Akselerasi Moralitas

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
Konten dari Pengguna
23 Maret 2024 13:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menolong. Sumber: unsplash.com/ Markus Spiske
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menolong. Sumber: unsplash.com/ Markus Spiske
ADVERTISEMENT
Seseorang bercerita saat dia melakukan perjalanan di Jepang. Satu waktu dia berbelanja di salah satu toko. Di antara standar di sana adalah dia meninggalkan identitasnya saat berbelanja.
ADVERTISEMENT
Saat dia sudah sampai di penginapan, dia mendapat telepon dari salah satu toko yang dia kunjungi. Katanya, ada kelebihan bayar yang dia lakukan dan minta agar kembali mengambil uang tersebut.
Pengunjung ini mengatakan ambil saja uang tersebut. Penjaga toko menolaknya dan tidak bisa menerima begitu saja. Di Jepang harus ada serah terima tercatat jika dilakukan model tips atau hadiah seperti itu.
Lain waktu, saat saya sedang melakukan studi kunjungan di salah satu kampus di Amerika Serikat, saya beberapa kali harus bertanya atas beragam kendala teknis. Yang paling umum adalah kesulitan mencari tempat tertentu. Setiap orang yang saya temui, selalu menjawabnya dengan jelas dan bahkan mengantarkan saya ke tempat tersebut.
Pernah satu waktu saya tampak kesulitan membuka pintu masuk area gedung di kampus, seorang mahasiswa yang melihat kejadian tersebut putar balik untuk membantu saya membukakan pintu tersebut.
ADVERTISEMENT
Dia mendorong pintu tersebut dengan tenaga yang kuat. Ternyata pintu itu memang didesain untuk tidak mudah terbuka dengan alasan keamanan, misalnya saat terjadi badai angin.
Dua tempat tersebut, Jepang dan Amerika, sama sekali berbeda latar belakang budayanya dengan warga Jakarta dan sekitarnya, tempat asal muasal saya berada.
Saya bertanya pada diri sendiri apa yang membuat mereka tampak peduli dan berintegritas seperti itu. Jawabannya adalah bahwa moralitas dan kemanusiaan adalah fitrah atau universal.
Jika hari ini kita diam saja terhadap kezaliman yang nyata, misalnya kita membiarkan saat ada orang tua atau wanita hamil berdiri berdesakan di dalam kereta. Padahal usia kita jauh lebih muda. Apalagi kalau kita adalah seorang pria. Lalu, di mana moralitas kita?
ADVERTISEMENT
Jika ada pengusaha yang hanya berfikir yang penting dapat cuan tanpa peduli jika usahanya merusak alam seperti yang dilakukan para pengusaha tambang batubara, nikel, atau timah. Begitu juga para pembabat hutan untuk diganti tanaman sawit tanpa peduli dampak lingkungan. Maka, mereka sungguh zalim.
Atau, jika kita tidak peduli saat ribuan bayi, ribuan wanita, atau kaum lemah lainnya yang dibantai tanpa ampun oleh zionis Israel. Bahkan, saat mereka sedang mengantri makanan karena kelaparan pun tidak lepas dari sasaran pemboman. Pelakunya tentu tidak memiliki kemanusiaan.
Penting bagi kita bertanya pada diri, seberapa besar dan luas kelapangan dada dan nurani kita. Seberapa kita peduli dengan orang lain, dengan lingkungan, dengan alam semesta.
Tampaknya, kita perlu belajar kepada orang-orang yang memiliki keistimewaan dalam aspek kemanusiaan, moralitas, dan integritas sepanjang hayatnya.
ADVERTISEMENT
Saya selalu takjub jika membaca lintasan sejarah para pejuang kemerdekaan. Apa yang mereka lakukan di luar nalar manusia biasa remah rengginang seperti saya.
Semisal membaca buku soal bung Hatta. Konsistensinya menjaga integritas sungguh sangat dalam. Sejak muda keluar masuk penjara. Dia hidup penuh kesederhanaan, tidak silau dengan jabatan, dan berani berbeda dengan presiden Soekarno demi kepentingan lebih luas.
Begitu juga ketika membaca perjuangan Jenderal Besar Sudirman. Dia masih sangat muda ketika menyemat pangkat jenderal dan pemegang tombak perjuangan saat para pemimpin dipenjara.
Apa yang Pak Dirman lakukan dengan melakukan serangan enam hari tiada henti di Yogjakarta membuat dunia faham bahwa Indonesia masih eksis. Belum lagi serangkaian perang gerilya yang dipimpinnya padahal Jenderal Sudirman sedang sakit. Keluar masuk hutan dan pegunungan puluhan kilometer.
ADVERTISEMENT
Rasanya mau menangis saat melihat panglima berdialog dengan Seokarno. Saat itu, Sudirman baru saja kehilangan satu paru-parunya di meja operasi. Di hadapan Presiden Soekarno, Sudirman menyampaikan jika dia akan memulai perang gerilya untuk menghancurkan mental Belanda.
Soekarno melarang, "Kang Mas sedang sakit, lebih baik tinggal di kota". Namun Sudirman menyahut dengan gagah, "Yang sakit Sudirman, Panglima Besar tidak pernah sakit."
Kisah-kisah inspiratif seperti itu perlu kita baca lakukan refleksi apa yang sudah kita lakukan untuk orang lain, untuk negara. Jangan-jangan kita telah melakukan yang sebaliknya, perilaku amoral. Nau'dzubillah.
Di moment tertentu, seperti di bulan Ramadan ini, bulan suci umat Islam, mari kita lakukan akselerasi perbaikan moral, akselerasi moralitas.