Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Pandemi dan Narasi yang Menakutkan Hati
8 Februari 2022 15:57 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Fathin Robbani Sukmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pagi ini, saat bersiap menjalani aktivitas untuk menjadi pelayan di salah satu perusahaan berwarna hijau saya sempat membaca bahwa kasus Omicron semakin meningkat dan suasana kembali seperti pada awal Pandemi.
ADVERTISEMENT
Ada kekhawatiran dalam diri saya, ditakutkan kebijakan pemerintah akan PPKM kembali terjadi bahkan seperti kasus Omicron sebelumnya. Saat saya menulis ini, ternyata kebijakan PPKM karena Pandemi kembali berlangsung, terutama di daerah Jabodetabek dan Bandung Raya, Bali, dan DIY.
Bayang-bayang kebebasan pasca pandemi pun sirna seketika, daftar perjalanan yang saya buat pun hanya menjadi kertas yang tak berguna. Mimpi-mimpi mengelilingi Indonesia kembali menjadi mimpi yang tak tahu kapan terjadi.
Kebijakan PPKM level tiga menyebabkan kita bernostalgia pada kreativitas seperti adanya Es Dalgona yang sempat viral itu, namun sayang bayang-bayang terhadap pembatasan di rumah makan, mal dan fasilitas umum lainnya mengancam akan kestabilan ekonomi.
“Waduh bagaimana warga bekerja, kalau kembali dibatasi,” ungkap kawan saya yang berprofesi sebagai pemerhati sosial dan ekonomi masyarakat kelas bawah. Saya juga menjadi khawatir saya sebagai freelancer sedikit terganggu dengan kebijakan ini.
ADVERTISEMENT
Narasi yang Menakutkan Hati di Saat Pandemi
Pada PPKM kali ini, saya membaca banyak narasi-narasi yang mengungkapkan bahwa Omicron ini akan menjadi fase ketiga Covid-19 di Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang memunculkan narasi yang menurut saya kurang tepat di sampaikan dalam publik.
Contohnya adalah “Jika ingin selamat maka diam saja di rumah” Narasi yang menekankan agar masyarakat diam di rumah jika ingin selamat merupakan narasi yang menakutkan bahkan membuat bingung masyarakat.
Ibarat buah simalakama keluar rumah tidak selamat, di dalam rumah pun demikian. Tidak sedikit banyak pekerja lepas dan harian yang mulai bingung dengan kondisi PPKM terbatas level 3 ini, walaupun masih diperbolehkan aktivitas namun tetap saja akan berkurang.
Kebijakan PPKM hanya disertai narasi-narasi yang menakutkan dibandingkan bantuan-bantuan konkret bagi masyarakat yang terdampak, apalagi masyarakat kecil seperti saya dan teman-teman saya yang statusnya di ambang batas.
ADVERTISEMENT
“Makanya kerja dong, jangan jadi freelance saja,” ini merupakan bayangan saya terhadap netizen yang nyinyir dengan narasi yang menakutkan. Seakan-akan orang-orang yang bekerja lepas dan terdampak pandemi adalah orang yang malas.
Narasi-narasi yang menakutkan bagi dari pembuat kebijakan ataupun dari masyarakat “kelas atas” yang membuat suasana menjadi riuh. Bahkan dampaknya masyarakat kelas bawah bisa saja tidak mempercayai gelombang Covid-19 yang ketiga ini.
Menurut saya, tentu wajar banyak warga yang terdampak Covid khawatir terhadap kondisi ekonomi yang kemarin mulai bangkit namun diprediksi akan jatuh kembali karena Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ini.
Bukannya tidak yakin dengan adanya sang Pencipta, namun dengan adanya PPKM seharusnya pemerintah sebagai pemimpin dapat mengayomi masyarakat dengan kelas yang tidak jelas ikut ke bawah dan tidak bisa ikut ke kelas atas.
ADVERTISEMENT
Jangan Lagi Terjebak Kebijakan dan Narasi
Saya kira, Indonesia sebagai negara yang besar harus belajar dari dua gelombang Covid-19 sebelumnya yang sempat meluluh-lantahkan perekonomian dan juga sektor-sektor penting di Indonesia.
Jika tidak belajar dari kasus sebelumnya, kesenjangan ekonomi akan semakin membesar, si kaya makin kaya dengan bisnis “permedisan”, si miskin semakin tertindas karena harus menjalani serangkaian aturan tanpa diberikan subsidi.
Bukankah, selama Covid pemerintah mengeluarkan bantuan? Jika ada pertanyaan seperti ini, saya akan tegas menjawab iya, pemerintah memberikan bantuan kepada masyarakat, namun apakah tepat dan merata? Silakan jawab dalam hati masing-masing.
Pernah, saya menulis bahwa bangkit dari Pandemi butuh kolaborasi maksimal. Namun konkretnya harus dimaksimalkan oleh pemegang kekuasaan sebagai yang memimpin perjalanan kapal laut besar Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal yang bisa dilakukan pemerintah dapat memaksimalkan peraturan yang sudah dikeluarkan terkait PPKM ini, diperjelas kembali siapa yang terdampak, bagaimana bantuan dipersiapkan hingga sanksi tegas yang diberikan.
Misalnya, dari peraturan yang ada tentang protokol kesehatan. Jika ada institusi yang melanggar protokol kesehatan harus diberikan sanksi tegas. Tidak perlu menutup instansinya, tapi menetapkan sanksi sosial agar bisa lebih bermanfaat.
Contoh sanksinya, perusahaan harus mengeluarkan dana lebih untuk membantu masyarakat sekitar maupun karyawan yang bekerja di sana. Jika masih tidak melaksanakan sanksi, bisa ditingkatkan menjadi sanksi sosial bahwa direksi harus membantu beberapa UMKM.
Saya yakin, protokol kesehatan akan dilaksanakan secara ketat jika sanksi sosial ini dilaksanakan, karena akan membebankan perusahaan secara besar. Apalagi perusahaan yang sudah memiliki untung tinggi.
ADVERTISEMENT
Bagaimana jika perusahaan skala kecil? Sanksinya bisa diringankan dengan hanya membantu karyawannya agar bisa bertahan hidup di Pandemi. Lalu sektor lainnya bagaimana? Untuk instansi pemerintah juga bisa melakukan yang sama.
Hal ini akan berdampak langsung ke masyarakat dibandingkan denda yang disetorkan ke pemerintah dan belum tentu berdampak langsung. Saya kira, inilah salah satu cara agar kita bangkit melawan Covid-19.
Apakah akan terwujud? Ah sudahlah ini hanya mimpi dan curhatan saya terhadap kebijakan PPKM yang seakan tidak dipersiapkan kurang matang. Semoga saya tidak hilang setelah tulisan ini terbit. Hehehe
Fathin Robbani Sukmana, Penulis dan Pemerhati Kebijakan Publik