Sesat Pikir Sebutan “Teroris Milenial”

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
Konten dari Pengguna
5 April 2021 17:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Teroris Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Teroris Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Dalam waktu berdekatan, dua kali kejadian teroris menyeruak, bom gereja di Makassar dan aksi koboi di Mabes Polri. Kedua aksi tersebut sejatinya terlihat konyol. Korbannya pun adalah pelaku sendiri.
ADVERTISEMENT
Bom gereja Makassar, pelakunya adalah sepasang suami-istri. Sementara pelaku penodongan dan penembakan senjata air gun di Mabes Polri adalah seorang wanita belia, kelahiran 1995. Berjarak belasan tahun dengan saya. Pelaku adalah generasi milenial. Pun pasangan bom bunuh diri gereja di Makassar, usianya di kisaran 20-an tahun.
Saya melongok menghadap anak-anak saya yang usianya beranjak dua digit, mereka sedang bermain gadget, bermain game lebih tepatnya. Hati saya bergumam, janganlah anak-anak ini menjadi ekstrem pemikiran dan keyakinan, kiri atau kanan. Ekstremitas adalah kekeliruan, dia bertentangan dengan prinsip pertengahan (wasathiyah).
Tantangan zaman selalu berubah. Pun pemikiran dan pola-pola kaum ekstrem berubah. Keyakinan memang harus dijaga, dibina, dan dipelihara. Bahkan, radikal dengan keyakinan adalah kewajaran asalkan dia anti kekerasan, apalagi membunuh.
ADVERTISEMENT
Pengalaman wawancara mantan napi teroris
Saya teringat dengan sewindu yang lalu, saat saya melakukan wawancara dengan seorang mantan teroris di Semarang. Saat saya tengah berjuang menyelesaikan tesis saya tentang terorisme di Indonesia.
Informan saya adalah alumni narapidana teroris. Sekeluarnya dari lapas, dia menyatakan tidak lagi sepemikiran dengan rekan-rekannya yang lain. Walaupun, irisan pemikiran tentu masih ada.
Amri, sebut saja namanya demikian, juga masih melakukan komunikasi dengan rekan-rekannya yang berbeda pemikiran dengannya. Amri banyak bercerita soal dinamika pemikiran rekan-rekannya yang sudah terpapar pemikiran ekstremis, takfiri, dan teroris. Katanya, di internal mereka pun terjadi benturan dan silang pendapat.
Amri, saat bertemu saya, masih mempunyai sisi-sisi pemikiran ekstrem. Termasuk sikapnya yang cenderung anti pemerintah, menilai pemerintah tidak adil. Menurutnya juga, pendekatan penegakan hukum tidak akan menyurutkan ekstremitas yang berkembang di antara mereka.
ADVERTISEMENT
Penegakan hukum berfungsi dalam porsi menahan pelaku dari tindakan teror dan keselamatan nyawa orang lain. Sementara ideologi mereka tidak akan terpengaruh.
Bandul ekstremitas
Ekstremitas adalah tingkat ideologi seseorang apakah dia berada di ekstrem kiri, tengah, atau ekstrem kanan. Ekstremitas, kiri atau kanan, adalah persoalan. Karena itu, menggeser bandul ekstremitas agar ke tengah adalah tugas utama dan tugas bersama.
Memerangi terorisme adalah memerangi ideologinya, memerangi ekstremitas berpikir, dan memerangi ideologi teror atau ideologi kekerasan. Upaya menarik para ekstremis-teroris ini ke tengah, agar tidak terlampau ke kiri atau ke kanan, tidak dapat dilakukan hanya oleh pemerintah (Densus 88 dan BNPT). Namun, kita semua dapat turut serta di dalamnya.
Kita juga perlu ingat, bahwa ekstremisme adalah ideologi minoritas. Mereka adalah kelompok superminority yang berada di titik kutub, kiri atau kanan. Karena kita sedang menghadapi kelompok yang sedikit ini, maka tugas kita adalah menarik mereka agar bergerak ke tengah. Saya termasuk yang percaya jika bandul esktrimisme dapat bergerak sesuai kondisi zaman.
ADVERTISEMENT
Adalah tanggung jawab kelompok mayoritas menarik mereka agar lebih ke tengah. Kita tidak boleh membiarkan kelompok ekstrem yang sedikit ini semakin menjauh berada di ujung kurva. Mereka tidak boleh menjadi semakin berbeda karena jauh dari kita yang berada di tengah.
Dalam khazanah dan diskusi kajian aliran-aliran dalam Islam, bandul tengah adalah mereka para penganut ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Sementara yang berada di ekstrem kanan adalah kaum takfiri, kaum khawarij. Di titik ekstrem lainnya adalah mereka yang liberalis tuntas, yang mempertanyakan syariat dan bebas menentukan hukum atas logika berpikirnya secara radikal.
Penyebutan sesat teroris milenial
Aksi lone wolf wanita belasan tahun, AZ, mengingatkan saya kepada saudara-saudara wanita saya yang lain. Sebagiannya adalah berusia belasan tahun. Saya membayangkan yang tidak-tidak, saudara-saudara saya, atau anak dari teman-teman saya, akan teracuni pikirannya sehingga menjadi ekstrem.
ADVERTISEMENT
Adalah pikiran sesat menyebut para teroris ini dengan sebutan teroris milenial. Perlu dicatat, saat ini generasi milenial mendominasi populasi penduduk negeri. Di pemilu nanti, 60% pemilih adalah generasi milenial. Menyebut segelintir pelaku teror dengan sebutan teroris milenial adalah sesat karena tidak mencerminkan representasi generasi milenial saat ini.
Generasi milenial ini juga lah yang mendominasi ragam profesi yang lain, termasuk politisi nantinya. Penyebutan teroris milenial sama sesatnya dengan penyebutan “koruptor muslim” hanya karena para koruptor ini beragama Islam. Lagi-lagi, banyak koruptor beragama Islam karena memang Islam adalah agama mayoritas di negara ini.
Toh, baik tindakan teror ataupun tindakan korupsi, keduanya tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Paling tidak, itulah yang saya pahami dari guru-guru ngaji moderat saya. Untuk korupsi, kita juga perlu ekstrem dalam sikap anti-korupsi, pun sikap ekstrem anti-teror.
ADVERTISEMENT
Kita perlu menjaga agar generasi milenial ini tidak terpapar ideologi teror. Caranya, mengajak mereka tidak terkekang dalam satu warna pemikiran. Mereka perlu mendapat pondasi yang kuat, termasuk pondasi agama, bahwa tindakan teror adalah dosa dalam ajaran-ajaran agama.
Sebagaimana firman-Nya "Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya." (QS Al-Maidah: 32)