Menutup ‘Keranjang Kuning’ TikTok, Bukti Pemerintah juga Manusia

Fathin Robbani Sukmana
Penulis dan Pengamat Kebijakan Publik, Manajer Riset, Publikasi dan Media di Seknas LS-VINUS
Konten dari Pengguna
5 Oktober 2023 18:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathin Robbani Sukmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga menggunakan perangkat elektronik untuk berbelanja secara daring di salah satu situs belanja media sosial di Bogor, Jawa Barat, Kamis (21/9/2023). Foto: Yulius Satria Wijaya/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Warga menggunakan perangkat elektronik untuk berbelanja secara daring di salah satu situs belanja media sosial di Bogor, Jawa Barat, Kamis (21/9/2023). Foto: Yulius Satria Wijaya/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Social commerce atau transaksi perdagangan sosial yang lebih kita kenal ‘keranjang kuning’ TikTok Shop resmi ditutup pada 4 Oktober 2023 lalu, banyak pro dan kontra dari langkah yang diambil pemerintah kali ini, karena menyangkut kebutuhan orang banyak.
ADVERTISEMENT
Dari kebijakan menutup ‘keranjang kuning’ TikTok Shop membuat para pengguna, afiliasi hingga pedagang UMKM yang sudah lama berjualan di media sosial yang sedang booming itu merasa dirugikan karena banyak dari mereka yang mengandalkan pendapat melalui perdagangan di sana.
Tidak hanya itu masyarakat yang berprofesi sebagai host di TikTok Shop harus siap kehilangan pekerjaannya, mereka mendapatkan gaji dari perusahaan yang menyediakan layanan jasa live jualan di media sosial.
Saya mengerti keinginan Presiden Jokowi beserta Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menginginkan perdagangan di Indonesia berpihak kepada masyarakat dan UMKM, tidak hanya itu tujuan mulia mewujudkan perdagangan yang adil juga perlu diapresiasi.
Namun, saya berpikir pemerintah dalam memutuskan kebijakan menutup social commerce sepertinya kurang riset pasar terlebih dahulu, karena hanya mendengarkan keluhan pedagang-pedagang di media sosial.
ADVERTISEMENT
Jika ingin mewujudkan transaksi perdagangan yang adil tentu pemerintah masih punya ribuan langkah yang lebih tepat untuk bisa meningkatkan omset dari pedagang di pasar-pasar modern maupun di ranah digital.

Pemerintah juga Manusia

Dalam hal ini, saya meyakini pemerintah juga manusia biasa yang sering membuat kebijakan salah dan berpihak hanya kepada sebagian rakyat, termasuk dari kebijakan menutup social commerce yang sedang ramai saat ini.
Kesalahan yang sudah saya sebutkan di atas yaitu membuat kebijakan tanpa riset dahulu seperti kita membeli buah dan menyerahkan kepada Allah SWT hasil apa yang kita beli, mau manis atau asam atau bahkan tidak bisa dikonsumsi sama sekali. Tapi namanya peraturan tentu bisa direvisi.
Mengapa saya bisa menyebutkan pemerintah salah mengambil langkah sehingga banyak pengusaha lokal dan profesi host live TikTok Shop banyak yang terdampak mulai dari omset menurun hingga kehilangan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Alasan saya pertama, beberapa bulan lalu saya mengunjungi dua pasar sekaligus tempat perdagangan fashion di Jakarta. Betul Tanah Abang dan Pasar Senen, kala ini hari minggu pagi saya bersama teman-teman sengaja berkunjung untuk berbelanja seragam.
Saya menyarankan kawan-kawan saya untuk datang di pagi hari agar tidak ramai, namun hingga kita keliling tetap saja sepi, tidak seperti tahun 2022 pertengahan, ketika pukul 10.00 WIB saja, Pasar Tanah Abang sudah menjadi lautan manusia, jalan saja sulit apalagi memilih.
Kondisi berbeda beberapa bulan lalu di Tanah Abang, justru kami mencari baju dengan sangat mudah hingga kelelahan karena mengelilingi Blok A dan Blok B, bahkan dalam setiap toko terkadang kita cukup lama memilihnya, sebuah kegiatan yang tidak normal di Tanah Abang.
ADVERTISEMENT
Setelah lelah di Tanah Abang, kami melanjutkan perburuan ke Pasar Senen setelah makan siang, di sana terkenal perdagangan baju ex impor atau bahasa kerennya thrifting. Kami menganggap di sana akan sepi seperti Tanah Abang.
Ternyata kami salah, di Pasar Senen justru lokasi jual beli menjadi lautan manusia, berdesak-desakan di satu lantai khusus perdagangan fashion itu, butuh perjuangan untuk memilih barang, walau akhirnya saya dan teman-teman tidak mendapatkannya dan memilih membeli jajanan yang terkenal murah, betul kue Subuh.
Setelah berbelanja saya jadi berpikir, sepinya Pasar Tanah Abang bukan disebabkan oleh kehadiran social commerce namun masyarakat lebih memilih produk yang murah, walaupun barangnya sedikit ‘cacat' itu akan dipilih selama masih terlihat bagus dipakai.
ADVERTISEMENT
Wajar, masyarakat banyak bergeser ke social commerce karena memangnya harganya murah. Bayangkan satu celana bermerek di TikTok Shop bisa lebih murah dari harga 1 botol cokelat di outlet kopi terkenal, gila bukan? Tapi itu kenyataannya.

Langkah Bijak yang Harus Diambil Menyikapi Tiktok Shop

TikTok Shop. Foto: farzand01/Shuttersock
Saya memandang, kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah harus menjadi jembatan agar seluruh masyarakat merasakan dampaknya, tidak hanya kepada sebagian orang saja yang diuntungkan oleh kebijakan tersebut termasuk ditutupnya ‘keranjang kuning’ TikTok Shop.
Saya menyarankan agar Kementerian Perdagangan melakukan revisi atas kebijakan menutup social commerce TikTok Shop, karena hal tersebut sebagai sarana agar UMKM naik kelas menuju lebih baik lagi dan mendapatkan omset yang besar.
Saran saya pertama adalah Pemerintah bukan menutup social commerce namun lebih memberikan kebijakan batas bawah dan batas atas penjualan suatu produk, dan ini butuh perhatian dan pengawasan lebih lanjut oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, mengapa konsumen lebih memilih social commerce karena harga yang sangat murah dan tidak masuk akal, makanya perlu di atur batasan harga agar perdagangan daring maupun luring bisa tetap berjalan tanpa adanya keberpihakan ke pengusaha dan pemerintah tetap berada di jalan tengah.
Kedua, Tiktok hanya sebagai wadah bukan penjual, ini yang seharusnya dilarang, keranjang kuning diperbolehkan tetap aktif namun yang berjualan adalah UMKM dan pedagang yang ada di pasar bukan media sosial itu sendiri.
Lalu, pengawasan terhadap produk, jangan sampai produk yang dijual berasal dari luar negeri, produk yang berizin dan lokal yang boleh berjualan di social commerce agar tidak ada persaingan harga yang tidak masuk akal.
Terakhir, pemerintah melalui kementerian perdagangan melakukan edukasi dan advokasi kepada UMKM dan pengusaha lokal yang ingin masuk ke dunia digital, sehingga mereka bisa terbantu untuk menaikkan daya jual pedagang lokal.
ADVERTISEMENT
Saya kira, pemerintah bisa mengambil kebijakan yang adil untuk semua masyarakat, tentunya saya juga berharap agar pengusaha, produk lokal semua skala bisa naik kelas dari UMKM menjadi produk yang mendunia.
Karena perubahan adalah keniscayaan seperti dahulu pasar tradisional yang dikalahkan oleh pasar modern, dan saat ini pasar luring dikalahkan oleh perdagangan daring.