Ekspedisi Baduy Dalam, Merasakan Hidup di Zaman Baheula

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
Konten dari Pengguna
4 Desember 2023 11:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sekelompok warga Baduy Dalam dengan mengenakan pakain khasnya. Foto: koleksi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sekelompok warga Baduy Dalam dengan mengenakan pakain khasnya. Foto: koleksi pribadi
ADVERTISEMENT
Porter tua itu mengenalkan dirinya Ayah Jaku. Baju putih khasnya tampak sudah lusuh. Begitu juga kain di kepalanya. Suaranya tampak parau, menegaskan jika usianya sudah senja. Ayah Jaku mengaku usianya sudah 75 tahun.
ADVERTISEMENT
Saya menitipkan satu tas ukuran 40 kilogram kepada kakek belasan cucu ini. Lelaki tua berperawakan kecil, sebagaimana umumnya orang-orang Baduy Dalam, mendahului saya dan sebagian rombongan yang kepayahan membawa diri melakukan perjalanan.
Hujan semakin membuat langkah kaki semakin berat. Setiap pilihan langkah kaki adalah pijakan yang tidak biasa saja. Batu, tanah liat, dan tanah pasir kerikil terbasahi air dan tidak mudah diinjak. Apalagi bagi yang tidak menggunakan sepatu pendakian standar.
Ayah Jaku dan semua laki-laki porter Baduy Dalam adalah pejalan ulung. Kakinya terlarang menggunakan alas apapun. Mereka tidak boleh mengendarai jenis kendaraan apapun. Jangankan kendaraan besi, kendaraan berupa kayu atau binatang pun terlarang bagi mereka.
Ayah Jaku (paling kanan) dan para porter Baduy Dalam sedang rehat di salah satu rumah Baduy Luar. Foto: koleksi pribadi.
Mereka adalah kaum yang jujur. Ketika jauh dari pantauan sesama orang Baduy Dalam sekalipun, tidak ada keinginan melanggar. Aturan mereka ketika berada di dalam dan di luar tanah adat hanya sedikit memiliki perbedaan.
ADVERTISEMENT
Misalnya aturan menggunakan telepon genggam yang dilarang ketika berada di area Baduy Dalam, tapi boleh ketika sudah berada di luar tanah adat. Aja, pemuda Baduy Dalam, adalah penghubung rombongan kami.
Dia kerap mengaktivasi telepon genggamnya saat berada di luar area terlarang. Telepon genggamnya dia titipkan ke saudaranya yang berada di Baduy Luar. Terkadang, dia juga mungkin mengaktifkannya saat di ladang.
Rombongan akhirnya sampai di area pemukiman Baduy Dalam setelah melewati hektaran ladang, kiloan jalanan tanah liat dan batu, dan beberapa jembatan bambu yang menakutkan jika diselidik lebih lanjut.
Rombongan pendaki yang ditemani porter Baduy Dalam saat cuaca cerah. Foto: koleksi pribadi.
Kami disambut dengan sungai bebatuan yang airnya bening. Sungai tersebut membentang dan meliuk dari utara ke selatan. Desa Baduy Dalam yang kami kunjungi berada di liukan sungai tersebut. Bangunan rumahnya sama, terbuat dari kayu dan bambu, bangunan panggung, dan persegi panjang dengan satu bilik di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Satu rumah ditempati oleh dua kepala keluarga. Maka, ada dua tungku di dalam rumah tersebut. Satu di dalam bilik, satu lagi di pojok depan. Tidak ada listrik. Begitu juga sinyal telepon. Di area ini juga dilarang ada perekaman dalam bentuk apapun.
Kami tidur dengan alas tikar anyaman. Sinar ruangan memancar dari sumbu tisu dengan bahan bakar minyak sayur. Saat matahari tenggelam, desa langsung menggelap. Beruntung bulan hampir bulat hadir di malam hari. Bintang pun bertebaran dengan jelas.
Selepas makan malam dan pesta durian yang tidak berkesudahan. November - Desember ini memang masa panen durian di kawasan Baduy. Rasanya beragam dan sangat memuaskan. Apalagi harganya yang sangat terjangkau.
Wisatawan yang sedang menikmati durian Baduy. Foto: koleksi pribadi.
Kami melanjutkan dialog dengan Ayah Karmain, si pemilik rumah yang kami tempati. Mereka adalah penganut kepercayaan. Mempercayai Nabi hanya kepada Nabi Adam. Manusia leluhur pertama yang katanya lahir di tanah Baduy.
ADVERTISEMENT
Mereka berpegang pada kesepatakan nilai adat yang cenderung kaku. Sistem kekerabatan dibuat dengan rigid sehingga mereka tetap eksis dengan ekslusifitasnya. Warga Baduy Dalam menikah dengan cara dijodohkan. Bahkan sejak kecil mereka sudah dipasangkan.
Siapapun yang menolak perjodohan akan dikenakan sanksi adat. Apalagi jika sampai menikah dengan orang di luar Baduy Dalam, maka otomatis dianggap bukan lagi warga Baduy Dalam, sepanjang keturunannya.
Ayah Jaku dan dua orang wisatawan yang rehat di kawasan Baduy luar. Foto: koleksi pribadi
Mereka tidak memusuhi yang memilih keluar dari Baduy Dalam. Itu pilihan dan setiap pilihan mengandung risiko hukum adat yang harus diterima. Mereka konsisten dengan hukum adat tersebut. Ketua adat adalah kepala desa Baduy Dalam. Seluruhnya ada tiga desa Baduy Dalam.
Ayah Karmain melayani tamu yang lain. Dialog-dialog kecil kami lanjutkan dengan anak perempuan dan menantu ayah Karmain. Kami, berjumlah sekitar 12 orang, terpisah oleh bilik. Dari anaknya tersebut, kami tahu bahwa mereka juga punya keinginan mengetahui atau mungkin menikmati perubahan di dunia luar.
ADVERTISEMENT
Sesekali mereka menginap di luar untuk sekadar menonton televisi di rumah saudaranya yang sudah menjadi warga Baduy Luar. Interaksi dengan warga Baduy Luar atau dengan tamu adalah lubang kecil yang mungkin dapat mengubah cara pandang mereka.
Salah satu pemukiman di daerah Baduy Luar. Warga di daerah tersebut bertalian darah dengan Baduy Dalam.
Saat ditanya bahagia atau tidak menjadi warga Baduy Dalam, jawabannya sedang. Intinya menerima aturan adat. Termasuk menerima ketika dijodohkan walaupun di antara mereka ada yang lebih menyukai pria lain.
Toh, rasa suka terhadap pemuda lain juga hanya ada di dalam hati. Adalah melanggar adat jika dikemukakan, apalagi merajuk minta dikawinkan dengan pemuda pilihannya.
Perempuan Baduy Dalam memang berada pada posisi budaya patriarkis. Perempuan Baduy adalah pendiam dan pemalu.
Bahkan, aib bagi mereka menangis dan berteriak, termasuk ketika pada saat melahirkan. Umum bagi mereka melahirkan tanpa bantuan orang lain yang memadai, bahkan mungkin melahirkan secara mandiri.
Perempuan Baduy Luar. Mereka bertalian darah dengan warga di Baduy Dalam. Foto: koleksi pribadi.
Perempuan Baduy adalah perempuan yang lincah. Mereka dapat menyusuri sungai dan mengurus ladang dengan cekatan. Lagi-lagi, tanpa suara cekikian atau bergosip.
ADVERTISEMENT
Sistem nilai yang mereka anut memang membuat identitas kesukuan mereka menjadi ekslusif dan bertahan di tengah terpaan teknologi. Mereka tampak menyatu dan mencukupkan diri dengan alam yang subur. Tidak diperkenankan sekolah karena tentu akan mengubah standar nilai yang mereka anut.
Uang yang mereka peroleh dari hasil menjual duren, madu, atau beragam hasil alam lainnya mereka gunakan untuk kebutuhan standar yang diizinkan adat seperti baju standar suku Baduy, periuk, tikar, atau kebutuhan dapur.
Hidup di pedalaman desa Baduy membawa kami pada imajinasi kakek-nenek moyang kami yang hidup di zaman baheula, zaman yang menyatu dengan alam, rumah panggung, dan hidup tanpa media sosial.
Wisatawan yang mencoba merasakan hidup di pedalaman suku Baduy. Foto: koleksi pribadi.