Konten dari Pengguna

Momentum Lebaran, Kembali ke Titik Nol

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
13 April 2025 10:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi lebaran. foto: koleksi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi lebaran. foto: koleksi pribadi
ADVERTISEMENT
Lebaran adalah peristiwa penting dalam latar, rasa, fikiran, dan pengalaman spiritual umat manusia, termasuk lebaran Idul Fitri bagi umat Islam. Tentu saja ada yang menggapnya biasa saja, tapi tidak dengan saya atau keluarga saya.
ADVERTISEMENT
Sejak dahulu, kami menempatkan lebaran dalam jajaran peristiwa penting perjalanan hidup. Ada banyak alasan kenapa kami menempatkan moment lebaran sebagai peristiwa yang tidak kami anggap biasa-biasa saja.
Sebagai keluarga besar yang merantau ke Jakarta, orang tua saya, lalu diikuti oleh sebagian besar anak-anaknya, lebaran selalu memaksa kami untuk pulang mudik. Tidak jauh, hanya dari Jakarta ke Karawang bagian utara. Tapi tetap saja itu adalah mudik.
Kini, saat anak-anak dari orang tua kami sudah beranak pinak, mudik tetap saja menjadi peristiwa spesial walaupun harus beradaptasi dengan situasi keluarga masing-masing. Di antara kami ada yang berlebaran di kampung, ada yang datang di H+1, H+2, H+3, dan seterusnya. Apapaun itu, kami mudik dan saling berkunjung.
ADVERTISEMENT
Sementara sejak saya menikah dengan perempuan Jawa Timur, maka mudik menjadi tradisi yang sangat kuat di keluarganya. Tidak mudik itu tidak wajar, wagu atau saru. Sehingga, apapun yang terjadi mudik adalah keharusan. Dari 18 tahun peristiwa mudik selama kami menikah, hanya satu kali tidak mudik lantaran pandemi Covid-19.
Mudik esensinya adalah kembali. Dia menjadi perluasan dari makna kembali sebagaimana mafhum kita mendengar “minal ‘aidzin...” yang berarti kita adalah termasuk orang-orang yang kembali.
Di setiap peristiwa lebaran, saya dan mungkin juga Anda merasakan atau mendapatkan cerita, kabar, atau situasi yang berbeda dari yang pernah terjadi sebelumnya. Di peristiwa lebaran tahun 1446 H ini pun, saya mendapati situasi dan perasaan yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Situasi yang berbeda itu misalnya situasi perjalanan mudik, orang-orang yang kita temui dengan segala macam ceritanya, dan ragam cerita lainnya. Keponakan yang bertambah, orang tua yang sudah tiada, saudara yang sedang terbaring sakit, pernikahan, dan bahkan perceraian.
Pun jika kembali kepada situasi keluarga inti, istri dan anak-anak kita saja akan merasakan perbedaan-perbedaan tersebut. Apalagi, jika anak-anak Anda sudah merantau baik karena di pesantren, sedang kuliah, atau bekerja.
Saya, dan kita semua, perlu merefleksikan atas apapun yang terjadi dalam setahun berjalan, dari lebaran ke lebaran. Sebagai kepala keluarga, sejak dahulu kami membangun tradisi mengumpulkan anak dan istri, lalu memberikan “materi” dan penekanan terhadap apa yang sudah kita lakukan dan apa yang harus dilakukan, terutama kepada anak-anak yang sudah beranjak remaja.
ADVERTISEMENT
Forum ini menjadi ruang refleksi, evaluasi, dan penguatan atas apa yang telah dan akan dilakukan. Kita, sebagai orang tua, bukan manusia sempurna. Begitu juga anak-anak kita.
Saya punya tiga anak laki-laki. Ketiganya berbeda tampilan muka dan fisiknya, perilaku, bentuk kecerdasan, pertemanan, cara berfikir dan bertindak, dan seterusnya. Kadang juga mereka salah bertindak dan membuat kami bernafas dalam-dalam.
Begitulah hidup dan namanya hidup akan terus seperti itu. Kita tidak bisa selalu ideal atau selalu seperti yang kita mau.
Selalu ada drama dalam perjalanan hidup dan itu semua seharusnya menempatkan kita kembali kepada kata ‘aidzin, kita menjadi bagian dari orang-orang yang kembali. Tentu saja kembali kepada fitrah, kembali kepada semua yang Tuhan minta, lalu kembali kepada Tuhan.
ADVERTISEMENT
Lima tahun terakhir ini, peristiwa lebaran menjadi cukup spesial karena anak-anak pulang dari pondok dan juga kembali ke pondok. Kami kembali berpisah, untuk sementara waktu.
Selalu ada cerita, baik yang kita harap dengar ataupun yang tidak harap kita dengar. Lagi dan lagi, selaku orang tua, tidak boleh bosan untuk berikhtiar dan memohon perlindungan kepada Allah swt agar anak-anak kita terjaga dari segala yang buruk.
Dus, pada momentum lebaran, mari kembali ke titik nol, titik pemberhentian, titik reset, ke titik bahwa kita adalah bukan siapa-siapa. Kita hanyalah hamba Allah yang akan kembali kepada-Nya. Ampuni kami ya Rab.
Saya bersyukur dengan semua yang Tuhan berikan dan tidak ada alasan sedikitpun untuk mengingkari rasa syukur tersebut. Semoga esensi ibadah puasa di bulan Ramadan agar kita menjadi bertakwa adalah benar adanya dan benar-benar adanya. Amin.
ADVERTISEMENT