya ketika ada salah ia disalahkan dan dimarahi oleh atasan dan partner divisi lain. Padahal yang bertanggung jawab atas karyawan magang adalah mentornya.
ADVERTISEMENT
Lalu muncul pertanyaan, mengapa mau mengambil pekerjaan tersebut? Jawabannya membuat saya terenyuh. Karena ia sangat butuh untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sehingga ia tetap bertahan. Lalu ia berkata “Tidak akan ada orang yang memberi saya 3 juta sebulan selain saya harus bekerja mesti dalam ke-tidak adil-an”

Magang, Salah Satu Alasan Langkanya Lowongan Kerja

Pengunjung mencari informasi lowongan pekerjaan di Mega Career Expo di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta (2/12). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Tidak hanya mas-mas yang duduk di meja seberang kafe yang saya kunjungi, tetapi saya juga pernah mengalami pengalaman buruk magang. Salah satunya tidak dibayar ketika lembur dan hampir setiap hari saya pulang jam 9 malam setelah bekerja dari pukul 9 pagi.
Lagi-lagi, justru program magang banyak dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mempekerjakan pencari kerja dengan beban maksimal namun bayaran minimal. Ironis, namun ini banyak terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Alasan perusahaan membuka program magang adalah untuk masa percobaan pencari kerja. Jadi sebelum menjadi pekerja tetap atau kontrak harus melalui masa magang setelah tiga bulan lalu turunlah offering later yang ditunggu-tunggu.
Namun ternyata, banyak yang Magang lebih dari tiga bulan tanpa adanya kejelasan. Memang, maksimal durasi magang adalah satu tahun, namun jika bebannya sama dengan pekerja kontrak itu sama saja dengan perbudakan kekinian.
Alih-alih menggunakan bahasa magang untuk melatih masyarakat, malah membuat mereka bekerja seperti pekerja dengan bayaran anak magang. Sehingga saat ini hampir semua perusahaan menawarkan program magang.
Jika kita lihat di berbagai situ pencari kerja, lebih banyak lowongan kerja magang. Bahkan lowongan pekerja kontrak pun sudah sedikit apalagi karyawan tetap. Karena mau tidak mau, banyak pencari kerja yang harus menjalani perbudakan di era kekinian itu dibayar rendah dengan kerja yang banyak.
ADVERTISEMENT
Seharusnya pemerintah bisa turun tangan dalam hal ini. Lalu pertanyaan yang belum terjawab, Mengapa Program Magang begitu diminati perusahaan? Apakah benar untuk melatih masyarakat atau perbudakan dengan kerja melimpah bayaran murah?
Walaupun sudah terlambat, selamat Hari Buruh!