Konten dari Pengguna

Sekolah Biasa Perundungan, Sekolah Pondok Pelecehan, lalu di Mana Gen Z Sekolah?

Fatkur Rahman Fauzy
Saya mahasiswa S1 Pendidikan Kimia Universitas Sebelas Maret
15 Oktober 2024 18:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fatkur Rahman Fauzy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi buku pembelajaran (sumber: https://stockcake.com/s?q=buku%20buku)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi buku pembelajaran (sumber: https://stockcake.com/s?q=buku%20buku)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhir-akhir ini, banyak pembicaraan mengenai kasus-kasus perundungan dan pelecehan di negeri kita, Indonesia. Banyak korban berjatuhan akibat kebejatan ini, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Yang lebih mencengangkan adalah peristiwa tersebut sebagian besar terjadi di tempat-tempat yang tidak pernah diduga sebelumnya oleh para orang tua, seperti sekolah biasa dan pondok pesantren. Keterlambatan penanganan juga menjadi salah satu faktor kegagalan pencegahan peristiwa ini.
ADVERTISEMENT
Kasus seperti ini sungguh meresahkan hati para orang tua, karena tak jarang anak-anak mereka menjadi takut untuk bersekolah, sehingga membuat para orang tua kalang kabut membujuk dan meyakinkan anak-anak untuk mau bersekolah kembali. Lalu, bagaimana cara memilih tempat penitipan anak yang jauh dari kata perundungan dan pelecehan? Sebelumnya, mari kita bahas tentang kasus perundungan dan pelecehan yang terjadi di Indonesia.
Perundungan di Sekolah
Perundungan di sekolah adalah perilaku agresif yang dilakukan secara berulang-ulang oleh satu atau beberapa siswa terhadap siswa lain, dengan tujuan menyakiti, mengintimidasi, atau merendahkan korban. Perundungan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, baik fisik, verbal, sosial, maupun online (cyberbullying). Menurut data yang dirilis oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), sejak Januari sampai dengan Februari 2024, jumlah kasus kekerasan terhadap anak telah mencapai 1.993 kasus. Jumlah tersebut dapat terus meningkat, terutama jika dibandingkan dengan kasus kekerasan yang terjadi pada tahun 2023. Angka yang besar ini tentu saja juga menimbulkan kerisauan yang besar bagi para orang tua, mengingat sebagian besar dari angka tersebut tercatat sebagai kasus yang terjadi di satuan pendidikan.
ADVERTISEMENT
Sudah banyak sekali upaya yang dilakukan pemerintah dalam menekan kasus perundungan di sekolah, termasuk upaya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang telah memberlakukan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Permendikbud PPKSP tersebut dimaksudkan untuk menekan angka kasus, tetapi masih saja banyak kasus yang terjadi, seperti yang akhir-akhir ini marak dibicarakan terkait perundungan yang terjadi di SMA Binus. Yang lebih mencengangkan lagi adalah pelaku diduga merupakan anak dari salah seorang pejabat negara.
Pelecehan di Sekolah Pondok
Pelecehan di sekolah pondok adalah masalah serius yang bisa terjadi dalam lingkungan pendidikan berbasis asrama. Pelecehan di sini dapat melibatkan kekerasan fisik, verbal, seksual, maupun psikologis yang dilakukan oleh sesama santri, senior, staf, atau bahkan pengajar. Bentuk pelecehan di sekolah pondok bisa mirip dengan yang terjadi di sekolah, tetapi ada beberapa faktor khusus yang memengaruhi dinamika pelecehan di lingkungan tertutup seperti sekolah pondok.
ADVERTISEMENT
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melaporkan ada 101 korban kekerasan seksual di satuan pendidikan sepanjang tahun 2024 ini. Sebesar 69% adalah anak laki-laki dan 31% anak perempuan. Menurut suatu sumber, tercatat bahwa dari 8 kasus kekerasan seksual, 5 kasus di antaranya terjadi di lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama, dan 3 kasus lain dilaporkan terjadi di satuan pendidikan berasrama. Data tersebut menunjukkan bahwa di tempat menimba ilmu agama pun tetaplah menunjukkan ketidakamanan untuk menitipkan anak. Korban yang tak hanya menyasar perempuan tetapi juga laki-laki membuat rasa resah dan bingung yang kian menguat di kalangan orang tua, karena banyak laporan menunjukkan banyaknya kasus pelecehan sesama jenis di lingkungan tertutup seperti pondok.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana cara memilih tempat penitipan anak yang jauh dari kata perundungan dan pelecehan?
Memilih sekolah yang aman dari perundungan dan pelecehan merupakan langkah penting bagi orang tua dan siswa untuk memastikan lingkungan belajar yang sehat dan mendukung. Sekolah yang bebas dari perundungan dan pelecehan memungkinkan siswa untuk berkembang secara akademis, emosional, dan sosial tanpa rasa takut atau tekanan. Mengingat dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh tindakan perundungan dan pelecehan, penting untuk melakukan pertimbangan yang cermat dalam memilih sekolah yang tepat.
Berikut beberapa langkah penting yang bisa diikuti untuk memilih sekolah yang jauh dari perundungan dan pelecehan:
1. Sistem Konseling: Para orang tua juga harus memperhatikan bagaimana sistem konseling di sekolah berjalan, karena jika terjadi sesuatu, anak dapat mendapatkan pertolongan lebih dini.
ADVERTISEMENT
2. Lingkungan Sekolah: Selain melihat pada peringkat atau prestasi sekolah, orang tua juga harus memperhatikan di lingkungan mana sekolah itu didirikan, karena lingkungan sangat berpengaruh terhadap bagaimana para murid di sekolah bersikap.
3. Hubungan dengan Guru: Orang tua harus membangun hubungan yang baik dengan guru sehingga komunikasi terkait kondisi anak di sekolah lebih aman dan terkontrol, mengingat guru adalah orang tua anak di sekolah.
4. Pemantauan: Orang tua harus rajin memantau anak-anaknya. Selain memperhatikan pemilihan sekolah yang baik, orang tua juga harus bisa membangun komunikasi yang baik dengan anak, sehingga anak dapat lebih terbuka tentang apapun yang terjadi di sekolah.
Itulah langkah-langkah yang dapat diikuti para orang tua saat memilih sekolah untuk sang buah hati.
ADVERTISEMENT
Sekolah merupakan rumah kedua bagi para siswa. Di sanalah para siswa mencari dan kemudian mencari jati dirinya. Tak seharusnya tempat dengan tujuan mulia seperti itu menjadi ladang kejahatan seperti perundungan dan pelecehan. Tapi, kita tak bisa memprediksi bagaimana pola pikir orang lain berjalan, sehingga sebagai orang tua sudah seharusnya lebih memperhatikan lagi tempat yang akan digunakan untuk sang buah hati mencari jati dirinya. Langkah-langkah diatas dapat digunakan sebagai acuan awal dalam menentukan tempat terbaik untuk anak.
Fatkur Rohman Fauzy, mahasiswa S1 Pendidikan Kimia UNS.