Konten dari Pengguna

Ancaman Resesi dalam Irama Politik di Indonesia

Fatkur Huda
lecturer at Muhammadiyah University Surabaya
29 Agustus 2020 6:55 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fatkur Huda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi oleh Mike McQuade
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi oleh Mike McQuade
ADVERTISEMENT
Adanya sebuah prediksi bahwa Indonesia akan memasuki jurang resesi bukan tanpa alasan. Pertumbuhan ekonomi yang terlihat melambat akan kembali membawa pada titik minus. Hal ini dikarenakan adanya sebuah keterlambatan dalam penanganan COVID-19 yang belum maksimal.
ADVERTISEMENT
Meskipun dalam kondisi tersebut tidak lantas membawa ekonomi meresot, namun perlu ada sebuah antisipasi yang cepat dan tepat dalam menghadapinya. Perjalanan waktu dalam kuartal III telah memasuki paruh waktu, artinya hanya tinggal satu setengah bulan lagi kita akan melewati kuartal III.
Jika pemerintah gagal dalam melakukan akselerasi pemulihan ekonomi nasional pada kuartal III maka dapat dipastikan kita menghadapi kondisi resesi. Kondisi dimana terjadi sumbatan pada pendepatan masyarakat di seluruh sector dan merata di semua daerah, bahkan akan meningkatkan jumlah pengangguran.
Dalam sebuah kondisi lain, Indonesia akan melangsungkan hajatan pesta demokrasi dalam rangka pemilihan kepala daerah serentak pada akhir tahun 2020 yakni pada kuartal IV pertumbuhan ekonomi, periode yang diharapkan telah terjadi pemulihan ekonomi secaran nasional.
ADVERTISEMENT
Keseimbangan Ekonomi dan Politik
Dalam proses pembangunan, sasaran politik dalam suatu masa tidak bersinergi dengan sasaran ekonomi. Para pemimpin kita akan dihadapkan pada trade off antara kedua sasaran tersebut.
Mengutip apa yang disampaikan Prof Boediono dalam bukunya Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah, mengaitkan bahwa sejarah menunjukkan secara umum akan sasaran ekonomi tunduk pada sasaran politik. Namun dalam masa tertentu (krisis), sasaran ekonomi menempati urgensi tinggi dan mensubordinasi sasaran politik.
Kondisi tersebut paling tidak akan berlangsung dalam jangka pendek sampai krisis diatasi. Sejarah juga mencatat bahwa apabila suatu kesenjangan atau gap antara sasaran politik dan sasaran ekonomi terlalu lebar, kesulitan menanti negara. Penyesuaian antara keduanya harus terjadi, dan itu bisa menyakitkan (Boediono, 2016).
ADVERTISEMENT
Ada sebuah benang merah antara ekonomi dan politik, dalam kenyataanya antara keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ada sebuah interaksi. Yang pada prinsipnya kebijakan ekonomi adalah hasil dari proses politik dan pelaksanaanya dangan dipengaruhi oleh kondisi politik pada masa tersebut.
Arah umum kausalitasnya adalah dari politik ke ekonomi. Karena kebijakan ekonomi dimaksudkan sebagai penjabaran operasional dari tujuan politik yang lebih luas. Namun dalam kondisi krisis ekonomi mampu melahirkan perubahan politik.
Hal tersebut terjadi apabila kondisi ekonomi sudah pada krisis yang parah dan terjadinya tuntutan dari publik. Bahkan Ketika kita melihat sejarah pasca kemerdekaan, dalam system politik yang belum mapan atau masih dalam proses pembentukan, perubahan tidak hanya akan menuntut tentang kebijakan ekonomi, melainkan perubahan system politik itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Money Politik; Kesejahteraan Semu
Indonesia akan melangsungkan pemilihan kepala daerah secara serentak pada akhir tahun 2020. Dalam sebuah kondisi pandemic sebagaimana yang saat ini masih menyelimuti kehidupan masyarakat, khususnya di Indonesia.
Pandemi membawa Indonesia dalam ancaman krisis ekonomi, kondisi yang akan menuntun pada ruang keterpurukan masyarakat akibat berhentinya sektor-sektor produktif dalam mengupayakan keberlangsungan ekonomi.
Situasi ini tak luput akan menjadi bagian yang diambil oleh para politisi dalam mengamankan konstituen. Dengan memberikan uluran tangan berupa bantuan dengan narasi sebagai upaya membangkitkan ekonomi dan daya beli masyarakat. atau bahkan dalam rangka pencegahan COVID-19 itu sendiri.
Upaya tersebut merupakan bagian dari politik uang, sebagai kunci mobilitas electoral. Hal ini yang oleh Thahjo Kumolo dalam mengartikan politik uang merupakan upaya mempengaruhi masyarakat dengan menggunakan imbalan materi atau juga jual-beli suara pada proses politik dan kekuasaan (Thahjo Kumolo, 2015)
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi masyarakat Indonesia dengan taraf kehidupan yang masih jauh dari standart kesejahteraan, sehingga dengan adanya pemberian uang kepada pemilih (masyarakat) akan menjadi ajang untuk menambah pendapatan.
Yang pada akhirnya, politik uang akan membawa kepada potensi korupsi, merusak tatanan demokrasi dan kerusakan lingkungan akibat keserakahan para elit yang telah menghabiskan modal dalam pertaruhan politik. Kesejahteraan dalam balutan politik uang adalah sebuah kesemuan nyata.
Populisme dalam Lingkar Kemiskinan
Dalam ruang politik di Indonesia bahkan dalam cakupan dunia, Populis menjadi issue yang cukup menarik perhatian, baik dikalangan akademisi maupun praktisi. Issue populisme menjadi trend pada saat majunya Donald Trump dalam pemilihan Presiden di Amerika Serikat.
Bahkan, statistic Google Trend menunjukkan pada saat itu, pada bulan Januari 2017, Ketika berlangsung pelantikan Donald Trump adalah periode dimana kata “populisme” menjadi kata dengan pencarian tertinggi (Mudde, 2018).
ADVERTISEMENT
Catatan Jan-Werner Muller dalam bukunya “What is Populism?” memberikan pendapat bahwa pemimpin populis adalah ketidaksepakatannya pada nilai dan praktik pluralisme di masyarakat. Yakni, pemimpin populis akan selalu mengklaim bahwa dirinya adalah satu-satunya orang yang dapat mewakili masyarakat secara luas.
Pengertian secara konvensional tersebut menjadi klaim bahwa apa yang pemimpin populis ini lakukan merupakan sandiwara untuk mendapatkan dukungan. Sehingga yang dilakukan sebagai upaya mengkampanyekan dirinya adalah bagian dari pencitraan dihadapan public.
Dalam ruang sosioekonomi, maka kemiskinan akan menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan sebagai sasaran pemimpin populis. Yang dalam kepentingannya, maka ia akan mengatasnamakan bahwa dirinya adalah bagian dari kemiskinan tersebut untuk menghadirkan kesejahteraan.
Sejumlah pengamat seperti Faisal Basri memandang bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak merata menjadi salah satu penyebab munculnya fenomena pupulisme di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan social yang terjadi akibat dari pandemi akan memicu lahirnya kelompok masyarakat yang kecewa kepada pemerintah dan akan melahirkan tokoh-tokoh populis.
Dengan demikian, maka masalah kemiskinan tidak lagi dilihat sebagai suatu masalah yang serius, tetapi justru dijadikan sebagai senjata politik oleh pemimpin populis tertentu.