Fauzan dan Kemandirian Melawan Abrasi

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
Konten dari Pengguna
31 Januari 2023 10:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pantai Tanjung Baru, Cilamaya, Karawang. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Pantai Tanjung Baru, Cilamaya, Karawang. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Fauzan, anak kedua bibi saya, datang mengetuk rumah. Dia menawarkan sekitar dua kg ikan laut dengan ukuran beragam. Saya melongok ember yang dibawanya, ada tiga ekor ikan sembilang. Langsung saya membelinya seharga tiga puluh ribu rupiah. Lebih murah dari harga ikan laut di pasar Jakarta.
ADVERTISEMENT
Fauzan adalah partner in crime saat saya masih sekolah dasar tahun 90-an. Kami seumuran. Saat libur sekolah, di antara kegiatan wajib kami adalah berpetualang di sekitaran laut Cilamaya, Karawang. Bukan hanya untuk sekadar berenang di pantai yang berwarna cokelat, tapi juga mencari peruntungan lain.
Kami mencari rajungan, ikan, atau bahkan berburu burung dengan modal ketapel di hutan bakau. Fauzan adalah tipikal anak petani dengan segala kemampuan komplitnya untuk bisa survive hidup di desa. Hamparan sawah beserta rawa-rawa yang ada di dalamnya, puluhan kilo meter kelokan sungai, dan laut dapat dia taklukkan dengan sempurna. Fauzan juga lihai dalam memanjat pohon kelapa.
Saya ingat, sekitar lima belas tahun lalu, saat reuni sekolah dasar. Fauzan menyampaikan kalau saat itu sedang menekuni mencari ikan di laut dan akan disiapkan untuk biaya kuliah. Tentu saja mimpinya tidak terwujud karena berbagai rupa kebutuhan.
ADVERTISEMENT
Agak berbeda dengan kami yang ke laut hanya sekadarnya saja, Fauzan memilih mencari ikan di laut adalah profesinya. Kami adalah keluarga petani, bukan pelaut. Tapi sawah yang digarap menipis lantaran lahan warisan keluarga tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Situasi tersebut membuat kami mencari berbagai alternatif mata pencaharian.
Jika saya dan keluarga mengikuti jejak orang tua merantau ke Jakarta, Fauzan memilih tetap tinggal di desa dan melaut. Hanya bermodal ban yang membebat badannya, berkilo-kilo lautan dia arungi. Bahkan, Fauzan pernah pingsan disengat ular berbisa. Saya sendiri cukup ngeri membayangkannya.
Saya jadi ingat, hampir tiga puluh tahun lalu saat saya, Fauzan, dan teman-seman sepermainan ‘berlibur’ ke Pantai Tanjung Baru. Lokasi wisata dengan jarak hanya empat kilo meter saja. Dengan mengayuh sepeda, kami dapat menjangkau lokasi sekitar setengah jam.
ADVERTISEMENT
Setelah memarkir sepeda di warung, kami menelusuri hutan bakau. Hutan ini tampak eksotik, lebat, penuh dengan beragam burung, ikan, dan kepiting. Tapi hutan bakau hilang sepuluh tahun kemudian. Perluasan tempat wisata menjadi penyebabnya.
Seperti yang sudah diduga, tempat wisata tidak terurus. Tidak ada manajemen yang mumpuni dari pihak setempat. Pulau karang yang menjadi destinasi utama di tengah laut kini tak berbentuk karena karang tidak lagi eksis. Banyak wisataman yang menggamit karang-karang tersebut untuk dibawa pulang.
Sementara pantai pun kemudian rusak, bekas-bekas warung dibiarkan begitu saja, dan tidak ada lagi keramaian pada saat waktu libur. Padahal, pada puncaknya artis ibu kota pun sempat manggung di pantai tersebut.
Situasi yang paling memprihatinkan adalah terjadinya abrasi di sepanjang pantai utara tersebut. Setelah dampak benar-benar dirasakan karena abrasi menggerus tambak dan sawah penduduk, tampak kesadaran mulai muncul.
ADVERTISEMENT
Pemerintah kabupaten dan bahkan masyarakat pesisir kini mulai menanam pohon bakau. Mereka mencitakan hutan mangrove. Seperti cerita Nurhusen, warga di Desa Sukajaya, tetangga desa dengan tempat tinggal kami, dia menanam bibit bakau ratusan dan kini mencapai lima ribuan pohon.
Dalam lima tahun terakhir, saya pun mulai melihat hasil dari program penanaman pohon bakau tersebut. Di beberapa titik, pohon tampak sudah mulai meninggi. Dari kejauhan, di sisi timur dan barat dari pantai yang saya dahulu biasa kunjungi tampak tumpukan hutan hijau.
Gempuran air laut tampak terbendung oleh hutan bakau tersebut. Puluhan burung pun tampak mulai kembali hadir yang sempat menghilang. Sementara Fauzan, saudara sepupu saya yang belum lama ini ditinggal abadi istrinya, terus mengayuh badannya dengan ikatan ban di badannya. Ada dua teman lainnya yang berprofesi serupa.
ADVERTISEMENT
Semoga dengan adanya hutan bakau tersebut membuat Fauzan dan kawan-kawannya tidak harus mengyuh diirnya jauh dari pantai. Terlalu berisiko baginya jika ban tiba-tiba bocor atau kejadian lain seperti gigitan ular yang pernah dialamianya.
Kemandirian mengelola pantai oleh masyarakat pantai adalah solusi karena kemampuan anggaran pemerintah pun terbatas.