Konten dari Pengguna

Menjadi Perempuan Itu Anugerah dan Tugas Tersulit yang Tengah Saya Lakukan

Fathma Cita Zunurahma
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12 November 2021 14:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathma Cita Zunurahma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
sumber: dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
Sebelum memulai ibadah mengungkapkan pikiran, terlebih dahulu saya ingin mengucapkan selamat Hari Pahlawan. Semoga dengan momentum Hari Pahlawan ini, selain semakin menghargai jasa para pahlawan tentunya, juga semakin yakin bahwa setiap kita adalah pahlawan. Ya, bagi diri kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini akan saya mulai. Tadi, di motor saya yang saya beri nama Rebecca — bagus sekali, bukan? — sempat terbesit dalam pikir saya. Menjadi perempuan adalah tugas tersulit yang pernah saya lakukan. Bahkan mungkin, menjadi perempuan merupakan profesi dengan kualifikasi segudang, digaji dengan minimnya penghargaan.
Sebenarnya, kaitannya tidak jauh-jauh dari asmara. Lebih tepatnya, semuanya. Saya dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga yang berkecukupan. Meski tidak begitu kaya, dari segi finansial, segi pendidikan, juga kasih sayang. Meskipun memang tidak ada keluarga sempurna, selalu ada konflik di dalamnya. Namun dapat saya katakan, hidup saya istimewa. Meskipun tidak terlalu pintar, atau kaya-kaya amat, saya masih bisa merasakan makan bersama keluarga setiap hari, canda tawa bersama orang tua, jalan-jalan bersama saudara, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Meski mungkin bagi saya, orang tua saya sedikit keras. Di usia yang menuju dewasa, saya merasa sulit mengembangkan diri, sulit bergaul. Barangkali tidak seberapa, namun itu yang saya rasa. Aturan di rumah tidak boleh pulang larut malam, saya tidak pernah merasakan liburan bersama teman ke luar kota tanpa tujuan organisasi (Ini salah satu alasan saya selalu ingin mengikuti segala hal. Mulai dari kegiatan relawan, dan lain sebagainya. Karena saya ingin pergi berkelana, namun harus ada tujuan supaya orang tua memberi izin). Ya, bagaimanapun orang tua saya ingin yang terbaik untuk saya.
Sayangnya, saya tipikal anak yang sulit diatur. Pernah suatu kali keluarga kami konsultasi ke salah satu psikolog keluarga. Intinya, saya dan juga saudara lain tidaklah sulit diatur. Hanya saja, kesamaan kami semua adalah butuh alasan mengenai apa pun yang dikerjakan. Sedari kecil, saya sadar bahwa saya orang yang sangat penasaran. Jika saya tanya ibu saya mengapa air dalam botol akan tumpah ketika tutup botolnya saya buka dan botolnya saya balik, tidak akan mempan apabila ibu saya menjelaskan secara rinci. Saya penasaran, saya mau coba. Ketika saya merasakan sendiri, melihat sendiri bahwa air tersebut tumpah, barulah saya mengerti. Ini bukan pembenaran atas sikap saya yang bebal, tapi kembali lagi, saya butuh alasan dari setiap hal. Dan selalu, untuk hal-hal yang dilarang di atas, jawabannya sama. Karena saya perempuan.
ADVERTISEMENT
Lambat laun saya paham, menjadi perempuan adalah hal yang sulit. Bukannya saya merasa terkekang, saya hanya merasa tidak bebas. Tapi, kadang-kadang senang, sih. Di kendaraan umum selalu didahulukan untuk mendapat pelayanan. Tapi, kadang-kadang juga menjadi perempuan ialah sebagai pembenaran atas kesalahan beberapa perempuan. Misal, fenomena ibu-ibu yang belok ke kanan tapi lampu sennya ke kiri. Keteledoran berkendara dan menyebabkan kecelakaan, ketika diketahui bahwa pengemudinya perempuan, juga seolah dimaklumkan. Padahal, menurut saya itu jelas dua hal yang berbeda. Kalau dia salah, ya dia salah. Bukan perihal siapa dia, gendernya apa.
Satu sisi lagi, menjadi seorang perempuan yang serba bisa menurut saya adalah anugerah sekaligus bumerang. Dia cantik, berbakat, pintar, stabil ekonomi bahkan pintar mencari uang sendiri. Sering, ini menjadi topik pembicaraan saya dengan diri sendiri di sepanjang perjalanan. Tidak percaya? Tanya saja Rebecca, ya meskipun dia tidak bisa jawab, bisanya mati sesekali di tengah jalan. Motor yang malang.
ADVERTISEMENT
Perempuan yang bisa segala hal, terlalu mandiri, terlalu independen, dianggap mengesampingkan peran laki-laki. Lingkungan sekitar saya menganggap hal tersebut meresahkan, perempuan tidak pantas seperti itu. Harus manja, supaya laki-laki merasa dia "ada".
Kontradiksi lain ialah ketika perempuan tidak dapat melakukan hal-hal yang dianggap sosial sebagai hal berbau "perempuan". Tidak pandai memasak, tidak pandai menjahit, tidak mampu menjaga anak, dan lain sebagainya. Perempuan tidak perlu sekolah begitu tinggi, menjaga martabat suami. Namun di lain sisi, dituntut cerdas karena dianggap penentu generasi. Seolah-olah perempuan adalah makhluk sempurna, dituntut untuk mampu melakukan segalanya. Harus pandai dan bodoh dalam satu waktu.
Menjadi merdeka adalah hak semua orang, bukan? Ini menjadi pertanyaan saya. Menjadi perempuan sulit, sulit sekali. Selain ikhlas, ternyata pelajaran seumur hidup adalah menjadi perempuan.
ADVERTISEMENT
Di momen Hari Pahlawan ini, saya ingin menyuarakan sedikit apa yang saya rasa. Saya ingin memberikan validasi atas perasaan saya, karena saya pahlawan untuk diri saya sendiri. Saya menjadi merdeka untuk diri saya sendiri.
Akhir kata, semoga kita tidak terjebak pada pemikiran aneh. Artikel ini tidak ada konklusi, karena saya sendiri pun masih bingung, sosok "perempuan" seperti apa yang harus saya sematkan pada diri. Semoga kita semua segera bebas dari belenggu.
Dipikir-pikir, hidup di lingkungan yang tidak menjustifikasi adalah sebuah keistimewaan, bukan?