Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
(Bukan) Sekadar Kisah Biasa dari Terminal
29 Mei 2023 21:51 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Fatimah Alatas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Layaknya seorang jurnalis,
Profesi diplomat memungkinkan perjumpaan dan interaksi dengan para tokoh dari berbagai kalangan,
ADVERTISEMENT
Sebut saja,
Perdana Menteri,
Menteri,
Pengusaha,
Penyanyi,
Presenter ternama,
Hingga,
Youtubers ternama dunia sekalipun.
Namun, ada dua sosok yang masih melekat dalam benak saya,
Sosok yang tidak kunjung hilang dari ingatan, meski perjumpaan dengannya sudah melampaui satu dekade lamanya.
***
Suatu siang di bulan Oktober 2011,
Saya berdiri di tengah kerumunan manusia.
Berdiri menantang terik matahari,
Mencari seorang sosok narasumber untuk liputan bertemakan “Jakarta diserbu pendatang” pasca Lebaran.
Di pelataran sebuah terminal bus di Jakarta Timur,
Saya menunggu kedatangan bus antarkota .
Bus-bus yang datang membawa penumpang dari berbagai daerah di Pulau Jawa.
***
Masih lekat dalam ingatan saya,
Kala itu, saya ditugaskan untuk melaporkan arus balik lebaran sekaligus mencari sosok pendatang di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Mereka yang datang untuk mencari peruntungan di Jakarta,
Mereka yang pertama kali menginjakkan kaki ke Jakarta.
Saya mengamati setiap langkah kaki yang menuruni bus,
Menghampiri mereka satu per satu dan mengkonfirmasi jika mereka sudah pernah ke Jakarta sebelumnya.
Sayang, semua penumpang bus yang saya dekati siang itu menjawab 'sudah pernah menginjakkan kaki di Ibukota'.
Hingga saya pun merasa letih.
Lalu memilih duduk di trotoar di depan pos penjagaan terminal.
Di trotoar, telah duduk dua sosok perempuan muda.
Saya memilih beristirahat sejenak di sebelah mereka,
Sembari mengamati kerumunan penumpang di terminal.
Hingga suara perempuan di sebelah saya menyapa:
“Mba mirip sekali sama majikan saya, daritadi saya lihat mba keliling terus, saya tidak tega lihatnya. Mba kok mau yah duduk di bawah gini? Panas-panasan begini”
ADVERTISEMENT
Saya tergelitik mendengarnya.
Jujur, berpanas-panasan ataupun duduk di sembarang tempat bukanlah sesuatu yang aneh bagi saya.
Profesi yang saya jalani saat itu seringkali menuntut banyak bekerja di lapangan.
Tidak masalah.
Karena menjadi seorang jurnalis adalah passion saya,
Profesi yang saya nikmati karena perannya yang mewakili kepentingan publik.
Bertemu orang,
Melobi,
Melontarkan pertanyaan,
Mendengarkan,
Berpikir,
Mencari data,
Membantah kejanggalan,
Menyandingkan berbagai perspektif,
Lalu meramu dan menuangkannya dalam untaian kata-kata.
Mengolahnya menjadi sebuah berita.
Tugas seorang Jurnalis.
***
Jurnalis tidak pernah lepas dari interaksi dengan manusia dan kata-kata.
Berpetualang dari satu cerita ke cerita lain,
Mewawancarai satu manusia ke manusia lain,
Mengunjungi satu tempat ke tempat lain: dari Istana Kepresidenan hingga berbaur di terminal bus sekalipun.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya hari itu.
***
Sekian menit beristirahat di trotoar terminal,
Saya lantas memperkenalkan diri kepada perempuan di sebelah saya: “Saya Ima, saya sudah biasa mba duduk di mana saja, memang begini pekerjaan saya”.
“Masa? Sudah biasa?”, tanya perempuan yang belakangan saya ketahui bernama Esih.
***
Esih datang ke Jakarta bersama dengan temannya Yuni.
Keduanya berasal dari Ciwidey, Jawa Barat.
Sejak pagi Esih dan Yuni menunggu seseorang di tepian trotoar.
Saya melontarkan pertanyaan kepada mereka: “Sudah berapa lama duduk di sini?"
Esih lalu menghela napas panjang:
“Sudah dari pagi, saya ke sini membawa teman saya Yuni untuk kerja jadi pembantu rumah tangga di Jakarta. Yuni baru pertama ini ke Jakarta, makanya saya temani berangkat dari kampung. Calon majikan Yuni berpesan agar kami tunggu di sini saja, nanti akan dijemput. Hanya sampai siang begini belum datang juga”
ADVERTISEMENT
Saya tertegun mendengar penjelasan Esih tentang Yuni.
Ini dia tokoh ‘pendatang’ yang saya cari sejak tadi.
Saya lantas menjelaskan bahwa saya mencari orang yang baru pertama ke Jakarta, untuk diangkat cerita serta aspirasinya.
Kepada saya, Yuni bercerita bahwa Ia terpaksa ke Jakarta, meninggalkan anak semata wayangnya di kampung, karena membutuhkan dana untuk biaya sekolah, makan dan susu anak.
Sementara, Esih menceritakan pengalamannya bekerja sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Arab Saudi.
Tidak seperti kebanyakan cerita naas PMI,
Esih mengaku mendapat majikan yang sangat baik dan menyayanginya.
Miris, uang hasil jerih payahnya sewaktu mengadu nasib di luar negeri habis dihamburkan sang suami yang menetap di kampung halaman.
Keduanya seperti bernasib kurang baik,
ADVERTISEMENT
Namun, keduanya memiliki persamaan,
Rela meninggalkan kampung halaman dan keluarga,
Demi kebutuhan dan tanggung jawab menghidupi keluarga.
Di luar dugaaan, Esih mengakhiri cerita dengan mengangkat kedua tangannya: “Ya Allah, semoga mba Ima mendapat pekerjaan yang lebih baik, yang tidak perlu panas-panasan seharian”
***
Hari itu, saya terheran-heran dibuatnya.
Baru pertama saya bertemu orang asing yang dengan khidmat mendoakan saya.
Kala itu, saya begitu mencintai pekerjaan saya tapi saya bertemu dengan sosok perempuan yang mendadak mendoakan saya mendapat pekerjaan lain. -_-
Entah ada kaitannya atau tidak,
Beberapa hari setelah pertemuan dengan Esih dan Yuni di terminal,
Saya mendapatkan tawaran bekerja di salah satu perusahaan multinasional terbesar di dunia.
Kala itu, saya tertarik menerima tawarannya karena ingin mencoba tantangan baru.
ADVERTISEMENT
Selama bekerja di perusahaan itu pun, saya tidak pernah ‘panas-panasan’,
Penampilan saya selalu necis,
Penghasilan saya meningkat drastis,
Orang yang saya temui mayoritas berasal dari kalangan atas,
Saya pun tidak pernah lagi duduk di sembarang tempat.
Namun, ada yang hilang di tengah segala kemewahan yang saya dapatkan, yaitu semangat bekerja untuk kepentingan publik.
Ya, saya begitu rindu pada pekerjaan yang ‘memaksa saya’ bekerja mewakili kepentingan masyarakat.
Saya lantas mencoba mendaftar rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Kementerian Luar Negeri, mengikuti serangkaian tes hingga lulus tes Pejabat Diplomatik dan Konsuler.
Orang tua saya senang bukan main,
Keluarga besar dan teman-teman senang,
Dan mungkin,
Esih dan Yuni pun senang😊.
Entah kapan saya akan bertemu kembali dengan mereka,
ADVERTISEMENT
Tapi saya yakin saya berada di titik sekarang,
Bukanlah karena sebuah kebetulan,
Bukanlah karena semata-mata (mungkin) memiliki ilmu dan kemampuan,
Tapi tidak lepas dari orang-orang yang mendoakan.
Mereka yang kepentingannya harus saya perjuangkan, seperti Esih dan Yuni.
Kini, melalui diplomasi saya bekerja untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat Indonesia,
Esih dan Yuni, hanya dua diantaranya.
***