Art Therapy: Goresan Artistik Pengontrol Emosi

Fatin Nafisah Azzahra
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
18 Desember 2020 10:21 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fatin Nafisah Azzahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
pixabay/ponce_photography
zoom-in-whitePerbesar
pixabay/ponce_photography
ADVERTISEMENT
Tidak jarang kita merasa tertekan dengan keadaan kita. Jika ditanya faktor penyebabnya, mungkin selembar kertas tidak akan mampu menampung segala keluh kesah kita. Bahkan seringkali kita merasa kesulitan untuk mengungkapkannya dalam untaian kalimat dan pada akhirnya semua permasalahan itu hanya kita pendam tanpa sempat menyalurkan emosi yang kita rasakan. Apakah ada yang pernah merasakan hal tersebut?
ADVERTISEMENT
Memendam emosi bukanlah hal yang baik. Menurut penelitian, emosi yang dipendam akan berdampak buruk pada diri kita, utamanya terhadap kondisi psikologis yang nantinya dapat menurunkan kekebalan tubuh kita. Salah satu dampak dari hal tersebut ialah timbulnya kecemasan berkepanjangan yang akan menstimulus hormon stres dan tidak jarang akan menyebabkan rasa mual serta sakit kepala.
Berbicara tentang stres, menurut Weinberg dan Gould (2003) stress merupakan kondisi saat terdapat ketidakseimbangan antara tuntutan (fisik atau psikis) dan kemampuan untuk memenuhinya. Tidak mengherankan jika saat stres kita merasa sulit untuk berkonsentrasi dan pikiran cenderung bercabang. Sebenarnya stres tidak melulu berdampak negatif. Berdasarkan teori yang dikemukakan Selye (1975), stress terbagi menjadi dua yaitu eustress yang memberikan dampak positif dan distress yang cenderung berikan dampak negatif.
ADVERTISEMENT
Sangat banyak cara yang bisa dilakukan untuk mereduksi atau mengurangi stres. Dari sekian banyak cara tersebut, cara yang cukup mudah tetapi masih jarang diketahui ialah melalui Art Therapy. Art Therapy dapat menjadi fasilitas bagi individu untuk memvisualisasikan emosi dan pikiran yang tidak dapat diungkapkan sehingga diungkapkan melalui karya seni dan kemudian ditinjau untuk diinterpretasikan oleh individu (Setyoadi & Kushariadi, 2011).
Pada dasarnya art therapy merupakan kombinasi antara konsep seni (art) dan ilmu psikologi. Beberapa teknik yang digunakan dalam art therapy ialah menggambar, melukis, mewarnai, memahat, atau kolase. Terapi dengan cara ini cenderung mudah untuk digunakan dalam berbagai kalangan usia dari usia anak-anak, remaja, dewasa, hingga lansia. Hal ini karena dalam melakukan art therapy, kita tidak memerlukan kemampuan seni yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Kegiatan art therapy sendiri dapat menjadi saluran pembuangan energi negatif untuk mengatasi tekanan hidup, membantu dalam meningkatkan self-esteem, meredakan konflik emosional yang sedang dialami, mengurangi stres dan kecemasan, serta dapat mengembangkan kemampuan coping individu. Coping sendiri merupakan upaya yang dilakukan individu untuk mengatasi tuntutan baik internal maupun eksternal yang melebihi batas kemampuan individu.
Sifat art therapy yang ekspresif membuat metode ini sangat sesuai untuk menjadi sarana pelepasan emosi dan self-discovering. Melalui aktivitas seni terkadang kita jadi lebih bisa mengenali perasaan kompleks yang kita rasakan dan mengekspresikan segala emosi yang sangat sulit jika harus diungkapkan secara verbal karena di sini kita bebas mengekspresikan apa yang ingin kita ungkapkan.
Seorang profesor neuroscience di Universitas Alabama Birmingham sekaligus mantan presiden American Art Therapy Association, Christianne Strang, mengatakan jika kreativitas itu sangat penting untuk menjaga diri kita agar tetap sehat, tetap terhubung dengan diri sendiri, dan dengan dunia.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dimisio pada tahun 1994, suatu gambar yang dilihat, dibayangkan, atau bahkan direalisasikan dalam bentuk nyata dapat mengaktifkan bagian visual cortex pada otak. Hal ini membuktikan jika kegiatan seni memang memiliki pengaruh terhadap otak kita.
Art Therapy sudah sangat tidak asing di negara-negara barat. Berbeda halnya dengan negara di Asia yang masih belum cukup banyak menerapkan metode terapi seni ini. Di Asia Tenggara hanya terdapat satu kampus yang menyediakan program studi art therapy, yaitu Lasalle College of Art Singapore.
Sedangkan di Indonesia, art therapy mulai berkembang sedikit demi sedikit. Hal ini diawali dengan dicetuskannya projek IATP atau Indonesia Art Therapy Project yang digagas oleh Yohanita Lestari pada tahun 2016. Eksistensi art therapy di Indonesia semakin melejit karena karya Hanna Madness, seorang seniman doodle art yang mengidap bipolar dan skizofrenia. Ia membuat karakter-karakter doodle yang merupakan representasi dari halusinasinya. Karya-karyanya ini sudah mendunia hingga ia berhasil menjadi delegasi Indonesia dalam Unlimited Festival di Inggris. Wah, prestasi yang luar biasa bukan?
ADVERTISEMENT
Seni tidak pernah menghakimi. Hal ini yang membuat seni menjadi cara yang sempurna untuk melepaskan imajinasi dalam diri kita sekaligus menenangkan diri. Semua orang bisa berseni dimanapun dan kapanpun. Dengan kata lain, tanpa seorang terapis pun kita bisa menenangkan diri kita melalui kegiatan seni tersebut.
Namun, tidak semua orang bisa ‘menerjemahkan’ arti dan maksud dibalik karya yang telah dibuat. Karena dalam art therapy, setiap goresan yang dibuat memilik makna tersendiri dan yang bisa menerjemahkan hal itu hanyalah art therapist. Jika kita ingin mengetahui secara tepat mengenai apa yang kita rasakan berdasarkan karya yang telah kita buat, ada baiknya kita meminta bantuan seorang art therapist.
Jawabannya tidak. Tujuan utama dari metode ini bukan lah untuk mendapatkan hasil karya seni yang artistik dan sempurna, tetapi lebih ke arah mengutamakan kebebasan berekspresi melalui bentuk artistik. Art therapy beranggapan jika setiap individu mempunyai kemampuan untuk berekspresi secara kreatif. Sehingga di sini proses lebih utama daripada hasil akhirnya.
ADVERTISEMENT
Jadi buat teman-teman pembaca yang merasa memiliki hobi di bidang seni dan juga merasa tidak mudah untuk mengekspresikan emosi yang sedang dialami dalam bentuk kata-kata, mungkin metode ini bisa dicoba nih! Ambil alat menggambar atau melukis yang kalian miliki dan mulailah membuat karya yang menakjubkan. Bandingkanlah bagaimana perasaan kalian sebelum dan setelah melakukan artwork.
* * *
REFERENSI :
Dewa Gede Agung Agus Setiana, C. W. (2017). Pengaruh Art Therapy (Terapi Menggambar)Terhadap Stres Pada Lansia. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 13, No. 2, 8-10.
Gharib, M. (2020, January 11). NPR. Retrieved from NPR: https://www.npr.org/sections/health-shots/2020/01/11/795010044/feeling-artsy-heres-how-making-art-helps-your-brain
Khotimah, E. K. (2019). Grafiti dan Mural Untuk Mereduksi Tingkat Stress Pada Komunitas Purbalingga Street Art (PUSAR).
ADVERTISEMENT
Morin, A. (2020, May 11). Verywellmind. Retrieved from https://www.verywellmind.com/what-is-art-therapy-2795755
Raypole, C. (2020, March 31). Healthline. Retrieved from https://www.healthline.com/health/repressed-emotions#physical-effects
Sarah, N. U. (2010). Kajian Teoritis Pengaruh Art Therapy Dalam Mengurangi Kecemasan Pada Penderita Kanker. Buletin Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Volume 18 No.1, 29-35.