Narkoba PCC Mengancam Generasi Muda

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
Konten dari Pengguna
1 November 2020 9:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menggunakan narkoba. Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menggunakan narkoba. Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada tahun 2017, dua pabrik besar PCC di Jawa Tengah dibongkar oleh BNN. PCC adalah pil dengan kandungan paracetamol, carisoprodol, dan caffein di Semarang dan Solo dengan barang sitaan belasan juta butir dan puluhan ton bahan baku menunjukkan betapa tingginya peredaran gelap pil jahat ini. Di masyarakat nama lain pil haram ini adalah zenith dan carnophen.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2017 juga, dilakukan penyitaan oleh petugas sebanyak tujuh butir di Banjarmasin pada bulan September, 3,7 juta butir di Sampit, bertumbangnya puluhan warga dan remaja di Kendari, dan 4 ton bahan utama berupa carisoprodol di Batam. Selain itu, laporan masyarakat terkait peredaran pil narkoba di kalangan remaja yang diduga PCC pada saat itu cukup ramai.
Pasar PCC
Terdapat dua kelompok besar penyalahguna obat ini. Pertama adalah kelompok remaja. Masa krusial usia remaja yang tengah menghadapi krisis nilai berpotensi melakukan upaya coba-coba menggunakan narkoba. Lingkungan sangat mempengaruhi kelompok remaja ini.
Kelompok kedua adalah penyalahguna narkoba jenis lain. Para drugs user ekstasi dan jenis narkoba lainnya banyak yang beralih menjadi penyalahguna narkoba jenis PCC ini. PCC dengan kualitas bagus, menurut penyalahguna, nyaman untuk digunakan karena obat ini dapat bekerja seperti ekstasi di satu sisi, juga seperti obat-obatan penenang di sisi lain. PCC yang pernah beredar di Kendari dan mengakibatkan kematian adalah jenis PCC yang jelek karena kualitas bahan baku yang tidak bagus.
ADVERTISEMENT
Penyebab utama narkoba PCC di tahun 2016—2018, sebelum digolongkan menjadi obat jenis narkotika, laku keras di pasaran adalah karena harganya yang terjangkau. Harga di pasaran berkisar Rp 3.000 s.d. Rp 5.000. Bagi penyalahguna aktif, dia dapat meminum dengan jumlah 5 s.d. 10 butir untuk mendapatkan efek lebih. Jika menggunakan 10 butir, maka hanya mengeluarkan uang sebanyak Rp 50.000. Sangat berbeda dengan ekstasi yang harga termurahnya adalah Rp 150.000 dan pada jenis dan situasi tertentu harga mencapai lebih dari Rp 500.000 rupiah.
Pabrik dan peredaran gelap PCC
Pertanyaan menarik dari kasus dibongkarnya pabrik besar PCC di Solo dan Semarang pada akhir tahun 2017 adalah mengapa ada pabrik illegal yang dapat memproduksi narkoba PCC dengan leluasa.
ADVERTISEMENT
Dari tempat kejadian perkara (TKP), disita sekitar 13 juta butir. Barang sitaan tersebut seharga Rp 65 M. Untuk memperoleh satu juta butir narkoba PCC, diperlukan 10 drum carisoprodol, 8 drum paracetamol, dan 1 drum caffein. Tiap satu drum beratnya adalah 25 kg. Artinya, untuk memproduksi 13 juta butir diperlukan bahan baku kisaran 130 drum carisoprodol, 104 drum paracetamol, dan 13 drum caffein. Total beratnya adalah 247 drum 6.175 kg atau 6,175 ton. Selain itu, juga terdapat sekitar 12 ton bahan baku PCC.
Point penting dari kasus ini adalah dari mana mereka mendapatkan bahan baku PCC tersebut. Hanya carisoprodol yang dipastikan diperoleh dari pasar gelap. Sedangkan paracetamol dan caffein selain dari pasar gelap, dapat diperoleh dari perusahaan farmasi. Mengacu pada Undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, paracetamol dan caffein sebagai bahan baku obat-obatan keberadannya diatur karena bahan baku tersebut dilarang beredar untuk obat-obatan yang tidak sesuai mutu atau standar yang ditentukan, terlebih jika dibuat untuk narkoba PCC.
ADVERTISEMENT
Dari jutaan temuan PCC di Kalsel dan Kalteng, temuan 12 ton bahan baku PCC di Riau, wafatnya beberapa warga di Kendari, dan adanya kasus pabrik PCC, maka BPOM dan Kemenkes wajib melakukan audit investigasi menyeluruh terhadap semua perusahaan farmasi dan memberikan sanksi yang jelas kepada perusahan yang melanggar agar marwah hukum dapat tegak.
Carisoprodol termasuk golongan narkotika
Kemudian, setelah rangkaian kasus-kasus penyalahgunaan PCC, pemerintah melalui Kemenkes kemudian memasukkan carisoprodol menjadi golongan narkotika. Statusnya yang telah dilarang untuk digunakan sebagai bahan baku obat-obatan oleh BPOM sejak 2013, dinaikkan menjadi golongan narkotika.
Dengan perubahan penggolongan tersebut, narkoba PCC kini tidak lagi beredar secara leluasa. Para pengedar memahami hukuman atas peredaran dan penyalahgunaan narkoba yang mengandung carisoprodol dapat dihukum sama dengan peredaran dan penyalahgunaan narkoba golongan satu lainnya seperti sabu dan ekstasi.
ADVERTISEMENT
Namun, pada akhir tahun 2019 lalu, BNN Kembali membongkar pabrik pil PCC di Tasikmalaya dengan kapasitas ratusan ribu butir dan merupakan bagian dari jaringan Jawa Barat-Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah. Hasil produksi tersebut didistribusikan ke berbagai wilayah di Indonesia.
Fakta adanya pabrik PCC tersebut mengindikasikan jika pasar gelap narkoba PCC sudah terbentuk. Terbentuknya pasar narkoba PCC sejak lama adalah tantangan petugas untuk terus melakukan upaya pengawasan peredaran ilegal secara ketat. Pangsa pasar narkoba PCC yang menyasar generasi muda adalah ancaman serius.
Pengawasan terhadap narkoba PCC dapat dilakukan terhadap pengawasan bahan legal yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari komponen pil PCC yaitu paracetamol dan cafein. Kemenkes dan BPOM harus melakukan audit secara ketat terhadap dua jenis sediaan farmasi tersebut karena PCC merupakan pil utuh yang tidak hanya mengandung carisoprodol yang dipastikan masuk ke Indonesia secara ilegal.
ADVERTISEMENT