Konten dari Pengguna

Reuni Alumni Sekolah: Jalan Hidup yang Tak Sama

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
8 Mei 2022 14:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto selamat datang reuni alumni sekolah.  Dok. WA Grup IKAMA '97
zoom-in-whitePerbesar
Foto selamat datang reuni alumni sekolah. Dok. WA Grup IKAMA '97
ADVERTISEMENT
Salah satu keriuhan paska lebaran adalah kegiatan berkunjung ke sanak famili, teman sekolah, atau pertalian lainnya. Selain kegiatan berkunjung, momen reuni atau halal bihalal kerap diadakan untuk mewadahi pertemuan tersebut.
ADVERTISEMENT
Reuni memang menjadi lebih efektif karena secara waktu dapat berjumpa dengan puluhan atau ratusan handai taulan yang terserak di berbagai daerah. Ada berita gembira dan duka. Ada cerita sukses dan ada juga cerita lara. Hidup memang akan selalu seperti itu, selalu ada yang berbeda.
Bagi generasi sekolah tahun 90-an, momen reuni kerap dijadikan sebagai ajang temu setelah dua puluh tahun terjarak waktu. Rerata sudah berkeluarga, beranak pinak. Bahkan, bagi kelompok sosial tertentu, ada juga yang sudah mempunyai cucu.
Saya adalah bagian dari generasi sekolah tahun 90-an tersebut. Pendidikan lanjutan pertama saya adalah Madrasah Tsanawiyah Negeri Arjawinangun, Cirebon. Sebagai anak madrasah tsanawiyah, seragam kami adalah celana biru toska panjang.
Tradisi zaman tersebut model celananya adalah cutbray. Model celana dengan melebar di ujung bawah lalu menyempit di bagian atas. Semakin lebar bagian bawahnya, semakin keren dilihatnya.
ADVERTISEMENT
Saya ingat, seorang teman, sebut saja namanya Aldo. Perawakannya kurus, rambutnya panjang belah dua, gaya jalannya dibuat mirip Bang Haji Rhoma dalam film Berkelana. Celana cutbray-nya dijahit berwana putih, padahal yang lain biru, agar kontras sehingga terlihat berbeda. Dia adalah pemain favorit bola voli pada masanya.
Ada juga yang teman kami yang lain. Panggilannya Kusnadi, ciri khasnya adalah masuk kelas terlambat, bajunya jarang sesuai aturan baku sekolah. Jika hari itu seragam pramuka, dia pakai baju putih. Jika yang lain baju putihnya dimasukkan ke celana, dia terurai keluar.
Sementara buku yang dibawanya hanya satu buku tulis, dilipat menjadi dua, lalu dimasukkan ke kantong celana belakangnya. Padahal siswa ini adalah santri yang bermukim di pesantren terdekat.
Aldo dan Kusnadi. Dua kawan yang memiliki jalan hidup berbeda. Dok. WA Grup IKAMA '97
Tidak juga lupa seorang teman yang lain. Semasa sekolahnya dulu terlihat santuy, murah senyum, dan tampak biasa-biasa saja. Warung nasi milik ibunya adalah langganan saya makan siang saat uang wesel baru dikirim orang tua. Kini, nasibnya pun berbeda.
ADVERTISEMENT
Ada juga teman yang sedemikian usilnya, sedemikian rajinnya berorganisasi, sedemikian terkenalnya karena prestasi, teman yang sok jagoan, dan seterusnya. Rasanya perlu satu buku untuk mencatat semua cerita seru mereka.
Kenangan tersebut timbul saat momen lebaran yang digelar setelah 25 tahun lulus sekolah. Bayangkan tampang polos dan bersih dahulu kini telah berubah menjadi berkeriput, berkumis tebal, rambut beruban dan yang hampir pasti berubah adalah badan melebar tak karuan. Terutama kaum perempuan.
WA grup tampak riuh ramai tiada henti. Sebagai orang yang tinggal di kawasan pantura Jawa Barat, identitas Bahasa dan gaya berbahasa kami khas. Jumlah chat kerap mencapai ribuan jika saya tak membuknya dalam hitungan lebih dari 24 jam. Model kalimatnya pun pendek-pendek dan ekspresif. Tipikal kaum pantura yang spontan, terbuka, dan tidak basa-basi.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri sering melakukan aksi skip, tidak membaca seluruh chat karena teramat panjang. Tidak merasa juga terganggu dengan panjangnya perbincangan. Toh, tidak ada kewajiban mengeja seluruh kalimat yang ada di grup tersebut.
Sesekali saya membaca dengan cukup perhatian dan mencoba melakukan profiling kembali atas satu per satu teman sejawat semasa sekolah lanjutan pertama tersebut. Ada yang menjadi TKI di luar negeri, petani, buka bengkel, pedagang pakaian, toko kelontong, guru, dosen, penyanyi, pengusaha, atau pegawai negeri.
Ada yang sudah punya anak, ada yang janda, duda, dan ada pula yang menikah lebih dari satu kali. Bahkan, mungkin juga ada yang sudah tiada.
Jalan hidup memang tampak berbeda. Satu hal yang sama adalah kita sama-sama sementara hidup di dunia. Tidak abadi. Itulah kenapa silaturahim itu mesti dijaga. Bukan untuk ajang pamrih harta dan kekayaan, namun untuk evaluasi diri seberapa kita mampu memberi. Paling tidak rasa empati atas jalan hidup yang tidak mudah bagi sebagian yang lain.
Santunan pada momen reuni. Dok. WA Grup IKAMA '97
Reuni juga bukan untuk mengembalikan jatuh cinta kembali yang kandas. Bukan untuk itu. Perasaan cinta yang tumbuh saat sekolah lanjutan pertama adalah kenaifan yang tak perlu diingat. Anggap saja itu gurauan hidup seperti tadzkiroh Illahi, “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta hartamu.”
ADVERTISEMENT
Bagi orang beriman, naib rezeki dan nasib jodoh adalah suratan yang patut untuk diimani. Cerita jatuh cinta kembali paska reuni sehingga merusak rumah tangga adalah perilaku tak patut yang tidak perlu terjadi.
Saya kembali mematut-matut WA grup paska acara reuni. Terlihat bahagia walau tidak hadir di sana. Semoga niatan menyambung silaturahim diganjar pahala keberkahan hidup dan kehidupan yang sementara ini. Lagi-lagi, saya sendiri bahagia menilik kesuksesan yang diraih mereka. Sekaligus memohon kemudahan kepada Allah swt bagi yang sedang mendapati ujian hidup yang tak ringan.
Jalan hidup memang tidak sama. Namun, ekspresi kebahagiaan dan kesyukuran tetaplah sama. Senyum tulus, perhatian tanpa pamrih, dan doa yang saling terpaut untuk mengetuk pintu-pintu keberkahan langit. Happy Ied Mubarak 1443 H!!
Perwakilan guru yang hadir di acara reuni. Dok. WA Grup IKAMA '97