Konten dari Pengguna

More Than a Bad Date: What Cat Person Reveals About Modern Consent

Fatma Nuri
Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Pamulang
16 Juni 2025 13:05 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
More Than a Bad Date: What Cat Person Reveals About Modern Consent
A young woman navigates confusing emotions and power dynamics in a brief, unsettling romantic encounter shaped largely through texting.
Fatma Nuri
Tulisan dari Fatma Nuri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Koleksi pribadi penulis sang pencinta binatang membentuk dunia kecil yang penuh kehangatan dan pengertian.
zoom-in-whitePerbesar
Koleksi pribadi penulis sang pencinta binatang membentuk dunia kecil yang penuh kehangatan dan pengertian.
ADVERTISEMENT
Why Kristen Roupenian’s viral short story still stings in a post-digital dating world ?
ADVERTISEMENT
Some stories don’t roar—they rumble under your skin. Kristen Roupenian’s Cat Person is one of those. It doesn’t rely on plot twists or dramatic finales. Instead, it exposes something quieter and far more unsettling: the emotional dissonance of modern romance, the gap between what we feel and what we’re expected to do.
First published in The New Yorker in 2017, Cat Person tells the story of Margot, a 20-year-old college student, and Robert, a 34-year-old man she meets at her job. Their brief relationship unfolds largely through text messages, building a sense of connection that ultimately proves to be fragile, imbalanced, and painfully real.
Illusions Built Through Screens
Roupenian masterfully illustrates how our digital communication often creates imagined versions of others. For Margot, texting Robert becomes a way to construct an idealized persona—someone witty, safe, and intriguing. But when physical reality catches up with that illusion, disappointment takes over.
ADVERTISEMENT
This resonates with what psychologist Sherry Turkle argues in Alone Together (2011): "We expect more from technology and less from each other." Our curated, asynchronous interactions online can be seductive—but they can also set us up for emotional disorientation once face-to-face.
The Psychology of Discomfort and Compliance
One of the most haunting moments in Cat Person is when Margot, despite her discomfort, continues with intimacy she no longer desires. This scene has sparked widespread discussion—not because it’s extreme, but because it’s alarmingly familiar.
Leon Festinger’s theory of cognitive dissonance helps explain this: when our actions contradict our feelings, we often rationalize them to avoid internal conflict. Margot tells herself it would be “too awkward” or “too cruel” to stop, even when every part of her wants out. This psychological friction is a quiet, internal violence—one many readers recognized in themselves.
ADVERTISEMENT
Power Dynamics in the Age of Texting
Although Margot is younger, more attractive, and seemingly in control, Cat Person challenges this perception. In many ways, she is powerless—not because of Robert himself, but because of the social scripts she feels forced to follow: to be nice, to avoid conflict, to minimize male ego.
This reflects what feminist theorist Sara Ahmed has called the “affective burden” placed on women to smooth over uncomfortable social interactions at their own emotional expense. In Cat Person, Margot’s silence speaks volumes about how many women are socialized to prioritize someone else’s comfort over their own safety or autonomy.
Why It Still Resonates
The virality of Cat Person wasn’t just because it was well-written—it was because it put language to a type of experience so many had felt but never seen in fiction. It gave shape to those awkward dates, to the unease after saying “yes” when we meant “maybe,” to the strange emptiness of post-digital intimacy.
ADVERTISEMENT
Today, in a world of dating apps, performative texting, and blurred boundaries, Cat Person still matters. It reminds us that consent isn't a checkbox—it’s an emotional landscape shaped by pressure, fear, performance, and silence.
Final Thought
Cat Person is not just a story about two people. It’s about all of us—navigating desire, expectation, and anxiety in a world that asks us to be constantly available, yet rarely honest. Roupenian doesn’t offer solutions. Instead, she holds up a mirror and lets us decide what to do with what we see.
Thank you.
-----------------------------------------------------------------------------------
Lebih dari Kencan yang Buruk: Apa yang Diungkapkan Cat Person tentang Persetujuan Modern
Mengapa cerita pendek viral karya Kristen Roupenian masih terasa menyakitkan di dunia kencan pascadigital?
ADVERTISEMENT
Beberapa cerita tidak menggelegar—tetapi menggetarkan hati. Cat Person karya Kristen Roupenian adalah salah satunya. Cerita ini tidak bergantung pada alur cerita yang berliku-liku atau akhir yang dramatis. Sebaliknya, cerita ini mengungkap sesuatu yang lebih tenang dan jauh lebih meresahkan: disonansi emosional dalam romansa modern, kesenjangan antara apa yang kita rasakan dan apa yang diharapkan dari kita.
Pertama kali diterbitkan di The New Yorker pada tahun 2017, Cat Person menceritakan kisah Margot, seorang mahasiswa berusia 20 tahun, dan Robert, seorang pria berusia 34 tahun yang ditemuinya di tempat kerjanya. Hubungan singkat mereka sebagian besar terungkap melalui pesan teks, membangun rasa keterhubungan yang pada akhirnya terbukti rapuh, tidak seimbang, dan sangat nyata.
ADVERTISEMENT
Ilusi yang Terbangun Melalui Layar
Roupenian dengan sangat ahli menggambarkan bagaimana komunikasi digital kita sering kali menciptakan versi imajiner orang lain. Bagi Margot, mengirim pesan teks kepada Robert menjadi cara untuk membangun persona yang diidealkan—seseorang yang cerdas, aman, dan menarik. Namun, ketika realitas fisik mengejar ilusi itu, kekecewaan mengambil alih.
Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan psikolog Sherry Turkle dalam Alone Together (2011): "Kita mengharapkan lebih banyak dari teknologi dan lebih sedikit dari satu sama lain." Interaksi kita yang terkurasi dan tidak sinkron secara daring dapat menggoda—tetapi interaksi tersebut juga dapat membuat kita mengalami disorientasi emosional saat bertatap muka.
Psikologi Ketidaknyamanan dan Kepatuhan
Salah satu momen paling menghantui dalam Cat Person adalah ketika Margot, meskipun merasa tidak nyaman, melanjutkan keintiman yang tidak lagi diinginkannya. Adegan ini telah memicu diskusi luas—bukan karena ekstrem, tetapi karena sangat familiar.
ADVERTISEMENT
Teori disonansi kognitif Leon Festinger membantu menjelaskan hal ini: ketika tindakan kita bertentangan dengan perasaan kita, kita sering kali merasionalisasikannya untuk menghindari konflik internal. Margot berkata pada dirinya sendiri bahwa akan "terlalu canggung" atau "terlalu kejam" untuk berhenti, bahkan ketika setiap bagian dirinya ingin keluar. Gesekan psikologis ini adalah kekerasan internal yang tenang—yang dikenali oleh banyak pembaca dalam diri mereka sendiri.
Dinamika Kekuasaan di Era Pesan Singkat
Meskipun Margot lebih muda, lebih menarik, dan tampak memegang kendali, Cat Person menantang persepsi ini. Dalam banyak hal, dia tidak berdaya—bukan karena Robert sendiri, tetapi karena skrip sosial yang dia rasa terpaksa untuk ikuti: bersikap baik, menghindari konflik, meminimalkan ego laki-laki.
Hal ini mencerminkan apa yang disebut oleh ahli teori feminis Sara Ahmed sebagai "beban afektif" yang dibebankan pada wanita untuk meredakan interaksi sosial yang tidak nyaman dengan mengorbankan emosi mereka sendiri. Dalam Cat Person, kesunyian Margot berbicara banyak tentang bagaimana banyak wanita disosialisasikan untuk memprioritaskan kenyamanan orang lain daripada keselamatan atau otonomi mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Mengapa Cerita Ini Masih Beredar
Viralnya Cat Person bukan hanya karena ditulis dengan baik—tetapi karena cerita ini memberikan bahasa pada jenis pengalaman yang telah dirasakan banyak orang tetapi tidak pernah terlihat dalam fiksi. Cerita ini membentuk kencan yang canggung, kegelisahan setelah mengatakan "ya" padahal yang kita maksud adalah "mungkin," hingga kekosongan aneh dari keintiman pasca-digital.
Saat ini, di dunia aplikasi kencan, pesan teks yang bersifat performatif, dan batasan yang kabur, Cat Person masih penting. Cerita ini mengingatkan kita bahwa persetujuan bukanlah kotak centang—melainkan lanskap emosional yang dibentuk oleh tekanan, ketakutan, kinerja, dan keheningan.
Pikiran Akhir
Cat Person bukan hanya cerita tentang dua orang. Cerita ini tentang kita semua—menavigasi hasrat, harapan, dan kecemasan di dunia yang meminta kita untuk selalu siap sedia, tetapi jarang jujur. Roupenian tidak menawarkan solusi. Sebaliknya, ia mengangkat cermin dan membiarkan kita memutuskan apa yang harus dilakukan
ADVERTISEMENT
dengan apa yang kita lihat.
Terima kasih.