Konten dari Pengguna

Menjadi Pemimpin yang Bertanggung Jawab

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
1 Desember 2024 17:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Iluatrasi catatan uang korupsi dan gratifikasi. Foto: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Iluatrasi catatan uang korupsi dan gratifikasi. Foto: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang dipimpinnya. Kalimat yang berasal dari ucapan Nabi Muhammad tersebut memiliki makna yang dalam atas setiap orang. Tentu saja itu juga tergantung kepada pemahaman masing-masing individu atas kalimat tersebut.
ADVERTISEMENT
Rekan kerja saya, sebut saja namanya Daud, dalam obrolan singkat setelah melaksanakan salat Jumat di masjid kantor menyampaikan kegundahan hatinya. Pegawai yang lahir di tahun 90-an tersebut merasa bersalah jika dirinya melakukan manipulasi anggaran. Katanya, tidak banyak tapi tetap meresahkan jiwa.
Sebagai pendengar, saya menyampaikan jika masih ada keresahan di hati, maka itu adalah petunjuk positif. Petunjuk bahwa hatinya tidak tertutup rapat oleh perilaku dosanya. Keresahan hati adalah makna masih hidupnya nurani dan itu harus dijaga.
Apa yang dialami Daud, pun dialami oleh banyak pegawai. Apalagi jika atasannya bermental kapal keruk alias pemotong anggaran alias pengambil hak pegawainya. Kegiatan non-budgeter menjadi kebiasaan buruk bagi sebagian pegawai pemerintah. Apalagi jika pimpinan berasal dari partai politik.
ADVERTISEMENT
Bagi pejabat yang berasal dari partai politik, budaya proposal permohonan bantuan dari konstituen adalah laksana pisau bermata dua. Keharusan melayani sebagai cara menjaga konstituen seringkali berbanding lurus dengan perilaku koruptif seperti penyisihan anggaran atau mark up anggaran.
Sementara tidak melayani konstituennya akan berakibat ditinggalkan dan itu mengancam karir politiknya. Model negara demokrasi seperti Indonesia tampaknya banyak dampak buruknya.
Terkait manipulasi anggaran, banyak pegawai pemerintah yang dibuat tidak berdaya. Temuan-temuan KPK atas kasus Syahrul Yasin Limpo (SYL) saat menjabat menjadi Menteri Pertanian adalah contoh sempurna atas tingkah pejabat yang tidak bertanggung jawab atas kepemimpinannya.
Bayangkan, SYL adalah sosok birokrat karir yang memiliki riwayat panjang, merangkak dari bawah. Syahrul adalah pegawai negeri sipil sekaligus politisi di era orde baru. Karirnya begitu cemerlang sehingga menjabat sebagai Bupati Gowa, Wakil Gubernur Sulawesi Selatan, Gubernur Sulawesi Selatan dan kemudian menjadi Menteri Pertanian.
ADVERTISEMENT
Namun, perjalanan panjang dan dikatakan selamat ketika menjabat sebagai Bupti, Wagub, dan Gubernur tidak dibarengi ketika menjadi Menteri. Dia gagal memegang janjinya unutk amanah dan bertanggungjawab atas sumpahnya kepada Allah swt sebagai Menteri.
Bayangkan, SYL didakwa dengan dugaan gratifikasi sebesar Rp 44,5 miliar dan pasal pemerasan. Menteri SYL dianggap menggunakan anggaran kementerian serta uang “patungan” dari bawahannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Uang-uang tersebut dia gunakan untuk membeli emas, kondangan, membeli kendaraan, menghelat acara sunatan anaknya, pembelian perawatan wajah, hingga membayar biduan dangdut.
Perilakunya membuat antaro masyarakat Indonesia terperangah, marah, dan diangap di luar nurul. Namun, fakatanya memang demikian.
Pertanyaan lanjutan kemudian muncul, apakah ketika SYL menjabat Bupati, Wagub, atau Gubernur tidak berperilaku demikian. Dugaan pun muncul jika sebelumnya pun SYL demikian. Kita tidak bisa menilai terlalu jauh karena perilaku seseorang memang bisa berubah.
Ilustrasi uang hasil korupsi dan gratifikasi. Foto: pixabay.com
Jabatan memang selalu menjadi ujian. Karena implikasi jabatan adalah kekuasaan. Sementara kekuasaan yang besar selalu berbanding lurus dengan ujian untuk korupsi.
ADVERTISEMENT
Lord Acton “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kalimat tersebut dia tulis dalam sebuah surat kepada Uskup Mandel Creighton tahun 1887. Perlu dicatat, di era tersebut, uskup memiliki kekuasaan yang besar.
Dus, membatasi kekuasaan adalah satu hal mutlak agar siapapun yang berkuasa, dia dapat membatasi dirinya. Batasan kekuasaan adalah pengawasan yang benar, yang tegak lurus.
Selain pembatasan dan pengawasan atas kekuasaan, maka seseorang harus ingat dan sadar bahwa semua kekuasaan akan dimintai pertanggungjawabannya. Karir jabatan SYL yang mentereng kini harus diakhir dengan karir sebagai koruptor di meja hijau, di dunia.
Jauh lebih penting adalah ketika seseorang menyadari bahwa pertangungjawaban berikutnya adalah di hadapan Allah swt, Tuhan yang maha berkuasa. Kesadaran bahwa penghakiman Tuhan adalah pasti sesungguhnya akan menempatkan kita pada satu titik, takut untuk korupsi.
ADVERTISEMENT
Kesadaran akan hukuman Tuhan akan menempatkan seseorang untuk tidak mencari-cari celah perilaku koruptif seperti yang diceritakan oleh teman saya Bernama Daud di atas. Mari kita Kembali kepada kesadaran personal, kesadaran spiritual, lalu kesadaran untuk taat terhadap hukum.