Husband Stitch: Korupsi Hak Wanita dan Penyembunyian Informed Consent

Fathiya Irfani
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
29 Maret 2022 14:47 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathiya Irfani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: pixabay.com/Stephanie Pratt
zoom-in-whitePerbesar
Foto: pixabay.com/Stephanie Pratt
ADVERTISEMENT
Akhir bulan Januari 2022, media sosial Twitter dihebohkan oleh isu husband stitch yang sangat melanggar otonomi tubuh seorang wanita. Husband stitch adalah tindakan medis yang dilakukan pada bagian vagina wanita dengan memberikan jahitan lebih dari yang seharusnya tanpa izin dengan tujuan untuk mengembalikan bentuk vagina seperti sebelum melahirkan demi kepuasan seksual suami. (Ray, 2021) Walau istilah ini asing di telinga kita, tampaknya praktik medis ilegal ini masih terjadi hingga hari ini. (Putri, 2022)
ADVERTISEMENT
Sangat ironis karena fakta mengatakan bahwa husband stitch sama sekali tidak meningkatkan kepuasan seksual suami maupun istri dalam aktivitas seks. (Davis, 2020) Jahitan berlebih yang diberikan pada lubang vagina wanita itu hanya akan memberikan rasa sakit kepada kedua belah pihak suami dan istri. (Davis, 2020) Parahnya lagi, praktik ini dilakukan dengan melanggar salah satu Standar Operasional Prosedur (SOP) medis, yaitu permintaan persetujuan untuk melakukan tindakan medis dari pasien (informed consent). Dalam praktik ini, perempuan tidak mendapati penjelasan mengenai apa itu husband stitch dan dampaknya serta tidak diberi opsi tindakan medis lain (Busro, 2018) Bahkan, perempuan tidak menyadari praktik ini dilakukan padanya sampai ia mulai merasa kesakitan saat masa pemulihan pasca persalinan.
ADVERTISEMENT
Sebuah fokus dalam studi menunjukkan bahwa tindakan husband stitch tidak diperlukan karena vagina akan kembali ke bentuk semula setelah melahirkan secara alami. (Putri, 2022) Sebuah jahitan tambahan seharusnya hanya diberikan kepada ibu yang melahirkan dengan bantuan episiotomi (tindakan menggunting bagian vagina untuk melancarkan proses lahiran). (Amorim, 2017) Sedangkan episiotomi sendiri hanya dapat dilakukan dalam kondisi seperti bayi memiliki ukuran sangat besar dan kesulitan untuk lahir, bayi berada di posisi yang tidak seharusnya untuk dilahirkan, atau bayi mengalami kondisi gawat sehingga perlu dilahirkan secepat mungkin.
Tidak adanya alasan medis yang mendasari praktik husband stitch dapat menjadi alasan kuat penggolongannya sebagai tindakan mutilasi kelamin wanita (female genital mutilation) tipe ketiga, yaitu tindakan penyempitan celah vagina atau infibulasi (Ray, 2021) yang merupakan salah satu dari empat tipe mutilasi kelamin yang keseluruhannya telah ditentang oleh WHO. (WHO, 2022) Penentangan tersebut sejalan dengan dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum PBB No. A/RES/67/146 (PBB, 2012) tentang Upaya Penghentian Mutilasi Kelamin yang didukung oleh sedikitnya dua-pertiga dari perwakilan negara-negara PBB. Selain itu, beberapa negara di dunia telah melarang secara tegas praktik mutilasi kelamin dan mengkategorikannya sebagai tindak pidana. Sebagai contoh adalah Inggris. Parlemen Inggris Raya pada tahun 2003 telah meresmikan Female Genital Mutilation Act yang mengatur tentang tindakan infibulasi sebagai tindak pidana (United Kingdom Public General Acts, 2003).
ADVERTISEMENT
Prosedur pelayanan kesehatan yang diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 menjelaskan dua aspek dalam pelayanan kesehatan, yaitu; pertanggungjawaban ilmiah dan pemberian informasi pada pasien. Hak menolak atau memberikan persetujuan atas pertolongan medis yang akan diterima pasien menjadi dasar tindakan medis setelah menerima informasi yang lengkap mengenai tindakan tersebut. Adapun pertanggungjawaban medis, bahwa tindakan tersebut juga harus dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. Praktik husband stitch terang-terangan mengabaikan dua aspek tersebut. Kerugian berupa penderitaan pasien dapat dituntut ganti rugi kepada oknum tenaga kesehatan yang melakukan meskipun belum dapat digolongkan sebagai tindak pidana kejahatan.
Proses persalinan merupakan saat yang paling mengkhawatirkan, karena harus menahan rasa nyeri berjam-jam dan nyawa bayi yang akan dilahirkan menjadi taruhannya. Seharusnya, setelah persalinan sang ibu dapat kembali beristirahat dan mengasuh bayinya, tetapi apabila dilakukan tindakan penjahitan tambahan nonkonsensual yang tak memiliki prosedur yang resmi dari ilmu kedokteran justru akan memperlambat pemulihannya. (Sruthi, 2021) Setelah husband stitch dilakukan, ibu akan mengalami ketidaknyamanan saat berdiri atau berjalan lebih lama dibandingkan jika dilakukan pada prosedur normal. Pada bagian vagina akan terjadi pembengkakan dan rasa nyeri serta infeksi bakteri akibat kemungkinan adanya luka robek pada bekas jahitan. Ketidaknyamanan akan dirasakan pula saat berhubungan badan bagi pasangan, terutama bagi perempuan, yang kemudian mengakibatkan trauma secara emosional dan tekanan kejiwaan. (O’Dey, 2019)
ADVERTISEMENT
Ditinjau dari pandangan sosiologis, praktik husband stitch menggambarkan ketidakadilan terhadap wanita yang kehilangan otonomi tubuhnya. Pandangan yang menjadi salah satu faktor pendorong ialah anggapan bahwa wanita adalah objek seksual yang menjadikan tindakan malpraktik ini mengesampingkan kondisi kesehatan wanita. (Kim, 2021) husband stitch menjadi salah satu gambaran bagaimana hak dan otoritas tubuh perempuan cenderung diabaikan.
Selain itu, bentuk mutilasi terhadap organ genital wanita ini telah melekat menjadi bagian dari tradisi kebudayaan ataupun keagamaan pada beberapa suku di dunia. (Melese et al., 2020) WHO sebagai organisasi yang berfokus pada aspek kesehatan telah memberikan perhatian pada isu ini selama 30 tahun lebih dan membuat kampanye-kampanye yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas tindakan female genital mutilation yang tidak bermanfaat yang merugikan wanita di seluruh dunia. (Leye et al., 2019) Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan pergerakan untuk meningkatkan kesadaran wanita atas otoritas tubuhnya di seluruh dunia, malpraktik mutilasi organ kewanitaan telah berkurang. (Routledge, 2021)
ADVERTISEMENT
Dari beberapa dampak yang telah dijabarkan, dapat dilihat kenyataan bahwa husband stitch tidak memberi manfaat bagi seorang ibu. Tindakan tersebut malah memberi dampak negatif bagi fisik dan psikis seorang wanita setelah melahirkan. Tindakan ini juga merupakan bentuk ketidaksetaraan gender yang menjadi salah satu perhatian publik di masa sekarang. Hal ini juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap salah satu dari tiga kaki hukum kesehatan, yaitu informed consent.