Konten dari Pengguna

Napak Tilas Yogyakarta

Fatimah Marilyn
Pengabdi Negara - Penikmat Cerita - Gemar Bertutur Kata. Sesdilu SA75ET. Diplomat CreA(c)tive. Kenapa anak ayam bunyinya piyak piyak? Soalnya ayam dewasa ASN bunyinya ciyap ciyap.
20 November 2023 8:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fatimah Marilyn tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi" demikian sepenggal kalimat dalam lagu "Yogyakarta" milik band KLa Project. Kalimat yang nampaknya dapat diresapi dan dimaknai secara berjamaah bagi para mahasiswa/i pencari ilmu yang pernah merantau ke kota Yogyakarta. Begitupun dengan saya.
ADVERTISEMENT
Sempat tinggal di Yogyakarta 3 tahun mengikuti penugasan orang tua, ditambah berkuliah di UGM selama kurang lebih 4 tahun, genap (atau ganjil?) sudah 7 tahun saya menyimpan memori di sudut-sudut kota Yogyakarta.
Akhirnya pada November 2023 lalu, saya berkesempatan kembali menginjakkan kaki di kota penuh rindu ini. Dalam rangka kegiatan Sekolah Staf Dinas Luar Negeri (Sesdilu) angkatan ke-75 yang sedang saya ikuti, kami melakukan kunjungan ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selain melakukan kegiatan kedinasan untuk mempromosikan Industri dan UMKM Yogya ke pasar internasional (baca: Diplomat Indonesia ajak UMKM Yogya naik kelas), kesempatan emas ini tentunya tidak saya lewatkan untuk napak tilas ke sudut-sudut kota Yogya.
Jejak petualang saya dimulai dengan apalagi yang bukan sipaling Yogya selain sarapan kuliner asli Yogya: gudeg. Saya dan beberapa teman mencoba sarapan gudeg. Mungkin sarapan gudeg terdengar asing bagi sebagian orang karena biasanya lebih diminati sebagai santapan siang ataupun malam. Namun setelah mencoba, ternyata sensasinya luar biasa. Saya mencoba gudeg dengan bubur sebagai pengganti nasi, alhasil menu sarapan pagi itu menjadi pengalaman pertama sekaligus core memory baru bagi saya.
Penulis dan teman sarapan di Gudeg Mbok Lindu (Foto: Dok. pribadi)
Kiri: penjual gudeg Mbok Lindu, kanan: bubur gudeg (Foto: Dok. pribadi)
Malam harinya ketika sedang senggang, saya dan teman mencoba berjalan kaki menyusuri jalan malioboro. Betapa terkejutnya saya dengan keadaan jalan yang jauh berbeda dengan apa yang ada di ingatan. Jalan malioboro malam itu tetap penuh ramai dengan manusia baik turis lokal maupun asing, namun tempat pejalan kaki entah kenapa terlihat lebih lengang.
ADVERTISEMENT
Pawai di jalan malioboro circa tahun 2018 masih terlihat banyak pedagang kaki lima di sekitaran ruko (Foto: Dok. pribadi)
Baru saya sadari, beberapa kios pedagang kaki lima yang biasa mangkal di sepanjang deretan depan ruko sudah tidak ada lagi. Chera, teman saya asli Yogya yang menemani saya malam itu, bercerita bahwa Pemda telah melakukan penertiban dan memusatkan semua pedagang kaki lima di satu tempat khusus "Teras Malioboro" supaya lebih tertib dan tertata.
Teras Malioboro binaan Pemda DIY (Foto: Dok. pribadi)
Di hari terakhir sebelum kepulangan, target saya selanjutnya adalah Lopis Mbah Satinem yang legendaris. Berbekal hasil menonton "Street Food Asia" di Netflix, saya dan beberapa teman berangkat pukul 06.00 pagi menuju daerah Bumijo tempat Mbah Satinem berjualan. Namun tanpa disangka, sesampainya di sana antrian sudah mengular.
"Yaah telat deh" begitu pikir kami.
Lopis Mbah Satinem yang legendaris (Foto: Dok. pribadi)
Teman saya Ramadhan, diplomat yang sedang bertugas di KBRI Kairo, yang paling bersemangat ingin mencicipi lopis ini. Menurutnya, sudah jauh-jauh dari Kairo datang ke Yogya sayang kalau tidak mencoba lopis legendaris ini. Namun sayang, nampaknya kami belum berjodoh.
ADVERTISEMENT
Saking ramainya lopis ini dibuatlah sistem antrean dari 1 hingga 50, sehingga apabila antrean habis para pelanggan harus rela bersabar menunggu hingga 50 orang tadi selesai dilayani dan antrean dibuka kembali. Ini namanya mengantre untuk antrean hehe. Karena sudah kepalang lapar dan terburu waktu untuk kembali ke Jakarta, akhirnya kami terpaksa mengurungkan niat untuk mengantre dan memutuskan makan di pasar Kranggan yang tidak kalah menarik, sebelum akhirnya kembali ke hotel.
Pasar Kranggan dengan aneka ria jajanan pasar dan kuliner (Foto: Dok. pribadi)
Ah, Yogyakarta memang tempatnya rindu dan kenangan. Saya menyesal sudah kembali ke Yogya lagi, karena bukannya mengobati rindu namun malah menambah memori baru. Setibanya kembali di Jakarta, saya sudah tidak sabar untuk kembali pulang ke Yogyakarta.
ADVERTISEMENT