Konten dari Pengguna

Optimalisasi Makan Bergizi Gratis dengan Diversifikasi Pangan

Faustina Martha
Alumnus MSc Science and Health Communication, The University of Manchester. Analyst di Yayasan Warrior Panji Indonesia. Engineering Consultant.
17 Maret 2025 12:48 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faustina Martha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG) dapat dioptimalisasi dengan mengurangi keberadaan UPF dan menerapkan diversifikasi pangan lokal

Pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dapat Dioptimalkan dengan Diversifikasi Pangan Lokal (Courtesy: indonesia.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dapat Dioptimalkan dengan Diversifikasi Pangan Lokal (Courtesy: indonesia.go.id)
ADVERTISEMENT
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh pemerintah Indonesia seharusnya menjadi solusi untuk mengatasi masalah malnutrisi dan mempersiapkan generasi muda untuk meraih bonus demografi 2045. Ironisnya, program ini masih banyak menyajikan makanan ultra-proses (ultra-processed food/UPF) seperti susu kemasan berperisa tinggi gula, sosis, dan chicken nugget dalam menunya. Padahal, Indonesia memiliki sumber pangan lokal yang kaya nutrisi dan dapat diandalkan untuk menggantikan UPF. Diversifikasi pangan lokal bukan hanya solusi yang lebih sehat, tetapi juga berkelanjutan dan sesuai dengan kebutuhan gizi anak-anak Indonesia.
ADVERTISEMENT
Keberadaan UPF dalam Program MBG dan Dampak Kesehatannya
Sayangnya, kebijakan pemerintah dalam program MBG masih kurang optimal. Alih-alih memanfaatkan kekayaan pangan lokal, program ini justru mengandalkan UPF yang jelas-jelas tidak sehat. Program yang seharusnya menjadi solusi untuk mengatasi malnutrisi justru berpotensi membahayakan kesehatan anak-anak. Hal ini dibuktikan dengan data dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) yang menunjukkan bahwa 45% menu MBG mengandung UPF yang sarat dengan aditif seperti pengawet, pemanis buatan, dan pengemulsi.
UPF memang praktis dan murah, tetapi harganya yang rendah tidak sebanding dengan risiko kesehatan yang harus ditanggung di masa depan. Dengan terus mengandalkan UPF, program MBG justru berisiko memperparah masalah ini. Zat-zat aditif seperti pemanis dan pengawet tidak hanya mengurangi nilai gizi alami makanan, tetapi juga dapat menimbulkan dampak kesehatan jangka panjang, seperti obesitas, diabetes, dan gangguan metabolik. Misalnya, pemanis buatan seperti aspartam dan sirup jagung fruktosa tinggi (HFCS) dapat meningkatkan risiko resistensi insulin dan gangguan mikrobiota usus. Selain itu, bahan pengawet seperti sodium benzoate memicu inflamasi kronis dan merusak protein tubuh seperti albumin yang penting untuk melawan infeksi penyakit menular. Kelemahan kritis lainnya dalam program MBG adalah penekanannya pada penyajian susu kemasan berperisa. Meskipun susu merupakan sumber protein dan kalsium, susu kemasan yang disajikan dalam program ini memiliki kadar gula tinggi dan mengandung zat penghambat penyerapan zat besi, yang menimbulkan kerusakan gigi dan mengganggu penyerapan nutrisi.
ADVERTISEMENT
Adanya temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa menu MBG masih belum memenuhi kriteria makanan bergizi seimbang yang dibutuhkan anak-anak. Jika hal tersebut terus terjadi, ini menunjukkan kurangnya komitmen pemerintah dalam menangani masalah malnutrisi secara serius. Program MBG seharusnya tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan kalori, tetapi juga memastikan bahwa makanan yang disajikan benar-benar bergizi dan aman untuk dikonsumsi.
Diversifikasi Pangan Lokal: Solusi Sehat yang Berkelanjutan
Diversifikasi pangan lokal adalah solusi sehat yang berkelanjutan. Indonesia memiliki kekayaan pangan lokal yang beragam. Tidak hanya itu, bahan pangan lokal tersebut dapat menjadi pilihan sehat untuk menggantikan makanan ultra-proses (UPF) dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Contohnya, ubi jalar kaya akan vitamin A, serat, dan antioksidan. Ubi jalar dapat diolah menjadi berbagai hidangan seperti bubur, kue, atau bahkan keripik sehat yang disukai anak-anak. Selain itu, jagung juga merupakan pilihan yang sangat baik. Selanjutnya, jagung mengandung protein, serat, dan antioksidan yang penting untuk pertumbuhan anak. Jagung dapat dijadikan sebagai pengganti nasi atau diolah menjadi sup dan camilan sehat yang lezat.
ADVERTISEMENT
Untuk wilayah Indonesia Timur, sagu dapat menjadi sumber karbohidrat yang baik dan rendah gula juga layak dipertimbangkan. Sagu dapat diolah menjadi papeda atau bubur sagu yang kaya akan energi dan cocok untuk anak-anak yang membutuhkan asupan kalori tinggi. Adapun untuk sumber protein, serat, dan mineral, kacang-kacangan seperti kacang hijau, kacang merah, dan kedelai juga baik bagi pertumbuhan anak. Kacang-kacangan ini dapat diolah menjadi berbagai hidangan seperti bubur kacang hijau, sup kacang merah, atau tempe dan tahu yang kaya protein.
Tidak ketinggalan, sayuran lokal seperti daun kelor, bayam, dan kangkung juga harus dimanfaatkan. Sayuran ini kaya akan vitamin, mineral, dan antioksidan yang penting untuk kesehatan anak. Daun kelor, misalnya, dikenal sebagai "superfood" karena kandungan nutrisinya yang sangat tinggi. Dengan mengintegrasikan bahan-bahan lokal ini ke dalam menu MBG, program ini tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan gizi anak, tetapi juga memberdayakan petani lokal dan memperkuat ketahanan pangan nasional.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi yang Diperlukan
Untuk mewujudkan diversifikasi pangan dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG), kolaborasi erat antara pemerintah, ahli gizi, ahli ekonomi dan kantin sekolah menjadi pondasi utama. Ahli gizi berperan penting dalam memberikan rekomendasi berbasis bukti mengenai komposisi makanan yang optimal dan mengidentifikasi kesenjangan nutrisi. Peran ahli gizi juga diperlukan untuk memberi edukasi tentang manfaat kesehatan dan keberlanjutan bahan pangan lokal. Kampanye yang melibatkan siswa dan masyarakat luas tentang pentingnya mengkonsumsi makanan sehat dan beragam dapat menciptakan perubahan budaya konsumsi yang lebih baik di masa depan. Misalnya, konsep "Isi Piringku" yang menekankan proporsi makanan seimbang—separuh piring berisi buah dan sayuran, seperempat karbohidrat, dan seperempat protein—dapat menjadi panduan yang lebih relevan dibandingkan konsep "4 Sehat 5 Sempurna" yang sudah irelevan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, kantin sekolah dapat dioptimalkan sebagai pusat penyediaan makanan segar berbahan lokal sekaligus pusat edukasi gizi bagi siswa. Melalui kemitraan dengan petani lokal, kantin sekolah dapat menyajikan menu yang menarik dan bergizi, selaras dengan pedoman nutrisi yang direkomendasikan. Integrasi program edukasi gizi ke dalam kurikulum sekolah akan memberdayakan siswa untuk membuat pilihan makanan yang lebih sehat, sehingga menciptakan dampak jangka panjang bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Terakhir, peran ahli ekonomi sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dan efisiensi anggaran. Hal ini mencakup penyusunan strategi komprehensif yang dimulai dengan analisis biaya-manfaat untuk mengevaluasi dampak ekonomi dari berbagai intervensi gizi, mempertimbangkan biaya implementasi dan manfaat jangka panjang seperti peningkatan kesehatan dan penurunan biaya perawatan. Lebih lanjut, ahli ekonomi dapat merancang sistem pengadaan bahan makanan yang efisien, dengan memprioritaskan kemitraan langsung dengan petani lokal untuk memastikan pasokan bahan baku segar dan berkualitas dengan harga yang kompetitif. Strategi ini juga melibatkan pengembangan insentif yang menarik bagi petani untuk melakukan diversifikasi tanaman, mendorong mereka untuk menanam varietas yang lebih beragam dan bergizi, sehingga mendukung terciptanya rantai pasok pangan yang berkelanjutan dan berkontribusi pada peningkatan pendapatan petani lokal.
ADVERTISEMENT
Dengan mengadopsi diversifikasi pangan lokal untuk meminimalisir penggunaan UPF, yang didukung kolaborasi interdisiplin, program MBG dapat menjadi solusi yang holistik dan berdampak jangka panjang. Tanpa langkah ini, program ini berisiko gagal menyentuh akar masalah malnutrisi. Indonesia membutuhkan komitmen yang kuat untuk membangun generasi muda yang sehat, cerdas, dan siap menghadapi tantangan masa depan. Diversifikasi pangan adalah kunci untuk mencapai tujuan tersebut.