Politik Receh vs Politik Gagasan di Media Sosial: Siapa yang Menang?

Fathin Robbani Sukmana
Penulis dan Pengamat Kebijakan Publik, Manajer Riset, Publikasi dan Media di Seknas LS-VINUS
Konten dari Pengguna
17 Mei 2022 14:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathin Robbani Sukmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, saya mengisi waktu luang melihat media sosial Tiktok, padahal saya sedang mencoba berpuasa media sosial ini. Setelah berhasil menahan diri untuk membuka aplikasi Instagram dan Whatsapp ternyata belum berhasil dengan media sosial yang diluncurkan pada tahun 2016 ini.
ADVERTISEMENT
Namun, ternyata media sosial asal Tiongkok ini dua pekan terakhir dihiasi oleh konten-konten politik yang menurut saya sangat receh. Tidak memiliki dampak baik apa pun, yang ada hanya memicu pertengkaran di media sosial ataupun dunia nyata.
Contohnya, seorang politisi partai merah sebutnya inisialnya Ruhut Sitompul membuat gambar yang diduga menghina Anies Baswedan serta juga kebudayaan Papua. Foto yang ia sebar di Twitter membuat netizen gaduh di berbagai platform termasuk di Tiktok. Kegaduhan ini mengurangi ke-khusyu-an saya yang sedang mencari konten Naruto dan Power Rangers Wild Force di aplikasi berlogo nada musik itu.
Berbagai pendapat pro maupun kontra bermunculan, mulai dari cuitan dari tokoh-tokoh politik sampai curahan hati netizen di berbagai platform. Dan akhirnya berhasil mengangkat sedikit keributan di media sosial karena memainkan isu SARA.
ADVERTISEMENT
Contoh hal receh lainnya adalah ketika ada warganet Tiktok yang mengagung-agungkan tokoh politik dukungan mereka di media sosial. Banyak tokoh politik yang mereka agungkan sebagaimana idola para artis Negeri Ginseng. Tapi jika dilihat maka akan dua sosok yang sering muncul. Siapa mereka? Benar jawabannya adalah Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Dua tokoh politik yang pernah melakukan kontestasi di Pilkada DKI 2017 silam, mereka sering muncul di FYP (For Your Page) media sosial saya. Betapa membosankannya ketika membuka Tiktok lalu muncul konten Anies Baswedan dan Ahok yang dibagikan para pendukungnya karena tidak membagikan hal yang bermanfaat atau kebahagiaan apa pun ketika konten mereka.
Pendukung Anies Baswedan tidak henti-hentinya membagikan hasil karya Anies serta membandingkannya dengan Ahok. Demikian juga dengan followers Ahok yang tidak henti-hentinya membagikan kinerja Ahok serta membandingkannya dengan Anies Baswedan.
ADVERTISEMENT
Wahai para followers kedua tokoh politik tersebut. Please, wajar mereka berprestasi dan banyak karya, karena itulah kewajiban mereka saat menjalankan amanah di DKI Jakarta. Kalau masalah hal-hal blunder kecil, mereka manusia kok bukan Dewa. Tidak usah dibesarkan serta dibandingkan. Memang kalian tidak pernah buat kesalahan juga?
Lalu, ada yang menyangkal, kalau tidak dipromosikan atau didiamkan saja nanti rival politik tidak akan naik jadi presiden di 2024. Atau kalau bukan junjungannya yang menjadi presiden, Indonesia akan kacau.
Hello gais, mereka belum memutuskan maju atau tidak di Pilpres nanti, partai politik juga masih melakukan penjajakan dan belum memutuskan siapa yang akan dipromosikan melalui koalisi. Jadi jangan ngadi-ngadi sebelum semuanya resmi.

Hentikan Politik Recehan atau Dampak Buruk Akan Datang

Wahai para pengguna medsos yang baik hati serta tidak sombong lalu selalu benar. Saya berpendapat bahwa jika kalian memulai start kampanye Anies ataupun Ahok dengan cara berlebihan. Justru akan membuat muak masyarakat, khususnya anak muda.
ADVERTISEMENT
Loh mengapa harus peduli anak muda? Coba ingat lagi, mayoritas pemilih di 2024 adalah anak-anak muda yang kebanyakan memiliki kemampuan berpikir kritis dan rasional serta salah satu pengguna terbesar di media sosial. Kalau yang disebar cuma konten yang bangga akan masa lalu, tanpa menawarkan masa depan. Yakinlah Anies atau Ahok tidak akan dipilih oleh mereka.
Coba bayangkan, jika ternyata mereka tidak maju dalam Pilpres maupun Pilkada nanti, kalian akan membuang-buang waktu. Bukan hanya itu malah akan menimbulkan kebencian di media sosial kepada kedua tokoh tersebut dan juga pendukungnya. Bukannya dipilih malah ditinggalkan.
Kalau tidak dihentikan segera, dampak lainnya adalah justru akan memecah belah politik dan membuat kondisi negara menjadi panas yang akan berpengaruh pada kebijakan ekonomi serta kebijakan lainnya. Lalu masyarakat jadi sulit, apa memang mau kalian itu?
ADVERTISEMENT
Potensi dampak paling menyeramkan adalah ketika anak muda sudah muak dan enggan masuk ke dunia politik. Lalu anak muda lebih memilih golput dengan alasan perdamaian dibandingkan memilih di Pemilu 2024 yang akan berpotensi terjadi perpecahan jika konten-konten yang disebar bukan merupakan edukasi politik.
Memang mau anak mudanya enggan melek politik? Lalu akan mengganggu kestabilan demokrasi hingga malah menyebabkan kehancuran demokrasi? Jika kondisi demokrasi tidak baik-baik saja, belum tentu kalian akan makan dengan gaji dari pekerjaan sebagai buzzer politik. Coba dipikirkan ulang.

Politik Gagasan sebagai Arus Baru

Di tengah kebisingan FYP Anies dan Ahok di berbagai media sosial yang secara tidak langsung saling serang. Di media sosial juga sedang viral dengan munculnya narasi politik gagasan.
ADVERTISEMENT
Diawali dengan pertemuan tiga Ketua Umum Partai Politik, yaitu Airlangga Hartanto sebagai Ketum Partai Golkar, Zulkifli Hasan sebagai Ketum PAN, serta Suharso Manoarfa sebagai Ketum PPP. Ketiga Ketum Parpol yang melaksanakan silaturahmi Idulfitri beberapa waktu lalu bersepakat untuk membangun koalisi politik gagasan.
Menurut saya, angin segar dari ketiga Ketum Parpol tersebut membuat sedikit harapan agar dunia politik di Indonesia keluar dari zona politik recehan, politik SARA bahkan politik perpecahan. Walaupun politik adalah hal yang dinamis serta sulit ditebak, setidaknya mereka bisa meletakkan politik gagasan sebagai langkah menuju 2024.
Harapan mengenai politik gagasan bisa segera merambah ke para kader ketiga partai politik tersebut. Selanjutnya narasi politik gagasan dapat menghiasi dunia media sosial serta disampaikan secara menarik.
ADVERTISEMENT
Tujuannya selain membuat generasi muda tertarik kepada politik tentunya dapat menarik suara anak-anak muda untuk memilih partai yang tergabung dalam politik gagasan tanpa adanya politik kebencian yang menyebabkan perpecahan NKRI di dunia digital maupun dunia nyata atau bahkan di universe lain.
Munculnya politik gagasan memperlihatkan ke dunia bahwa masyarakat Indonesia sudah dewasa dalam berpolitik, melakukan kegiatan politik untuk kebaikan seluruh rakyat bukan memecah belahnya untuk kepentingan pribadi serta golongan.
Lalu siapa yang akan menjadi pemenang hati rakyat? Politik gagasan atau politik recehan? Tenang, ini bukan kompetisi sehingga tidak perlu ada pemenang. Hanya saja politik recehan justru memperlihatkan para pendukungnya yang terlihat kurang dewasa bahkan terlihat kurang cakap dalam berpolitik.
Ini bisa menjadi contoh bagi semua partai politik yang akan ber-kontestasi di Pemilu maupun Pilkada serentak pada 2024 nanti. Bisa saja bergabung dengan koalisi politik gagasan atau bahkan membuat koalisi baru dengan nama politik kebahagiaan atau politik ceria. Agar tidak ada lagi narasi-narasi politik yang tidak enak didengar serta dibaca muncul lagi di permukaan media digital maupun dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Fathin Robbani Sukmana, Pemerhati Kebijakan Publik serta Peneliti DEEP Indonesia