Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Bahagia dengan yang Ada
25 September 2023 14:32 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kebahagiaan adalah candu dan candu kebahagiaan selalu menjadi tantangan sepanjang sejarah umat manusia. Tantangan terjadi karena definisi, jenis, dan bentuk kebahagiaan yang berbeda. Karena itu, perburuan terhadap kebahagiaan menjadi berbeda.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2016, periset dari University of Wisconsin melakukan penelitan tentang meditasi dan kasih sayang terhadap 256 biksu Tibet melalui sensor otaknya. Hasilnya, biksu Richard dianggap orang yang paling berbahagia di dunia.
Klaim tersebut didasarkan pada temuan bahwa otak biksu yang berasal dari Prancis menghasilkan tingkat gelombang gamma yang terkait dengan kesadaran, perhatian, pembelajaran dan memori.
Tentu saja penelitian ini pada akhirnya terbatas pada populasi dari sampel biksu. Akan berbeda pada ruang populasi yang lain.
Tahun lalu, worldpopulationreview.com menyebutkan jika Bhutan adalah negara paling bahagia di Asia. Bhutan adalah negara terkucil atau lebih tepatnya mengucilkan diri demi menjaga keseimbangan alam sebagai falsafah kehidupan mereka. Keseimbangan inilah yang menjadi kunci kebahagiaan bagi masyarakat Bhutan.
ADVERTISEMENT
Negara Asia Selatan yang berbatasan dengan India, Tibet, Cina, dan Nepal ini mempunyai penghargaan terhadap lingkungan sehingga membatasi pariwisata demi melindungi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan.
Kita tentu faham bahwa wisatawan tidak hanya mendatangkan devisa negara, tapi beragam dampak sosial budaya juga tidak dapat dihindari.
Seperti cerita Eric Weiner di bukunya, The Geography of Bliss, orang-orang berusaha menyatu dengan alam. Masyarakatnya tidak berlebihan dalam mengeksplorasi sumber daya alam yang terjadi. Pembangunan juga dibatasi. Pembatasan ternyata membuat mereka bahagia.
Maka, jalan raya di Bhutan dibatasi. Anda tidak akan menemukan jalan alternatif ketika terjadi kemacetan di jalan raya. Hebatnya, masyarakat Bhutan tidak mengeluh, tidak melakukan aksi protes, atau perilaku tidak bahagia lainnya.
ADVERTISEMENT
Pembatasan membuat mereka tidak rakus dan selalu merasa cukup dengan apa yang mereka dapatkan. Lagipula, kerakusan memang berbanding lurus dengan ketidakbahagiaan.
Dalam masyarakat Islam, kaum sufi sering dianggap sebagai kaum yang bahagia. Bagi mereka, kebahagiaan adalah mencintai Tuhan serta senantiasa bersama Tuhan.
Mereka tidak larut dalam memikirkan terkabul atau tidaknya permintaan kepada Tuhan. Mereka mencukupkan kebahagiaan pada pencengkeramaan terhadap Tuhan itu sendiri.
Ibadah, dzikir, senantiasa berfikir positif atas hidup adalah bagian pilihan hidup mereka dan mereka merasa bahagia karenanya. Walaupun dalam catatan Imam Syafii, terdapat juga penyimpangan karena perilaku mereka yang tidak sesuai syariat.
Imajinasi kebahagiaan ini akan liar jika tanpa pakem penerimaan. Tanpa penerimaan atas apa yang diterima berimplikasi terhadap pemuasan yang tidak berkesudahan.
ADVERTISEMENT
Tengok misalnya para pecandu narkoba. Mereka bahagia saat mengkonsumsinya. Tapi saat stimulasi obat tersebut hilang, hilang pula kebahagiaannya. Maka, mereka akan terus berupaya memakai narkoba secara terus-menerus.
Bisa juga kita sesekali menyelidik orang-orang yang menghabiskan waktu sisanya di tempat-tempat hiburan malam dengan sesajen pil, musik dugem, para pelayan dan pesorak seksi, atau sekadar minuman berumur yang memesona. Mereka terjebak dalam imajinasi kebahagiaan yang tidak berkesudahan.
Dus, yang penting sebenarnya adalah mendapatkan posisi yang sesuai untuk dapat memahami dan menikmati kebahagiaan itu sendiri. Bahagia dengan yang ada dan menerima setelah berusaha. Para cendikia agama menyebutnya syukur.
Kita mungkin pernah mendapati seseorang yang hidupnya penuh dengan keluhan. Padahal, dia bekerja di tempat yang sama persis dengan kita. Gaji, tunjangan, beban kerja, dan bos yang sama tapi keluhannya tiada bertepi.
ADVERTISEMENT
Yang berbeda hanya pada persepsi terhadap apa yang dihadapi dan apa yang diterima. Belakangan, saya mencoba belajar bagian-bagian ini.
Jadi, kebahagiaan ternyata tidak perlu dicari jauh-jauh. Cukup dinikmati apa yang ada di hadapan. Sementara yang tidak di hadapan, apalagi yang bukan milik kita, tidak perlu berkeras hati untuk menikmatinya.
Saya jadi teringat dengan hadits Nabi terkait adab makan. Umatnya diminta mengambil makanan yang terdekat. Intinya adalah nikmati yang ada dekat. Ternyata itu juga berlaku untuk banyak hal.
Sikap ini juga tidak boleh difahami untuk bermalas-malasan. Orang malas sendiri adalah orang yang tidak bahagia. Karena orang malas bermakna orang yang tidak memiliki motivasi. Orang yang tidak memiliki motivasi adalah orang yang tidak bahagia.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang dapat membuat anda bahagia adalah menciptakan kebahagiaan dengan cara yang sederhana seperti olahraga, sekadar nongkrong ringan dengan tetangga, traveling sederhana, atau cara lain yang tiap orang bisa berbeda.
Jadi, mari kita hidup dengan bahagia. Bahagia dengan cara yang sederhana, bahagia dengan yang ada.