Konten dari Pengguna

Belajar dari Pengembaraan Pak Sion Tomagola di Pulau Tidung

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
1 Januari 2025 12:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kapal kayu Pulau Seribu. Foto: koleksi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Kapal kayu Pulau Seribu. Foto: koleksi pribadi
ADVERTISEMENT
Berjalanlah, temui apa dan siapa selama di perjalanan, maka di situlah Anda akan belajar sedikit hikmah. Satu hikmah adalah seribu bekal makna untuk mengayuh hidup dan kehidupan yang penuh ombak.
ADVERTISEMENT
Persis selepas salat subuh, kami bergegas menuju Pelabuhan Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara. Salah satu pelabuhan utama penghubung Jakarta dengan pulau-pulau di daerah kabupaten Kepulauan Seribu.
Kami perlu menempuh perjalanan ini, menjadi bagian dari kembaraan hidup. Tidak ada yang dicari, selain menikmati apa yang sudah Tuhan ciptakan untuk manusia dan mencari setitik hikmah dari ragam perjalanan diri dan orang-orang yang kami temui. Perjalanan, bagi kami adalah cara sederhana untuk mensyukuri beragam nikmat.
Sekitar jam 6 pagi, kami memasuki area parkiran pelabuhan. Aroma amis ikan khas pelabuhan begitu menyeruak tajam. Anak kedua dan ketiga kami bereaksi agak berlebihan, mau muntah katanya.
Saya dan istri menuju konter tiket kapal. Tujuan kami adalah kapal kayu tujuan Pulau Tidung. Dengan merogoh dompet kurang dari seratus ribu, tiket suah kami dapat. Tentu saja harus dikalikan lima karena kami bepergian paket lengkap keluarga, berlima.
ADVERTISEMENT
Setelah tiket diperoleh, kami berburu sarapan dengan menu khas orang Jakarta, nasi uduk dan bubur ayam. Kami memilih secara random warung yang silih berganti penjaja warungnya memanggil kami.
Setumpuk bakwan, tahu, dan tempe disajikan begitu saja. Mereka juga tidak lupa menyajikan semangkuk sambal kacang. Soal harga, sangat wajar dan sesuai standar.
Tiba waktunya kami menaiki kapal tradisional yang terbuat dari kayu. Kami duduk di bagian bawah, membersamai tumpukan paket kiriman ekspedisi dan belanjaan kebutuhan pokok warga pulau seperti bawang, cabai, sayuran, minyak, beras, dan ragam makanan lainnya.
Bersyukur cuaca tampak bersahabat, tidak ada mendung yang terlihat di beberapa sudut. Anak ketiga kami tertidur pulas setelah berbekal pil tidur, antimo.
ADVERTISEMENT
Saya duduk mendekat ke tempat anak kedua, mengajak berbincang soal ragam profesi, jurusan-jurusan di kampus kelak, dan soal sepakbola eropa.
Sementara anak pertama saya biarkan mengambil foto dan video dari sisi pinggir kapal. Saya lihat story ig-nya diperbaharui.
Penumpang kapal kayu Pulau Seribu. Foto: koleksi pribadi
Saya sengaja memanfaatkan setiap moment santai untuk membahas tema random kepada anak-anak. Kesengajaan yang dibuat untuk memberikan pemahaman perjalanan hidup, agar siap dengan ragam tantangan.
Memilih kapal kayu dari Pelabuhan Kali Adem dengan fasilitas sederhana dan tidak memilih kapal cepat dari Marina Ancol dengan fasilitas mewah pun adalah pilihan sadar untuk memberikan mereka pelajaran.
Bukan sekadar hitung-hitungan efisiensi anggaran. Pun, kami pernah menggunakan kapal cepat dari Marina Ancol pada kesempatan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Duduk di sisi kiri depan kami sekelompok pemuda. Tampang mereka tampak seperti warga pulau, bukan wisatawan seperti kami. Sementara di bagian depannya, tampak beberapa ibu-ibu paruh baya tertidur lelap di kursi Panjang yang menempel sisi pinggir kapal. Kalau saja saya tiduran, sepertinya akan terjatuh beberpa kali.
Kami melihat pulau-pulau timbul tenggelam dari pandangan mata. Entah, berapa pulau yang terlihat dan kami lewati. Kapal kami melaju dengan knot maksimum ukuran kapal kayu. Terlihat di hadapan kami Pulau Payung, tetangga Pulau Tidung, tempat kami akan berlabuh.
Kami turun di pelabuhan bagian timur Pulau Tidung Besar bersamaan dengan sejumlah koli paket ekspedisi. Kapal tersebut singgah memang untuk mengantar barang dan kapal yang kami tumpangi sesungguhnya bukan kapal asli tujuan Pulau Tidung, namun menuju Pulau Pari.
ADVERTISEMENT
Bentuk Pulau Tidung yang khas adalah memanjang dari barat ke timur. Kami harus menyewa bentor (becak motor) untuk menjangkau penginapan yang kami peroleh dari aplikasi karena barang bawaan yang cukup berat. Dua setengah jam berada di kapal kayu juga membuat energi kami cukup terkuras.
Saya memilih naik di bagian becak yang diikat di bagian depan motor. Sementara anak kedua saya memilih naik di bagian motornya, duduk di belakang pemilik bentor yang bernama Sion Tomagola.
Sekitar sepuluh menit kami berbincang, lebih banyak saya yang bertanya. Katanya, dia berasal dari Maluku. Dulu, di awal tahun 90-an, dia mengembara sebatang kara, hanya mengenakan baju di badan dan sebuah handuk. Anak saya terdiam, menyimak dengan saksama.
ADVERTISEMENT
Dia kemudian memilih tinggal di Pulau Tidung, tanpa referensi apapun selain pengetahuan bahwa banyak perantau di gugusan pulau-pulau Laut Jakarta tersebut.
Kini pak Sion sudah menikah dengan orang Pulau Tidung dan mempunyai tiga orang anak. Sampai saat ini katanya masih terhubung dengan keluarganya di Maluku. Dia tampak sangat bersyukur dan menikmati masa-masa hidupnya. Anak-anaknya tidak sepahit hidupnya di masa lampau.
Perjalanan sederharan dari Muara Angke sampai ketibaan kami di penginapan adalah cerita singkat, namun penuh hikmah. Kami belajar dari orang-orang di pelabuhan, di kapal, dan tentu saja dari pak Sion.
Beragam hikmah perjalanan yang kami petik adalah anugerah dari yang Maha Kuasa untuk kita. Bersyukur tiada tara atas apa yang sudah Tuhan berikan kepada kami. Pengembaraan pak Sion yang hebat adalah inspirasi untuk kami dan jika Anda mau, maka itu juga berarti untuk Anda.
ADVERTISEMENT
Selamat tahun baru, 1 Januari 2025. Semoga bentangan hikmah yang Tuhan berikan dapat kita raih sehingga kita menjadi pribadi yang selalu positif, bersyukur, dan tentu saja bahagia. Amin.