Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memaknai Hidup dengan Cara yang Sederhana dari Warga Pulau Tidung
1 Januari 2025 20:55 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Untuk kesekian kalinya, saya kembali menginjakkan kaki di salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Di penghujung akhir tahun 2024 tersebut, kami berkunjung ke pulau terpanjang di Kepulauan Seribu yaitu Pulau Tidung Besar yang panjangnya mencapai 4,7 km.
ADVERTISEMENT
Panjang tersebut belum ditambah panjang jembatan penghubung dengan Pulau Tidung Kecil berikut pulaunya. Untuk saya yang sedang suka berlari, ini adalah kabar gembira.
Di antara beberapa riwayat, nama Tidung berhubungan dengan nama salah satu sub-etnik Suku Dayak yaitu Suku Tidung yang pada umumnya menempati daerah Kalimantan Utara.
Bagi orang seperti saya yang tinggal di daratan pulau besar yaitu di Pulau Jawa, berkunjung ke pulau kecil seperti jajaran di Pulau Seribu memberikan kesan tersendiri. Saya membayangkan keterhubungan di antara warga yang tinggal di sana.
Pada kunjungan terakhir sebelumnya, kami berkunjung ke salah satu pulau indah di Pulau Seribu, yaitu Pulau Pari. Perhatian saya masih sama, soal asal muasal warga pulau.
Orang pertama yang saya temui adalah penjaja bentor. Dia bernama Sion Tomagola, berasal dari Maluku. Pak Sion mengembara seorang diri dan pada akhirnya berlabuh di Pulau Tidung. Dia hanya berbekal informasi jika ada orang-orang Maluku yang tinggal di pulau-pulau utara Kota Jakarta.
ADVERTISEMENT
Orang kedua yang saya wawancara adalah pak Koro. Dia menyebutnya sebagai warga asli Pulau Tidung. Setelah diselidik, ibunya berasal dari Melayu Kalimantan dan ayahnya berasal dari Tangerang, Banten.
Catatan kami memang banyak warga Tangerang, terutama yang berprofesi sebagai nelayan, mengadu nasib untuk menetap di pulau-pulau yang ada di Kepulauan Seribu.
Pak Koro berprofesi sebagai pembawa kapal, dugaan saya dia adalah kapten. Ketika kami menikmati sore hari di sekitaran Pulau Tidung, pak Koro lah pembawa kapalnya. Katanya, kapal yang dibawanya adalah kapal orang lain, bukan miliknya.
Pria yang usianya tidak terpaut jauh dengan saya ini adalah salah satu dari sekian banyak orang pulau yang ramah. Dia menjawab dan menjelaskan setiap detail pertanyaan kami. Dia juga menjelaskan setiap sisi Pulau Seribu dengan detail. Pak Koro adalah tipe pelayan wisatawan nomor satu.
Di antara keseruan yang diberikan pak Koro adalah sesekali membiarkan saya mengemudikan kapalnya. Pengalaman asik bagi saya yang sehari-hari adalah pengendara roda dua atau roda empat. Saya berasa memiliki kapal sendiri.
ADVERTISEMENT
Bagaimana caranya pak Koro memuaskan pelanggan adalah hal hebat yang perlu saya acungi jempol. Dia memberikan kami rekomendasi sewaan sepeda, tempat ikan bakar, lokasi sun set dan sun rise, atau sekadar tempat nongkrong dan mancing pun dia infokan dengan baik.
Lokasi tempat penginapan yang kami pilih tampaknya menyajikan beberapa spot menarik. Sore hari, kami benar-benar menikmati suasana syahdu di pinggiran pantai yang telah disiapkan untuk orang macam kami mematut-matut alam.
Langit barat tampak berubah-ubah warna, merah merona, jingga memesona, dan taburan warna yang tidak pernah kami temui di Jakarta. Kami berlima tidak bosan mencari beragam posisi untuk memotret setiap detailnya. Apalagi si sulung sedang senang-senangnya mengambil gambar dan video.
Lantunan adzan maghrib membuat semuanya semakin dalam mematut ciptaan Tuhan. Begitu besar nikmat Allah swt dihamparkan kepada umatnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi yang tidak jauh dari kami, peragaan warga memancing cumi juga membuat kami takjub. Anak muda, pria dewasa, dan emak-emak paruh baya turut mengambil untung musim cumi. Sama seperti kami, mereka juga bergegas angkat diri dari laut karena panggilan adzan.
Pulau Tidung adalah gambaran pulau kecil yang penduduknya berasal dari beragam suku bangsa. Namun, mereka disatukan oleh budaya orang pulau. Islam sebagai agama mayoritas juga memberikan nuansa tersendiri.
Masjid selalu tampak ramai, program pembacaan yasin dan tahlil yang rutin, berikut kajian keislaman juga tampak meriah. Suara toa masjid yang keras tampak sengaja agar seluruh penghuni pulau dapat mendengarnya. Segala macam pengumuman, seperti kematian atau kejadian-kejadian lain juga disamapaikan dari masjid ini.
ADVERTISEMENT
Kami benar-benar belajar dari beragam aktivitas warga pulau ini. Keterhubungan antar warga, ragam profesi jasa dan pembagiannya dalam berbagi profesi, atau sekadar bagaimana mereka menyapa kami para wisatawan adalah kesan positif yang tidak layak kami lupakan.
Sampai anak saya turut berkomentar "kalau boleh, kita memiliki rumah di pulau ini untuk sesekali berlibur dan rumah bisa disewakan saat kembali beraktivitas di Jakarta."
Saya merespon dengan senyum dan bergumam dalam hati, tampaknya dia nyaman juga berlibur di pulau ini. Tidak perlu jauh-jauh ke tempat yang membutuhkan biaya tinggi, apalagi di musim liburan seperti ini.
Tentu saja konflik sosial pasti terjadi di manapun berada, termasuk di pulau ini. Manusia sebagai makhluk sosial, juga memiliki naluri konflik. Namun, tampaknya percikan-percikan konflik di pulau ini tidak tampak di muka. Artinya, mekanisme penanganan konflik di tempat ini cukup baik.
ADVERTISEMENT
Kami benar-benar belajar memaknai hidup dengan cara yang sederhana dari warga Pulau Tidung. Terima kasih tahun 2024 dan semoga kami terus belajar memaknai hidup di tahun 2025.