Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kembali Kepada Nilai, Bersyukur Dengan yang Ada
12 Oktober 2024 17:38 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang teman, bergelar doktor, tampak tidak berdaya dengan kondisi kantornya yang cenderung tidak memiliki standar ajeg dalam memformula sistem karir pegawai. Karir akan lancar seperti jalanan di Jakarta saat lebaran jika yang bersangkutan dekat dengan penguasa yang notabene berasal dari partai, tapi tidak akan lancar jika menjaga jarak.
ADVERTISEMENT
Kemudian, teman lain yang menjadi pegawai di kecamatan sebuah kabupaten di Jawa Barat menceritakan jika camatnya berpihak kepada calon bupati yang merupakan pejabat incumbent, sementara sekretaris camatnya berpihak kepada calon bupati yang merupakan mantan sekda.
Situasi itu kerap terjadi di berbagai pemerintahan daerah. Pegawai negeri dituntut undang-undang untuk netral dan tidak boleh partisan, tapi realitasnya mereka harus menjadi partisan, bahkan secara terang-terangan.
Situasi memang menjadi problematik jika seorang pegawai memilih netral karena netral dianggap tidak mendukung. Situasi ini terjadi karena kepala daerah yang terpilih secara otomatis menjadi pejabat pembina kepegawaian (PPK) yang memiliki kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) dan membina manajemen ASN di instansi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Situasi ini juga yang kelak membuka celah praktik jual beli jabatan. Sebenarnya terdapat mekanisme open bidding atau sistem seleksi terbuka untuk jabatan setingkat pejabat tinggi pratama dan pejabat tinggi madya. Namun, seleksi terbuka kerap dilakukan di ruang-ruang tertutup.
Tidak ada mekanisme pengawasan yang ketat dan benar-benar efektif terhadap tim penilai. Padahal, sangat mungkin tim penilai mendapatkan intervensi untuk memenangkan pejabat tertentu.
Indahnya atribut jabatan
Bagi seorang pegawai pemerintah, umumnya memiliki kesamaan terhadap apa yang diharapkan dan tidak diharapkan. Jawabannya tidak jauh dari jabatan dan atribut dari jabatannya. Jabatan juga berbanding lurus dengan potensi pendapatan yang diraih.
Menjadi anggota dewan, selain nikmatnya panggilan sebagai anggota dewan yang terhormat, terdapat pula sejumlah fasilitas yang mentereng, termasuk uang pensiun sepanjang hayat.
ADVERTISEMENT
Apalagi dengan jabatan menjadi presiden, maka atribusi jabatannya yang sangat besar membuat banyak orang mendudukinya. Anda bisa bayangkan, pensiunan presiden itu seharga 62 juta rupiah per bulan. Itu tidak termasuk tunjangan dan privilege melekat lainnya.
Atribusi jabatan adalah bagian dari nikmat-nikmat kekuasaan yang rasanya kalau boleh bersifat abadi. Bagaimana tidak, seorang penguasa, bercandanya adalah perintah. Guyonannya bisa jadi terealisasi dalam waktu singkat.
Keindahan jabatan seharusnya dibarengi dengan tanggung jawab dan konsekuensi yang ketat. Begitu juga dengan tanggung jawab dan risiko pekerjaan harus dibarengi dengan mekanisme reward yang mumpuni.
Memperjelas atribusi jabatan
Atribusi jabatan harus dibuat dengan detail, pasti, dan tidak multi tafsir. Seorang pejabat, apalagi dia adalah pejabat pembina kepegawaian seperti kepala lembaga dan kepala daerah harus memahaminya dengan baik.
ADVERTISEMENT
BPK, KPK, BPKP, OJK, Kejaksaan, Polri, BKN, Kemenpan RB, Kemenkeu, dan lembaga terkait yang berfungsi sebagai pengatur pengelolaan kelembagaan, kepegawaian, dan keuangan mempunyai tanggung jawab untuk memastikan sistem berjalan dengan sempurna. Tidak boleh ada celah yang dapat dimanfaatkan karena kebutuhan primer pelaksanaan program kedinasan terpenuhi dengan baik.
Apa yang kita saksikan saat beragam fakta yang dituduhkan kepada Syahrul Yasin Limpo saat menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika dibuka lebar di persidangan adalah contoh kasus yang harus dilihat dari berbagai aspek. Begitu juga dengan kasus-kasus jual beli jabatan yang berserakan terjadi di berbagai kabupaten/kota dan provinsi.
Pertama, apa yang dipertontonkan jangan-jangan memang menjadi kebiasaan dan dianggap biasa bagi pejabat di berbagai level. Jika iya, maka keruwetan sistemik ini harus diperbaiki dengan basis pendekatan yang fundamental, yaitu pendekatan nilai. Selain itu, aturan harus dibuat dengan pendekatan yang rasional, memperhatikan aspek sosio-kultural sehingga aturan memang bisa diterapkan.
ADVERTISEMENT
Kedua, terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dianggap penting dalam sistem budaya masyarakat Indonesia yang tidak terakomodir oleh sistem. Seorang teman yang menjadi anggota dewan di sebuah kabupaten dibuat pusing dengan tradisi beragam jenis undangan hajatan di daerah pemilihannya.
Saya terbelalak rupiah yang harus dia keluarkan untuk amplop dan ucapan berupa bunga atas undangan yang masuk ke mejanya. Bayangkan, ini bukan hanya acara hajatan pernikahan tapi juga termasuk di dalamnya peristiwa kematian, kegiatan keagamaan, dan kegiatan seremonial lainnya.
Situasi ini juga berlaku terhadap para pejabat lain di berbagai level. Situasi ini tidak semudah yang dibayangkan karena ini adalah sistem budaya yang ada di masyarakat. Lalu, jika kita telisik lebih lanjut, dari manakah para pejabat itu membeli bunga ucapan tersebut.
ADVERTISEMENT
Beragam aturan harus dibuat agar juga menjawab persoalan-persoalan teknis seperti itu. Termasuk model pencegahan penyelewangan yang dilakukan penegak hukum juga harus menyentuh aspek-aspek budaya tersebut.
Kembali kepada nilai
Ada yang hilang dalam mekanisme seleksi atau sistem karir pegawai, baik di tingkat pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Yang hilang tersebut adalah sebuah nilai. Sangat sulit mencari nilai kejujuran dalam diri pegawai atau pejabat termasuk mereka yang seharusnya menjadi pemegang utama nilai tersebut, yaitu inspektorat dan penegak hukum.
Aturan, seketat apapun, jika pelaksananya tidak bermoral, maka aturan hanyalah daftar norma yang akan dilanggar. Proses membuat seseorang memiliki nilai dan berpegang teguh pada aspek integritas dan kejujuran pada akhirnya tidak begitu saja terjadi. Proses tersebut memang panjang, tapi kita tidak boleh menyerah untuk tetap menerapkannya.
ADVERTISEMENT
Keputusasaan kita terhadap penegakan aturan dan berdirinya sebuah nilai hanyalah akan menambah daftar para pelanggar itu sendiri.
Bagi kita, prinsip hidup pada akhirnya hanya ada dua pilihan, menerima yang ada atau merasa kurang dengan yang ada. Pada akhirnya ini soal rasa. Sementara rasa basisnya adalah subyektivitas. Nilai sebuah subyektivitas pun akan kembali pada bagaimana proses pembentukannya.
Nah, saat ditanya apakah gaji dan tunjanan kinerjamu cukup, maka jawabannya akan kembali pada proses pembentukan nilai yang kita lakukan. Kata Rumi, di dunia ini ada satu hal yang tidak boleh dilupakan. Jika kau lupa banyak hal, tapi masih ingat satu hal tersebut, maka tidak ada yang perlu kau khawatirkan.
Sebagai pegawai pemerintah, mungkin satu hal yang tidak boleh saya dan Anda lupakan adalah nilai kejujuran. Nilai yang menempatkan rasa syukur dengan yang ada melampaui akan keinginan-keinginan yang tidak berujung.
ADVERTISEMENT