Konten dari Pengguna

Kesenian Reog Ponorogo dalam Pandangan Teori Fungsionalisme Bronislaw Malinowski

Fatma Alya Mahmudya
Mahasiswa S1 Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga
29 November 2022 10:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fatma Alya Mahmudya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Gege Arya (Instagram: @gegearya)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Gege Arya (Instagram: @gegearya)
ADVERTISEMENT
Reog Ponorogo merupakan warisan leluhur bangsa Indonesia di bidang kesenian yang telah mampu bertahan selama berabad-abad hingga sekarang. Hal tersebut dikarenakan kesenian Reog Ponorogo memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya bagi masyarakat Ponorogo itu sendiri, yakni berupa upacara ritual yang masih dilestarikan hingga masa kini. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ruth Benedict, seorang Antropolog wanita berkebangsaan Amerika, yang menyatakan bahwa segala kegiatan yang bersifat ritual merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT
Kemudian, jika dilihat di era modern seperti sekarang ini, fungsi dari seni pertunjukan mulai banyak yang mengalami pergeseran fungsi, meskipun beberapa ada pula yang masih tetap mempertahankan pakemnya. Pergeseran fungsi dari kesenian Reog ini pun mulai tampak, yakni dari yang pada mulanya hanya digunakan sebagai bentuk upacara ritual menjadi seni pertunjukan yang bersifat menghibur.
Berbicara mengenai kesenian Reog Ponorogo, jika ditinjau dengan salah satu teori dari ilmu Antropologi, yakni teori fungsionalisme karya Bronislaw K. Malinowski, yang mana beranggapan bahwa semua unsur kebudayaan itu bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur tersebut ada, maka dapat dijabarkan melalui beberapa unsur seperti berikut.
1. Agama
Reog Ponorogo dikatakan bersifat keagamaan dikarenakan pada zaman dahulu para penyebar agama Islam di tanah Jawa menggunakan seni pertunjukan rakyat sebagai media untuk mempengaruhi penduduk pribumi pada masa itu. Terlebih lagi, pada masyarakat suku Jawa yang tidak terlalu mempermasalahkan bercampurnya paham, seperti animisme, Hindu, dan Islam dalam sebuah bentuk tradisi.
ADVERTISEMENT
2. Pendidikan
Jika pada zaman dahulu kesenian Reog Ponorogo hanya dapat dipelajari berdasarkan garis keturunan saja, sekarang kesenian ini sudah dapat dipelajari oleh siapapun tanpa pandang bulu. Bahkan, kesenian Reog ini pun diajarkan pula di sekolah-sekolah formal, seperti pada jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga Perguruan Tinggi. Berangkat dari hal tersebut, mungkin akan membawa perubahan yang dapat dikatakan cukup esensial, yakni mulai banyaknya pelaku seni Reog Ponorogo yang menyandang gelar atau ijazah akademik.
3. Sosial Politik
Adanya pemberontakan G30S pada 30 September 1965 lalu ternyata berdampak pada mandeg-nya kesenian Reog, sebab adanya anggapan bahwasanya segala bentuk kesenian rakyat bersifat maksiat. Kemudian, menanggapi hal yang demikian, Pemerintah Kabupaten Ponorogo pada perayaan hari jadinya mulai mengadakan lomba atau festival Reog Ponorogo sebagai upaya untuk tetap menghidupkan nilai-nilai esensial yang terkandung dalam kesenian rakyat yang mandeg akibat dari timbulnya gejolak politik di negeri ini.
ADVERTISEMENT
4. Ekonomi
Penyelenggaraan rangkaian Grebeg Suro di Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu aset pariwisata unggulan, dengan pertunjukan Reog Ponorogo dijadikan sebagai “nyawa” utama dalam perayaan ini. Kesenian Reog Ponorogo juga dipilih sebagai ikon utama promosi pariwisata dari Kabupaten Ponorogo. Dengan digelarnya rangkaian Grebeg Suro dapat mendongkrak perekonomian masyarakat Ponorogo.
5. Birokrasi
Pemerintah Kabupaten Ponorogo telah mendaftarkan kesenian Reog Ponorogo sebagai hak cipta milik Kabupaten Ponorogo dengan Nomor 026377 pada tanggal 11 Februari 2004. Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo tersebut merupakan sebagai buntut dari keprihatinan seluruh elemen warga Indonesia terhadap pengakuan beberapa kesenian asli bangsa Indonesia oleh negara lain. Dengan adanya hak cipta tersebut, diharapkan kesenian Reog Ponorogo ini dapat terus berkembang sebagai salah satu bagian dari kebudayaan nasional bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
6. Estetika
Estetika yang muncul dalam kesenian Reog Ponorogo dapat dilihat dari setiap gerakan yang dimainkan oleh para tokohnya, yang mana pada setiap gerakan tersebut terkandung makna tersirat di dalamnya. Para seniman, khususnya mereka yang berasal dari lulusan sekolah seni, telah memberikan sentuhan-sentuhan baru pada suatu pertunjukan Reog, seperti pada estetika panggung, hingga gerakan-gerakan koreografis yang diciptakan turut membentuk Reog Ponorogo dengan format festival yang tetap eksis hingga sekarang ini.
Pada akhirnya, berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwasanya hubungan antara unsur-unsur kesenian, dalam hal ini adalah kesenian Reog Ponorogo dapat dianalisis dengan menggunakan teori fungsionalisme. Analisis yang dilakukan tersebut adalah terhadap unsur-unsur pembangunnya, sehingga terciptalah pertunjukan seni Reog Ponorogo secara utuh.
ADVERTISEMENT
Dapat dikatakan bahwa pada prinsip dasar fungsionalisme, kesenian Reog Ponorogo merupakan suatu kesenian rakyat tradisional yang terdiri atas unsur-unsur pembangun yang saling berhubungan antar satu sama lain, seperti unsur agama, pendidikan, sosial politik, ekonomi, birokrasi, hingga estetika. Unsur-unsur tersebut sangat berkaitan dan tidak dapat terlepas antara satu sama lain, sebab tiap-tiap unsur memiliki substansi nilai-nilai dan makna yang harmoni di dalamnya ketika disatukan menjadi satu kesatuan.