Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
INDONESIA-CHINA: Kedaulatan Indonesia di Ambang Konflik Laut China Selatan?
24 Maret 2024 0:10 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Faujan Aminullah, S,Hub Int tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam dekade terakhir ini, Laut China Selatan, diharu biru oleh ketegangan antara negara disertai penggalangan kekuatan militer. Sejumlah negara saling mempertahankan klaim atas wilayahnya, memprotes ke dunia internasional untuk merespon ambisi politik China terhadap klaim sepihak atas wilayah yang didalamnya terlibat Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan yang paling dianggap dirugikan dalam ketegangan ini.[1] Konflik yang semula diawalai tindakan provokasi yang dilakukan Tingkok di LCS segaligus menggambarkan ambisi geopolitik Tiongkok untuk mengukuhkan kedaulatannya di LCS, yang bertentangan dengan klaim dan kepentingan negara-negara tetangga di kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Implikasi keamanan dan geopolitik dari tindakan RRC di LCS menjadi perhatian penting bagi komunitas internasional, dengan potensi dampak yang luas terhadap perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara.[2] Di banyak negara, satu rantai kesepahaman menolak tindakan China karena dianggap klaim sepihak dan mendapat legitimasi dari keputusan Arbitrase Internasional.[3] Tapi, bagi China keberadaannya di LCS tak dapat dipisahkan, China mengklaim bahwa sebagian besar LCS merupakan bagian dari wilayah kedaulatan historisnya.[4] Argumen ini didasarkan pada klaim-klaim historis yang merujuk pada peta-peta kuno dan catatan sejarah Tiongkok kuno yang menunjukkan bahwa wilayah tersebut pernah menjadi bagian dari wilayah Tiongkok.[5] Pertanyaannya yang penitng esensi adalah, apakah Indonesia akan terlibat dalam konflik ini, atau mungkinkah dapat mengancam kedaulatan Indonesia?
ADVERTISEMENT
Posisi Indonesia di Laut China Selatan
Ada dua persoalan yang dapat menjelaska
n. Pertama, Indonesia tidak memiliki klaim atas kepulauan yang disengketakan, dan oleh karena itu memiliki opsi terbatas untuk menyelesaikan sengketa sebagai negara non-klaim di Laut Cina Selatan.[6] Kedua, Indonesia memiliki ZEE, yang masuk dalam yuridiksi Indonesia. Tetapi bukan hanya China yang melanggar di Kawasan ini, Malaysia, Vietnam, dan kadang-kadang Thailand telah menjadi pelanggar ZEE Indonesia yang paling sering terjadi.[7] Terdapat Kedaulatan dan hak kedaulatan Indonesia di Periaran Laut Natuna Utara.[8] Kedaulatan (sovereignty) Indonesia tidak sama sekali diganggu oleh negara mana pun. Tetapi, dalam wilayah hak kedaulatan (sovereignty right) Indonesia yakni di ZEE, menjadi arena yang dipersoalkan.[9] Dalam konteks ini, sulit dikatakan peluang hadirnya suatu konflik antara Indonesia dan China dalam pengertian kedaulatan. Isu tumpeng tindih di ZEE adalah isu insiden saja tidak berpeluang besar menjadi suatu konflik.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, gempa politik di Laut China Selatan dapat dipindai dari teropong geopolitik Global. Terkait hubungannya dengan Indonesia. Dalam perspektif geopolitiknya Laut China Selatan ibarat permata yang diperebutkan pencari harta. Mari kita tengok peta, takdir geografisnya menempatkan Kawasan ini pada posisi strategis, baik bagi China, Vietnam, dan apalagi Indonesia. Alhasil, ada arti strategis LCS bagi Indonesia.[10]
Pertama, bagi Indonesia di Laut Natuna Utara penting dalam konteks perluasan kemajuan ekonomi untuk meraih pengaruh pada tingkat regional dan internasional.[11] Laut China Selatan, yang wilayahnya dan menyimpan kekayaan alam, perkiraan Cadangan minyak sebanyak 7 miliar barel, Cadangan gas alam 900 Triliun dan 28 Milliar barel total minyak mentah.[12] Teralalu penting untuk dibiarkan lama-lama dibawah pengaruh China. Jika LCS dikuasai China, bukan hanya posisi tawar China ke Indonesia lebih kuat, melainkan juga meningkatkan kapasitas negara itu.
ADVERTISEMENT
Ambisi China di LCS memang kasat mata. Untuk proyek-proyek di LCS ini, Pembangunan pulau buatan, termasuk di pulau Spartly yang merupakan masuk dalam yuridksi Vietnam, kemudian peningkatan aktivitas militer di LCS, termasuk patroli kapal perang, latihan militer, dan penempatan sistem senjata. tampaknya dari sini hard power exescise China dilancarakan.[13] Terhadap Indonesia di Laut Natuna Utara, pelanggaran yang terjadi terbatas pada IUU Fishing, yang itu adalah ancaman non-tradisional. Belum ada insiden yang mengarah ke Perang dengan China, malah yang terjadi sebaliknya.
Dalam catatannya, Evan A. Laksmana di Centre For Strategic And International Studies (CSIS) menunjukan Cina sekarang merupakan mitra dagang utama Indonesia dan termasuk di antara lima investor terbesar di Indonesia. Proyek-proyek bersama dan kerja sama antara badan usaha milik negara (BUMN) kedua negara juga meningkat dalam beberapa tahun terakhir.[14] Disisi lain, China memandang penting Indonesia sebagai pangsa pasar terbesarnnya,[15] Perusahaan patungan atau rigg minyak bumi milik China ada di perairan wilayah atau yang berdekatan dengan ZEE RI, dengan demikian peluang untuk berkooperasi dapat dilakukan. Jika hubungan kedua negara ini terus dipertahankan, tidak menutup kemungkinan Indonesia akan mengambil bagian strategis dalam geopolitik ini. Kalo kita tengok data, nilai strategis dari LCS sangatlah besar, 2/3 pasokan energi ke Republik Korea, 60% impor minyak ke Jepang, 80 % impor minyak ke Tiongkok, Lebih dari 50% volume lalu lintas kargo dunia, 1/3 lalu lintas maritim dunia, dan di ZEE terdapat 10% penangkapan ikan di dunia.[16]
ADVERTISEMENT
Arti strategis LCS bagi Indonesia dan China cukup menjadikan titik pusaran kepentingan geopolitik bagi banyak negara. Namun, justru posisi strategis ini yang membuat Indonesia berada dalam pilihan yang sulit, ikut berkonfrontasi bersama Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan untuk melawan China atau menjadi mitra dagang yang tetap menjaga hubungan dengan China. Mana yang harus dipilih Indonesia?
Arah Baru Indonesia di Laut China Selatan
Setidaknya, ada dua perspektif yang mempengaruhi pilihan. Pertama, perspektif jangka Panjang. Yang sering diungkit adalah, perlunya Indonesia bersikap dalam konflik LCS terhadap China. Argument ini dilatarbelakangi oleh perilaku China yang melakukan pelanggaran di wilayah hak berdaulat Indonesia (ZEE). Pelanggaran ini dinilai membawa ancaman Kedaulatan bagi Indonesia, karena China tidak memiliki dasar hukum apa pun untuk hak penangkapan ikan bersejarah di ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, terutama setelah pengadilan International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) tahun 2016 secara efektif melarang peta sembilan garis putus-putus (sekarang Ten Dash Line). Anggapan ini tak sepenuhnya salah.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus IUU Fishing yang kerap dilakukan nelayan asing di ZEE Indonesia, yang mendorong pembentukan satgas 115 yang beranggotakan TNI-AL, Polri, Bakamla, Dirjen Bea Cukai Kemenkeu, Kejaksaan Agung, dan KKP untuk menangani kasus ini karena merugikan negara sebesar setidaknya US$24 milliar pertahunnya. Berdasarkan data yang dikeluarkan Bank Dunia, perikanan Indonesia memiliki kontribusi yang besar yakni Lima persen dari produksi dunia atau sekitar US$20 miliar. Melihat data ini, bisa dimengerti jika sebagian orang menginginkan Indonesia bersikap tegas melawan negara-negara yang menggagu ZEE Indonesia.
Perspektif yang kedua terkait kebutuhan jangka pendek. Yang dibutuhkan Indonesia saat ini dana untuk mendukung proyek-proyek besar dan modernisasi infrastruktur pertahanan. Dalam konteks ini, jika Indonesia ditarik pada konflik LCS, China akan ragu-ragu untuk membantu. Dalam situasi ini, apakah ada negara yang dapat menggantikan posisi China yang dengan kemudahan menjalin kerjasama dengan Indonesia di banyak sektor.
ADVERTISEMENT
Sementara ini, Solusi strategis yang perlu dilakukan Indonesia untuk menekan Tidak terjadinya menurunnya atensi insiden di ZEE dapat dilakukan dalam Tiga alternatif strategi yakni, Pertama, dengan melakukan riset bersama di area tumpang tindih, ini sekaligus memberi isyarat kepada dunia luar bahwa China mengakui hadirnya pertikaian di ZEE. Tidak hanya denga China, tetapi juga negara-negara seperti Vietnam dapat juga dilibatkan. Kedua, melakukan diplomasi maritim dengan melakukan joint patrolling, joint axercise, dan joint maritime training dalam bentuk bilateral, dan alteranative lain adalah melibatkan diplomasi maritim bilateral ini bisa menjadi joint excercies multilateral dengan negara ASEA lainnya dengan thema yang sama yakni joint patrol, joint exercise, dan joint training. Dalam konteks ini, diplomasi bisa digabungkan dengan diplomasi instrument kekuatan politik bersama negara ASEAN lainnya dengan cara ASEAN (ASEAN Ways) dapat dilakukan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, melibatkan kekuatan maritim dengan keterlibatan Bakamla, dan TNI AL (bilateral), dan Angk Laut serta Coast guard negara ASEAN lainnya dalam format multilateral. Tiga strategi tersebut dapat membuat China berkurang assertivenya kepada Indonesia, dengan tiga alternatif ini diharapkan (goal setting) yang dapat menahan China untuk menahan diri untuk menganggu hak kedaulatan Indonesia di ZEE.
Referensi:
[1] Rozanna Latiff, “Southeast Asian countries retract statement expressing concerns on South China Sea,” Reuters.
[2] “Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), ASEAN Foreign Ministers Statement on the Current Developments in the South China Sea,” ASEAN.
[3] “Peta Baru China Acak-Acak Tetangga RI, India-Malaysia Ngamuk,” CNBC Indonesia.
[4] M. T. Fravel, “China’s Strategy in the South China Sea,” Contemp Southeast Asia, vol. 33, no. 3, p. 292, 2011, doi: 10.1355/cs33-3b.
ADVERTISEMENT
[5] B. Hayton, “THE MODERN CREATION OF CHINA’S ‘HISTORIC RIGHTS’ CLAIM IN THE SOUTH CHINA SEA,” Asian Aff (Lond), vol. 49, no. 3, pp. 370–382, Jul. 2018, doi: 10.1080/03068374.2018.1487689.
[6] Evan A. Laksmana, “Indonesia, China, and the Natuna Linchpin,” The Diplomat.
[7] “IUU Fishing in the North Natuna Sea – May 2021,” Indonesia Ocean Justice Initiative.
[8] B. G. Dani Prabowo, “Memahami Wilayah Kedaulatan dan Hak Berdaulat di Perairan Natuna Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ‘Memahami Wilayah Kedaulatan dan Hak Berdaulat di Perairan Natuna...’, Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2020/01/14/05200061/memahami-wilayah-kedaulatan-dan-hak-berdaulat-di-perairan-natuna-?page=2. Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6 Download aplikasi: https://kmp.im/app6,” Kompas.com.
[9] P. K. Meyer, A. Nurmandi, and A. Agustiyara, “Indonesia’s swift securitization of the Natuna Islands how Jakarta countered China’s claims in the South China Sea,” Asian Journal of Political Science, vol. 27, no. 1, pp. 70–87, Jan. 2019, doi: 10.1080/02185377.2019.1590724.
ADVERTISEMENT
[10] D. D. Agusman, “NATUNA WATERS: EXPLAINING A FLASHPOINT BETWEEN INDONESIA AND CHINA,” Indonesian Journal of International Law, vol. 20, no. 4, pp. 617–648, 2023, doi: 10.17304/ijil.vol20.4.1.
[11] Dian Ihsan, “Pakar Unhan: Masalah di Wilayah ZEE Indonesia Harus Direspons Hati-hati ,” Kompas.com.
[12] Muhammad Reza Ilham Taufani, “KTT ASEAN: Laut China Selatan Simpan Harta Karun, Pantas Sampai Rebutan!,” CNBC Indonesia .
[13] C. A. Thayer, “Chinese Assertiveness in the South China Sea and Southeast Asian Responses,” Journal of Current Southeast Asian Affairs, vol. 30, no. 2, pp. 77–104, Jun. 2011, doi: 10.1177/186810341103000205.
[14] A. Salleh, S. Permal, L. Vergara, N. H. Son, and E. A. Laksmana, “THE SOUTH CHINA SEA: REALITIES AND RESPONSES IN SOUTHEAST ASIA.”
ADVERTISEMENT
[15] Aaron Connelly, Indonesia and the South China Sea Under Jokowi, 1st Edition. London: Asia-Pacific Regional Security Assessment 2020, 2020.
[16] A. Pertiwi and L. Yudho Prakoso, “Strategi Ekonomi Indonesia Dalam Menghadapi Kompleksitas Laut Cina Selatan,” 2023. [Online]. Available: https://www.researchgate.net/publication/369479096