Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Warisan Tak Kasat Mata yang Membentuk Identitas Budaya Jepang
17 April 2025 15:35 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Fatimah Hanunah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Jepang, negara dengan sejarah panjang dan budaya yang kaya, telah memberikan kontribusi signifikan terhadap peradaban dunia melalui warisan budayanya yang beragam. Warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) Jepang merupakan aspek penting yang mencerminkan filosofi, nilai, dan estetika masyarakat Jepang yang telah berkembang selama berabad-abad. Pada era modernisasi yang pesat ini, warisan budaya tak benda ini menghadapi tantangan preservasi dan adaptasi. Meski demikian, melalui berbagai upaya pelestarian, warisan budaya ini tetap relevan dan semakin dikenal secara global.
ADVERTISEMENT
Konsep Warisan Budaya Tak Benda
Warisan budaya tak benda merujuk pada praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, dan keterampilan yang diakui oleh komunitas, kelompok, dan dalam beberapa kasus individu sebagai bagian dari warisan budaya mereka. UNESCO mendefinisikan warisan budaya tak benda sebagai tradisi atau ekspresi hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi, termasuk tradisi lisan, seni pertunjukan, praktik sosial, ritual, acara perayaan, pengetahuan dan praktik tentang alam dan semesta, serta pengetahuan dan keterampilan untuk menghasilkan kerajinan tradisional.
Di Jepang, konsep warisan budaya tak benda telah diakui secara formal dalam sistem legislatif mereka sejak tahun 1950 dengan pembentukan "Undang-Undang Perlindungan Properti Budaya." Jepang adalah salah satu negara pertama yang mengembangkan sistem perlindungan komprehensif untuk warisan budaya tak benda, bahkan sebelum UNESCO mengembangkan kerangka internasionalnya. Badan Urusan Kebudayaan Jepang (Bunka-cho) mengategorikan warisan budaya tak benda menjadi beberapa klasifikasi, termasuk "Properti Budaya Tak Benda Penting" dan "Teknik Pelestarian Properti Budaya Tak Benda Penting" (Bunka Agency for Cultural Affairs, 2021).
ADVERTISEMENT
1. Seni Pertunjukan Tradisional
Teater tradisional Jepang seperti Noh, Kabuki, dan Bunraku (teater boneka) merupakan bentuk seni pertunjukan yang telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda Kemanusiaan. Noh adalah bentuk drama musik tertua di Jepang, menggabungkan musik, tarian, dan drama dengan topeng yang rumit. Kabuki, dengan tata rias yang mencolok (kumadori) dan gaya akting stilistik, berkembang sebagai hiburan populer pada periode Edo (1603-1868). Bunraku menampilkan boneka berukuran sepertiga manusia yang dimanipulasi oleh tiga dalang (ningyo-zukai), diiringi narasi (tayu) dan musik shamisen.
Selain itu, ada berbagai bentuk tarian tradisional seperti bugaku (tarian istana), kagura (tarian suci Shinto), dan bon odori (tarian festival obon). Setiap bentuk tarian ini memiliki gerakan, kostum, dan musik khusus yang mencerminkan konteks historis dan fungsi sosialnya.
ADVERTISEMENT
Hashimoto (2003) menunjukkan bahwa seni pertunjukan rakyat Jepang (minzoku geinō) menghadapi dilema antara preservasi sebagai warisan budaya dan adaptasi sebagai atraksi wisata. Sementara pariwisata memberikan kesempatan ekonomi dan perhatian publik, hal ini juga dapat menyebabkan modifikasi pertunjukan untuk memenuhi harapan wisatawan. Beberapa komunitas berhasil menavigasi ketegangan ini dengan membedakan antara pertunjukan "autentik" untuk ritual lokal dan versi yang dimodifikasi untuk konsumsi turis.
2. Ritual dan Praktik Keagamaan
Ritual Shinto dan Buddha membentuk aspek integral dari warisan budaya tak benda Jepang. Festival (matsuri) seperti Gion Matsuri di Kyoto, Sanja Matsuri di Tokyo, dan Nebuta Matsuri di Aomori menggabungkan ritual keagamaan, pertunjukan musik, tarian, dan prosesi dengan kereta hias yang rumit (dashi atau yatai). Festival-festival ini tidak hanya merupakan perayaan keagamaan tetapi juga berfungsi sebagai ekspresi identitas komunitas dan kontinuitas budaya.
ADVERTISEMENT
Praktik spiritual seperti meditasi Zen, upacara teh (chado atau sado), dan rangkaian bunga (ikebana) juga merupakan warisan budaya tak benda yang mencerminkan filosofi Jepang tentang harmoni, kesederhanaan, dan apresiasi terhadap keindahan yang sementara. Upacara teh berkaitan erat dengan konsep wabi-sabi, estetika yang menghargai ketidaksempurnaan, kesederhanaan, dan kesementaraan. Ruang upacara teh (chashitsu) dan peralatan yang digunakan dirancang untuk menciptakan pengalaman yang menekankan momen sementara yang dibagikan antara sang tuan rumah dan tamunya.
Lalu ada Ikebana (rangkaian bunga) yang berkembang dari persembahan bunga di altar Buddha menjadi bentuk ekspresi artistik yang kompleks. Berbeda dengan rangkaian bunga Barat, ikebana berfokus pada garis, bentuk, dan penggunaan ruang. Aliran utama seperti Ikenobo, Sogetsu, dan Ohara memiliki filosofi dan teknik yang berbeda, namun semua merefleksikan prinsip estetika Jepang seperti kesederhanaan dan harmoni dengan alam.
ADVERTISEMENT
3. Tradisi Kuliner
Masakan Jepang (washoku) telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada tahun 2013. Washoku bukan sekadar makanan tetapi merupakan praktik sosial yang komprehensif berdasarkan pengetahuan mendalam tentang bahan-bahan alami dan penghormatan terhadap alam. Prinsip-prinsip seperti keseimbangan rasa, presentasi visual yang mempertimbangkan warna dan musim, serta penggunaan optimal bahan lokal dan musiman mencerminkan filosofi Jepang tentang harmoni dengan alam.
Menurut UNESCO (2023), washoku memiliki empat karakteristik utama: (1) penggunaan beragam bahan segar dan pemanfaatan rasa alaminya, (2) diet yang seimbang dan sehat yang mendukung umur panjang, (3) ekspresi keindahan alam dan perubahan musim, dan (4) koneksi erat dengan perayaan tahun baru dan acara musiman lainnya.
Washoku memiliki dimensi sosial yang penting, memperkuat ikatan keluarga dan komunitas melalui persiapan dan konsumsi bersama. Selama perayaan Tahun Baru (Shogatsu), keluarga menyiapkan hidangan khusus seperti osechi ryori, serangkaian makanan simbolis yang dikemas dalam kotak berlapis (jubako). Setiap komponen osechi memiliki makna simbolis: kazunoko (telur herring) melambangkan kesuburan, kuromame (kedelai hitam) melambangkan kesehatan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
4. Keterampilan dan Pengetahuan Tradisional
Sistem iemoto dalam seni tradisional memastikan transmisi pengetahuan dari master ke murid. Kerajinan tradisional (kōgei) meliputi berbagai teknik dan produk, dari tembikar hingga tekstil. Japan Crafts Forum (2023) mengidentifikasi lebih dari 200 kerajinan tradisional yang ditetapkan sebagai "Kerajinan Tradisional Jepang" (dentō kōgei).
Keterampilan seperti pembuatan kertas washi, pencelupan tekstil shibori, dan pembuatan pedang samurai dipertahankan melalui pelatihan intensif. Washi dari daerah Mino, Echizen, dan Tosa telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda.
Pengetahuan tradisional tentang pengobatan herbal, pertanian berkelanjutan, dan sistem pertanian satoyama mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dan alam dalam budaya Jepang. Karan (2005) menjelaskan bahwa lanskap satoyama merupakan contoh sempurna dari konsep pembangunan berkelanjutan, di mana masyarakat Jepang tradisional telah mengembangkan sistem pengelolaan lingkungan yang menyeimbangkan kebutuhan manusia dengan pelestarian ekosistem.
ADVERTISEMENT
Pelestarian dan Tantangan
Pemerintah Jepang telah mengembangkan sistem yang komprehensif untuk perlindungan warisan budaya melalui Undang-Undang Perlindungan Properti Budaya. Desain "Properti Budaya Penting," "Harta Nasional," dan "Pemilik Harta Budaya Tak Benda" (Ningen Kokuhō atau "Harta Manusia Hidup") membantu mengidentifikasi dan melindungi warisan budaya yang signifikan. Sistem Ningen Kokuhō memberikan pengakuan kepada individu atau kelompok yang memiliki keterampilan luar biasa dalam seni dan kerajinan tradisional, memberikan subsidi untuk memudahkan mereka mendokumentasikan dan mentransmisikan pengetahuan mereka (Bunka Agency for Cultural Affairs, 2021).
Namun, Jepang menghadapi tantangan signifikan dalam pelestarian warisan budayanya. Urbanisasi dan depopulasi di daerah pedesaan mengancam keberlanjutan festival lokal dan kerajinan tradisional. Perubahan gaya hidup dan preferensi konsumen telah mengurangi permintaan untuk produk tradisional, membuat banyak bentuk kerajinan tradisional berada di ambang kepunahan.
ADVERTISEMENT
Hashimoto (2003) mengidentifikasi beberapa tantangan khusus yang dihadapi seni pertunjukan rakyat, termasuk kekurangan pemain muda, biaya produksi yang tinggi, dan berkurangnya kesempatan untuk pertunjukan. Untuk mengatasi hal ini, beberapa komunitas telah mengadaptasi struktur organisasi mereka, mendirikan asosiasi preservasi (hozonkai) yang secara aktif merekrut anggota dan mencari dukungan dari pemerintah lokal dan sponsor swasta.
Pariwisata budaya merupakan pedang bermata dua bagi warisan budaya Jepang. Sementara meningkatkan kesadaran dan memberikan dukungan ekonomi untuk pelestarian, overtourism dapat mengkomersialisasi praktik budaya hingga mengurangi otentisitasnya. Studi SAJ Journal (2024) menunjukkan bahwa beberapa komunitas telah mengembangkan strategi untuk menyeimbangkan antara memenuhi ekspektasi wisatawan dan mempertahankan integritas tradisi mereka.
Globalisasi menghadirkan tantangan dan peluang. Budaya populer global dapat mengikis praktik tradisional, namun minat internasional terhadap budaya Jepang juga mendorong upaya pelestarian. Kekuatan ikonik Jepang melalui anime, manga, dan J-pop sering menjadi pintu masuk bagi orang untuk menjelajahi aspek tradisional budaya Jepang.
Warisan Budaya dalam Era Digital
Era digital telah mengubah cara warisan budaya tak benda Jepang dipresentasikan, diakses, dan dipahami. Teknologi seperti dokumentasi audio-visual berkualitas tinggi, platform media sosial, dan aplikasi interaktif menciptakan peluang baru untuk dokumentasi, diseminasi, dan apresiasi warisan budaya.
ADVERTISEMENT
Badan Urusan Kebudayaan Jepang telah mengembangkan database online yang komprehensif tentang properti budaya Jepang, termasuk warisan budaya tak benda. Platform ini menyediakan informasi rinci tentang berbagai tradisi, praktisi terkenal, dan inisiatif konservasi, membuatnya dapat diakses bagi peneliti dan publik secara global (Bunka Agency for Cultural Affairs, 2021).
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa warisan budaya tak benda Jepang merupakan aset berharga yang terus berkembang di tengah modernisasi. Fenomena ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai tradisional bisa tetap relevan di era kontemporer meskipun menghadapi berbagai tantangan.
Melihat bagaimana elemen tradisional berhasil beradaptasi dan bahkan mendapatkan popularitas baru melalui media kontemporer, ini membuktikan bahwa warisan budaya tak benda bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi entitas dinamis yang terus berkembang sesuai zamannya. Dengan pendekatan yang tepat, warisan ini akan terus menjadi bagian penting dari identitas Jepang dan inspirasi global di masa mendatang.
ADVERTISEMENT