Konten dari Pengguna

Mr. Ce: Menjadi yang Terbaik

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
21 Mei 2022 11:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
clock
Diperbarui 7 Juni 2022 11:13 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bersama Mr. Ce. Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Bersama Mr. Ce. Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Semasa masih menjadi mahasiswa UI, tahun 2000-an awal, saya selalu tertarik dengan kontestasi mahasiswa berprestasi. Bahkan, saya yang nir-prestasi ini dengan lugunya mencoba daftar. Barangkali CV dan piagam minor saya menjadi pertimbangan dewan juri. Paling tidak profile saya sebagai anak petani desa atau sebagai anak yatim akan membuat para juri berbelas kasihan. Ternyata tidak.
ADVERTISEMENT
Nama saya hanya lolos seleksi administrasi karena berkas yang dikehendali lengkap. Tapi, selebihnya tidak ada lagi nama saya di babak-babak berikutnya dan saya menjadi penonton setia kontestasi tersebut.
Pada satu waktu saya mendengar pidato pemenang pemilihan mahasiswa berprestasi tersebut. Dengan kerennya dia menutup pidatonya “Hari ini dan hari kemarin hakikatnya sama, yang membedakan adalah buku yang kita baca dan orang-orang yang kita temui.” Kalimat itu begitu berkesan, sampai hari ini.
Karena itu, saya berupaya untuk mencoba banyak membaca (walaupun tidak sebanyak si mahasiswa berprestasi tersebut) dan berupaya berteman dengan siapapun. Berteman adalah bagian penting di zaman serba digital ini. Sekarang eranya berkolaborasi, bukan berkompetisi.
Kolaborasi bermakna dapat berkerja denga siapapun, baik teman atau terhadap pesaing sekalipun. Hari-hari ini, kolaborasi menjadi diksi unggulan dalam ragam diskusi apapun. Terutama dalam konteks meraih keunggulan tertentu.
ADVERTISEMENT
Kembali kepada pesan pemenang mahasiswa UI yang berprestasi tersebut, kali ini saya kembali mengamalkannya. Saya terkesan dengan sosok alumni FISIP UI, senior saya semasa di kampus. Saat saya menjadi mahasiswa baru tahun 2001, beliau tampaknya lulus dari kampus. Jadilah kami tidak bertemu.
Sebagai mahasiswa yang masuk tahun 1997, tentu dia termasuk saksi sejarah peristiwa reformasi 1998. Dia merasakan pergulatan politik besar di akhir Orde Baru.
Rekam jejaknya selama di kampus begitu mumpuni. Di antaranya adalah ketua Kelompok Studi Mahasiswa UI. Saya termasuk segolongan umat yang akan minder dengan jabatan apapun di organisasi mahasiswa tersebut.
Tapi tidak untuk sosok sedarah sesuku senior panutan macam Kang Cecep Rukendi. Saya melongok karir jabatannya di kementerian yang saat ini dipimpin menteri terkaya di Indonesia, Sandiaga Uno. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
ADVERTISEMENT
Saya menemuinya selepas jumatan. Tampilannya sangat khas, mengenakan batik dengan corak harimau. Sandal jepit yang dikenakan untuk salat jumatnya sangat sederhana. Saya yakini harganya tidak lebih dari lima belas ribu rupiah.
Pertemuan pertama yang cukup berkesan. Saya memberanikan diri menyapanya dan tanpa basa basi pak Cecep Rukendi meminta saya turut bersamanya ke ruangan Kepala Biro SDHM dan Organisasi Kemenparekraf. Dia kini menjabat sebagai kepala biro paling panas di kantor-kantor pemerintah.
Saat saya diminta masuk ke ruangannya, saya merasakan aura “kengerian” karena harimau di mana-mana. Selain baju batiknya, ada lukisan, puluhan miniatur, dan bahkan sarung bantal kursi sofa yang saya duduki sekalipun bermotif harimau.
Alumni M.B.A bidang pariwisata Songkla University, Thailand ini dengan hangat dan santai menceritakan soal perjalannya sebagai ASN. Saya terperangah. Bukan karena jabatannya yang mentereng, tapi karena kerja-kerja nyatanya selama menjabat ragam jabatan tersebut.
Perjalanan karir Mr. Ce. Foro dari grup WA jembatan Kolaborasi Mr.Ce
Kreasinya tiada henti. Selalu melakukan sesuatu untuk mendapatkan target atau capaian terbaik. Diksi capaian terbaik ini tampaknya menjadi obesesi hidupnya. Katanya itulah inspirasi dari semangat harimau.
ADVERTISEMENT
Saya lantas melongok lukisan harimau besar persis di belakang kursi utamanya. Fokus utama saya pada tulisan di lukisan tersebut. Kalimat tersebut berbunyi “Tidak cukup menjadi baik, tapi harus menjadi yang terbaik”. Penghobi bulu tangkis tersebut menjelaskan bahwa kita harus memberikan yang terbaik untuk organisasi, untuk bangsa, dan untuk negara. Bukan untuk kepentingan pribadi.
Mantan peneliti pariwisata ini memberikan kesan mendalam bagi saya yang notabene adalah umbi-umbian di lingkungan birokrasi pemerintahan. Menjadi ASN harus senantiasa berbuat yang terbaik. Sambil menyantap sajian makan siang di ruangannya, saya melihat kesungguhan bekerja dari alumni Antropologi FISIP UI ini.
Kang Cecep atau akrab dipanggal Mr. Ce ini masuk dalam kategori birokrat reformis dengan bakat intelektual besar. Pijakan kebijakan-kebijakannya diperhitungkan dengan sangat detail. Maka wajar jika Mr. Ce sudah dipercaya menempati jabatan eselon II di dua posisi strategis yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Wajar juga jika dalam waktu yang tidak lama, Mr. Ce akan merengkuh jabatan yang lebih tinggi. Lagi-lagi, katanya, “jabatan hanyalah cara agar kita berbuat yang terbaik”.
"Kita juga perlu menjadi jembatan kebaikan-kebaikan yang berserak agar dapat berkolaborasi untuk yang terbaik".
Saya mencatat baik-baik kalimat tersebut. Semoga kebaikan adalah tujuan atas segala aktivitasnya.