Konten dari Pengguna

Mahasiswa Indonesia di Luar Negeri: Keren di Medsos, Babak Belur di Kenyataan

Fathul Qorib
Dosen Jurnalistik, Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Saat ini sedang menempuh pendidikan doktor di Turki. Tulisan-tulisannya bisa dibaca di fathulqorib.com
7 Januari 2025 10:46 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathul Qorib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penulis (tengah berbatik) bersama mahasiswa Indonesia saat membuka stand untuk mengenalkan budaya Indonesia di Universitas Kocaeli, Turki (2024)
zoom-in-whitePerbesar
Penulis (tengah berbatik) bersama mahasiswa Indonesia saat membuka stand untuk mengenalkan budaya Indonesia di Universitas Kocaeli, Turki (2024)
ADVERTISEMENT
Salah satu privilege bagi kita warga Indonesia adalah bisa belajar di perguruan tinggi. Untuk dapat memahami maksud privilege yang saya sebut itu, anda perlu menghentikan membaca dan jawab pertanyaan ini: berapa persen warga Indonesia yang bisa kuliah? Jawabannya akan saya taruh di paragraf berikutnya demi agar anda tidak mengintipnya. Kuliah bukan lagi jenjang pendidikan yang linier sebagaimana SD, SMP, dan SMA, tapi sebuah kemewahan bagi warga Indonesia. Memang terlihat biasa dan tidak spesial tapi fakta dan data menunjukkan hal yang sebaliknya. Tidak semua warga Indonesia mampu mengenyam bangku sekolah, apalagi sampai kuliah.
ADVERTISEMENT
Warga Indonesia yang lulus perguruan tinggi pada tahun 2023 hanya 6,68%. Jika warga Indonesia di tahun 2024 ini sebanyak 280 juta jiwa, maka yang bisa kuliah adalah 18,7 juta jiwa. Besar di angka tapi kosong jika mewakili seluruh warga Indonesia. Hal ini belum juga kita diskusikan, dari 6,68% persen lulusan perguruan tinggi itu, bagaimana persebarannya di tingkat D1, D2, D3, S1, S2 dan S3 atau persebarannya di seluruh provinsi? Jawabannya tentu mengagetkan dan saya berencana tidak memperpanjang bagian ini. Anggaplah itu PR kita semua.
Nah sekarang, bayangkan berapa banyak mahasiswa yang bisa berkuliah ke luar negeri? Tahun 2022 jumlahnya 0,021% jiwa, yang mana di tahun-tahun setelahnya tentu mengalami peningkatan namun pastinya tidak sampai melonjak signifikan. Kita bisa lihat, 1 persen saja tidak sampai. Maksud saya, dari sini kita bisa melihat bahwa mahasiswa yang kuliah di luar negeri pasti spesial dan karena itu saya bilang privilege. Mereka tentu, jika bukan anak orang kaya, pasti bekerja keras untuk mendapatkan beasiswa. Di sini kita hanya membahas mahasiswa yang kuliah betulan, bukannya yang asal nempel kampus abal-abal di luar negeri lalu pulang menyombongkan gelarnya.
ADVERTISEMENT
Di dunia media sosial, sudah banyak mahasiswa-mahasiswa luar negeri yang menjadi selebgram, selebtiktok, hingga selebyotube. Entah apa sebutannya, namun mereka membagi tips, membagikan kisah, hingga sekadar mengunggah foto-foto dan vido dengan quote yang aduhai. Bagi kita yang berada di Indonesia, unggahan mereka tampak ajaib. Terutama di negara-negara empat musim; ketika dedaunan berwarna emas menghampar di musim gugur, salju memutih menyelimuti jalanan dan pegunungan, bunga-bunga tumbuh bak taman surgawi di musim semi, hingga bentang laut biru serupa angkasa di musim panas. Semua foto dan video itu bagaikan mimpi bagi jutaan anak muda Indonesia.
Ragam komentar di media sosial bernada kagum dan terpesona -meskipun beberapa juga menyalak: “kuliah pakai uang rakyat tapi setiap hari jalan-jalan”. Tentu hal-hal semacam ini hanyalah sebuah dinamika dari adanya media sosial yang mewadahi kebebasan berekspresi. Namun sebagian besar komentar di media sosial berdecak kagum: “semoga kelak aku bisa seperti kakak,”, “Wah indahnya pemandangan di luar negeri,”, atau “Kak, bagi tips dong supaya bisa kuliah ke luar negeri,”. Komentar-komentar ini cukup mewakili asumsi awal saya, bahwa kuliah di luar negeri sangat keren di media sosial, namun semua orang yang berkomentar tidak tahu seberapa keras kehidupan mahasiswa di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Bertahun-tahun Persiapan, Puluhan Juta Melayang
Kuliah ke luar negeri bukan sekadar mimpi besar, tetapi sebuah perjalanan panjang yang penuh perhitungan. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mempersiapkan kemampuan bahasa. Jika tujuan kuliah kita adalah negara berbahasa Inggris, tes seperti IELTS atau TOEFL menjadi wajib. Kursus persiapan bahasa ini sering kali menguras kantong. Biayanya bervariasi, mulai dari Rp1,5 juta hingga Rp5 juta per level atau per bulan, tergantung lokasi dan intensitas kelas. Belum lagi kita harus melakukan tes seperti IELTS dan TOEFL IBT yang biayanya biasanya Rp3 juta sekali tes dan belum tentu lulus. Ini yang perlu dicatat, kemungkinan tidak lulus bagi kita tetap tinggi sehingga harus mengulang tes dan menambah pengeluaran lagi.
ADVERTISEMENT
Tidak semua negara tujuan kuliah menggunakan bahasa Inggris. Mahasiswa yang ingin belajar di Jerman, misalnya, perlu mengikuti kursus bahasa Jerman hingga level B2 atau bahkan C1. Biayanya? Untuk kursus reguler membutuhkan waktu lama, jika intensif dan private bisa lebih dari Rp10 juta. Hal serupa berlaku untuk bahasa Korea, Mandarin, atau Turki, yang memiliki biaya mahal, yang juga stuktur bahasanya luar biasa rumit untuk dipelajari. Belum lagi pembelian buku materi tambahan, akses video untuk pembelajaran, mengikuti pre-test, melanggan majalah berbahasa asing atau nonton Netflix berbayar agar demi membiasakan berbahasa, dan seterusnya.
Bagi para dosen yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri, tantangannya tentu lebih berat lagi. Dosen di Indonesia yang tidak memiliki gaji yang layak, ia tidak memiliki pilihan lain selain beasiswa. Sehingga, selain tetap mengajar, membimbing mahasiswa, dan meneliti, dosen harus menyisihkan waktu untuk belajar bahasa, menulis proposal, dan mempersiapkan dokumen aplikasi ke kampus tujuan, koresponden dengan professor hingga mendapatkan letter of acceptance. Proses ini bermacam-macam, namun pasti intinya sama: rumit dan banyak tahapan. Sehingga banyak dosen yang terpaksa memanfaatkan waktu malam atau akhir pekan yang harusnya digunakan jalan-jalan bersama keluarga terpaksa tersita untuk belajar atau mengikuti kursus.
ADVERTISEMENT
Sekarang bayangkan jika dosen yang akan berangkat adalah mahasiswa S3 yang sudah berkeluarga. Mereka tidak hanya memikirkan biaya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk pasangan dan anak-anak. Visa untuk keluarga, tiket pesawat, hingga akomodasi di negara tujuan semua harus disiapkan. Belum lagi jika pasangan yang ikut harus meninggalkan pekerjaannya di Indonesia. Ada juga biaya tambahan untuk mencari sekolah bagi anak-anak; biaya dan bahasa sekolah untuk anak-anak? Tidak pernah terbayangkan bukan? Sehingga mahasiswa S3 sering kali harus berhadapan dengan dilema antara mengejar pendidikan atau memastikan kebutuhan keluarga tetap terpenuhi.
Sekarang anggaplah semua persiapan tersebut selesai, lalu akhirnya diterima di universitas luar negeri. Perjuangan finansial belum selesai. Tahap selanjutnya adalah pengurusan dokumen administrasi, seperti wawancara beasiswa atau wawancara visa (biasanya) di Jakarta. Untuk mahasiswa dari luar Jakarta, biaya perjalanan ini tidak bisa diabaikan. Tiket pesawat atau kereta, penginapan, serta biaya makan selama di ibu kota bisa dengan mudah mencapai jutaan rupiah. Belum lagi biaya pengurusan paspor, visa, dokumen legalisasi, dan seluruh berkas ini harus dialihbahasakan menggunakan penerjemah tersumpah; uang, uang, uang plus waktu, waktu, waktu. Proses administratif ini sering kali penuh dengan antrian panjang dan birokrasi yang bikin kata menyerah diambang mulut untuk diucapkan.
ADVERTISEMENT
Bagi mahasiswa yang berasal dari daerah yang jauh dari kota besar, tantangan ini menjadi tak terbayangkan. Biaya perjalanan ke Jakarta dari Sambas, Manado, Palopo, NTT, atau bahkan dari Papua, termasuk penginapan dan akomodasi, bisa dua hingga tiga kali lipat dibandingkan mereka yang tinggal di kota besar. Ketika semua dihitung, dari kursus hingga persiapan administrasi, jumlah yang harus dikeluarkan sering kali mencapai puluhan juta rupiah. Inilah kenyataan; rasa bahagia menerima informasi penerimaan beasiswa, lalu seketika menjadi was-was soal waktu dan dana yang harus dikeluarkan.
Belajar, Tumbang, Bertahan, Tumbuh
Belajar di luar negeri tentu tidak sama dengan belajar di Indonesia. Meski skor bahasa kita sudah mencukupi persyaratan ketika melamar beasiswa, namun kita akan selalu kesulitan memahami cara native speaker berbicara. Percakapan sehari-hari yang penuh idiom dan aksen akan membuat kita tertegun. Meskipun bahasa Inggris telah diajarkan sejak TK, realitasnya, bahasa ini tidak pernah benar-benar kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang pernah bersekolah di sekolah internasional atau memiliki kegemaran mempelajari bahasa asing tentu sangat beruntung. Namun, rata-rata dari kita adalah orang biasa, lalu memaksakan diri belajar bahasa asing dalam setahun atau dua tahun dengan penuh air mata. Ketika akhirnya hari pertama kuliah datang, banyak yang merasa menyesal karena tidak memahami apa pun yang diucapkan dosen di kelas.
ADVERTISEMENT
Kesulitan ini semakin parah jika bahasa yang digunakan adalah bahasa lain seperti Mandarin atau Turki. Bahasa-bahasa ini dikenal sebagai salah satu bahasa yang paling sulit di dunia karena struktur dan logika kalimat yang berbeda jauh dari bahasa Inggris atau Indonesia. Apa yang dikatakan dosen di kelas bisa terdengar seperti teka-teki, dan tugas-tugas menjadi mimpi buruk karena kita salah memahami instruksi. Sehari-hari di kelas kita mengaktifkan voice recording agar di rumah bisa kita putar ulang menggunakan aplikasi transkrip otomatis. Tidak jarang nilai mahasiswa jeblok di tahun pertama hanya karena kendala bahasa, meskipun secara intelektual sebenarnya mampu. Kuliah jauh-jauh ke luar negeri dengan IPK 1,5 adalah bencana.
Selain kendala bahasa, keuangan adalah lagi-lagi ujian terberat. Mungkin ini khusus dari beasiswa-beasiswa pemerintah yang biasanya cukup untuk hidup normal. Nah masalahnya kehidupan mahasiswa tidak pernah normal. Makan harus dihemat dengan membeli bahan makanan paling murah, tempat tinggal dipilih juga memilih yang murah meskipun sempit, bahkan sering kali tinggal dengan banyak orang demi mengurangi biaya. Bahkan, ada yang harus mencari pekerjaan paruh waktu untuk menutup kekurangan, meskipun hal ini bisa melanggar aturan visa di beberapa negara. Memang ironis karena pemberi beasiswa tidak memahami bahwa ada kebutuhan lain selain makan dan minum, seperti membeli baju, payung, buku-buku tebal, obat-obatan, atau bahkan kursi dan lemari bagi mahasiswa yang menyewa rumah.
ADVERTISEMENT
Di Turki tahun 2024, sebagai contoh, harga minimal sewa rumah di Kota Izmit, Kocaeli, Rp 7jt- Rp10 juta per bulan, sementara beasiswa Pemerintah Turki hanya menyediakan uang sewa Rp1,5 juta tiap bulannya. Mahasiswa harus memanfaatkan uang bulanan yang seharusnya digunakan untuk biaya hidup, buat menambal uang sewa. Selisih ini memaksa mahasiswa untuk terus berjuang mencari cara agar tetap bisa bertahan. Ketika ekonomi Turki terus memburuk, beasiswa yang sebelumnya “dicukup-cukupkan” untuk hidup normal menjadi tidak mencukupi lagi bahkan untuk hidup sederhana. Ini seperti lomba bertahan hidup dalam situasi ekonomi yang tidak stabil, sementara penyesuaian beasiswa baru Biasanya dilakukan pada tahun berikutnya.
Tantangan-tantangan ini tidak berhenti di sini. Kita belum membahas jika sakit di luar negeri, sedangkan teman-teman kita juga sedang terengah-engah berkuliah. Atau tentang kerinduan pada masakan Indonesia yang sulit ditemukan di luar negeri. Sakit di perantauan sangat berat, namun rindu pada makanan ini masihalah sepele. Atau bagaimana dengan rindu kepada orang tua yang semakin berumur sedangkan kita terlalu jauh untuk menjenguk? Untuk mereka yang memiliki anak, rasa bersalah sering kali menghantui karena tidak bisa mendampingi tumbuh kembang anak selama berada di luar negeri. Bahkan jika anak dan pasangan dibawa sekalipun, mereka sering kali mengalami kesulitan besar beradaptasi dengan lingkungan baru, baik secara sosial maupun ekonomi. Keputusan untuk belajar ke luar negeri sering kali menjadi beban emosional yang harus ditanggung dengan tabah.
ADVERTISEMENT
Adaptasi dengan masyarakat sekitar adalah cerita lain yang penuh tantangan karena tidak semua orang menerima kehadiran pendatang dengan tangan terbuka. Sering kali mahasiswa dianggap "mengambil" kesempatan dari penduduk lokal, baik dalam pendidikan maupun pekerjaan. Situasi ini memaksa mahasiswa untuk selalu menjaga sikap dan berusaha keras menunjukkan bahwa mereka datang untuk belajar, bukan untuk merebut peluang orang lain. Selain itu, tantangan adaptasi juga mencakup cuaca ekstrem dan perbedaan budaya. Dari musim dingin yang menggigit hingga musim panas yang menyengat, tubuh dan mental harus terus menyesuaikan diri.
Berbagai tantangan ini memaksa tidak sedikit mahasiswa yang memilih untuk tidak melanjutkan kuliah di luar negeri dan memutuskan pulang ke Indonesia. Keputusan ini bukanlah bagian dari kegagalan, melainkan bagian dari proses panjang hingga akhirnya mereka bertekad pulang ke Indonesia. Setiap orang memiliki titik awal yang berbeda, kemampuan serta situasi yang tidak sama, baik dari segi keuangan, kondisi keluarga, maupun cara belajar. Semua keputusan itu adalah bagian dari perjalanan hidup masing-masing. Kehidupan di mana pun memang penuh tantangan. Namun, kesulitan-kesulitan inilah yang membesarkan kita. Pada akhirnya, kuliah ke luar negeri bukan hanya soal prestise dan privilege belaka, tetapi tentang belajar, bertahan, dan tumbuh menjadi versi terbaik dari diri sendiri.
ADVERTISEMENT