Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Membumikan Kesadaran Maritim
29 Maret 2024 16:12 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Faujan Aminullah, S,Hub Int tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa yang muncul dibenak awam ketika mendengar kata “maritim”? Ya, banyak yang melupakannya. Wajar saja, sejak kemerdekaan, perkembangan diskursus kebangsaan dan keindonesiaan memijak dan mengidentifikasikan diri sebagai negara agraris. Adapun, ketika Orde Lama para pemipin nasional berusaha untuk mengembalikan identitas Indonesia sebagai negara maritim, yang dimanifestasikan dengan Wawasan Nusantara, atau banyak kalangan mengenalnya dengan Deklarasi Djuanda, hal ini tertanam dalam memori kolektif masyarakat Indonesia. Indonesia adalah negara arsipelago. Namun jauh panggang dari api, semangat yang diharapkan dapat mengambalikan kejayaan Indonesia di masa lalu terhenti pada wacana dan isu, yang tampak adalah pengeluaran anggaran yang tidak ditujukan untuk pembangunan Maritim.
ADVERTISEMENT
Di era Orde Baru, Indonesia bahkan memutar arah hingga 360o untuk mendeklarasikan diri sebagai negara agraris. Semakin jauh dari diskursus Kemaritiman dan menghawatirkan akan masa depan maritim Indonesia. Tetapi, harapan yang sempat redup kembali terang, melalui Presiden Jokowi Dodo, hadir dengan angin baru yaitu Poros Maritim Dunia (PMD). Visi ini semacam hujan yang ditunggu-tunggu ditengah kemarau panjang. Begitulah kebijakan ini mengantarkan Joko Widodo memenangkan pemilu 2014 silam, banyak pakar menjelasakn berbagai interpretasi doktrin maritim Jokowi, seperti kebangkitan Indonesia sebagai negara kepulauan. Alhasil, dua periode kepemimpinan Joko Widodo, tidak jauh beda dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya, menjadi maritim Indonesia terbatas pada kata-kata yang indah tanpa tindakan. Kebijkan yang miskin akan tindakan nyata cendrung menjadi hiasan tanpa dampak. begitulah yang terjadi saat ini. Sejalan yang diuraikan Anthon Sihombing, Anggota Komisi V DPR-RI, menyoroti bahwa PMD masih dianggap konsep utopis karena masyarakat belum memiliki mental bangsa bahari, dan pemenuhan sejumlah sarana dan prasarana yang kondisinya masih jauh dari memadai.
Budaya Maritim pada intinya mengedepankan kesadaran akan pentingnya Maritim Domain Awareness (MDA) sebagai fondasi utama bagi Indonesia yang berwawasan maritim. Ini adalah panggilan untuk merenungi bagaimana masa depan kemakmuran bangsa bergantung pada kebijakan yang memelihara dan mengelola lautan dengan bijaksana. Membangun budaya maritim, tentu tidak mudah seperti yang dipikirkan. Tidaklah mudah merubah kebiasaan yang sudah lama tertanam di benak mayarakat. Namun, bukanlah tidak mungkin untuk Indonesia kembali pada apa yang kita sebut sebagai negara bahari atau negara kepulauan.
ADVERTISEMENT
Ada banyak negara sebetulnya dapat mendeklarasikan dirinya sebagai negara kepeluan. Dalam data yang dihimpun Worldatlas.com, Indonesia menempati posisi ke 6 sebagai negara dengan jumlah pulau terbanyak 17.504, dibawah Swedia 267.570, Norwegia 239.057, Finlandia 178.947, Kanada 52.445, Amerika Serikat 18.617 pulau. Dalam konteks ini hanya Indonesia yang mendeklarasaikan posisinya sebagai negara kepulauan. Negara-negara yang dengan jumlah sebaran pulau yang jauh lebih banyak dibanding Indonesia tidak tanpak mengambil posisi tersebut. Alhasil, ada arti penting kenapa Indonesia menegaskan posisinya sebagai negara bahari.
Indonesia dapat menjadi pusat dinamika dan kegiatan ekonomi diantara dua benua dan dua samudra yang berbasis maritim. Indonesia dengan cakupan wilayah yang sangat luas dengan populasi penduduk yang tinggi tembus 270 juta dan kaya akan sumber alam. Terlalu penting untuk dibiarkan lama-lama tanpa kebijakan yang kongkrit. Jika Indonesia serius bicara maritim, bukan hanya posisi tawar Indonesia ke dunia menjadi lebih kuat, melainkan juga meningkatkan kapasitas ekonomi yang sangat tinggi. Potensi sumber daya laut Indonesia sangat kasat mata. Tidak hanya memanfaatkan sumber daya laut, dari dimensi interaksi maritim di wilayah laut pun dapat menjadi negara dominan. Kalau merujuk pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mampu menyumbang pendapatan nasional sebesar 1.338 miliar dollar AS per tahun, atau lebih dari Rp 20.000 triliun. Ini meliputi perikanan, industri perikanan, pariwisata, pertambangan, energi, dan transportasi laut. Interaksi ekonomi di wilayah Asia Tenggara diperkirakan akan meningkat pesat sebagai hasil dari gravitasi ekonomi (economic gravity) dalam geoekonomi dunia dari Trans Atlantik ke Asia Pacific.
ADVERTISEMENT
Jika kita tengok data diatas, Indonesia berpotensi untuk mendapatkan keuntungan dari letak geografisnya yang berada di persimpangan antara dua benua dan dua samudra. Bayangkan saja, tembus 70 persen perdagangan dunia berputar diasia pasifik, dan 45 persennya melalui wilayah laut Nusantara. Indonesia dapat menikmati limpahan rezeki dari interaksi perdagangan itu hanya jika titik-titik di sekujur Nusantara terkoneksi dengan baik melalui jalur pelayaran, melalui pelabuhan-pelabuhan yang dibangun, dalam istilah saya adalah pelabuhan Samudra. Tidak hanya menghubungkan pelabuhan-pelabuhan yang ada di Indonesia, tetapi juga dengan pelabuhan yang ada di tingkat Regional dan Global. Infrastruktur ini sangat penting bagi suatu negara seperti Indonesia sebagai bentuk dalam menggerakan dan menyadarakn masyarakat akan pentingnya memperhatikan domain maritim sebagai salah satu upaya dalam mempertahankan pangan agar tidak hanya ditopang dalam sektor agraris semata. Oleh karena itu, jika ingin membangun kesadaran maritim dalam konteks meningkatkan kesejahteraan tentu Indonesia harus mengerahkan segenap kebijakan dan pembangunan untuk meningkatkan infrastruktur maritim. Tentu tidaklah murah, terhambatnya pembangunan infrastruktur pelabuhan di Indonesia semata-mata disebabkan oleh masalah finansial dan investasi dalam beberapa tahun belakangan. Dalam konteks ini, penting untuk Indonesia menggerakan seluruh kapasitas diplomasinya untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara lain dalam membangun sektor ini. Setidaknya, dalam skala prioritas dan jangka panjang, dapat diperkirakan, jalur Selat Malaka akan mencapai titik jenuh dalam volume pelayaran, dapat diperkirakan jalur pelayaran dari Eropa, Afrika, dan Timur Tengah ke Asia Timur bergeser melalui Selat Sunda. Dalam posisi inilah, pelabuhan-pelabuhan dipesisir baratdaya pulau Sumatra menjadi sangat strategis. Kesadaran ini yang harus dimplementasikan secara optimal oleh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Membumikan kesadaran maritim Indonesia dalam talisan ini adalah memproyeksikan keunggulan Indonesia di dalam negeri maupun dalam percaturan internasional, bukan hanya mempertontonkan keindahan alam dan keragaman tanpa dikelola dengan optimal. Maritim Indonesia akan tumbuh unggul jika ia berjalan seiring dengan keberpihakan Indonesia dalam mengelola laut. Keunggulan maritim inilah yang harus terus dinariskan oleh seetiap elemen. Citra Indonesia sebagai negara maritim menempatkan Indonesia dalam perbincangan politik internasional. Jika diproyeksikan melalui diplomasi maritim membuat manuver diplomasi maritim Indonesia menjadi luwes, yang akhrinya memperluas dan mendapat posisi tawar Indonesia untuk kepentingan terkait politik dan ekonomi.