Konten dari Pengguna

Apa yang Layak Disaksikan? Standar Jurnalistik Televisi di Era Modern

Tegar akhmad saputra
Pelajar / Mahasiswa Universitas Pancasila
24 November 2024 10:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tegar akhmad saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Televisi menghadapi tantangan menentukan berita layak di era digital, di tengah perubahan konsumsi media dan persaingan platform online ( sumber foto : freepik.com )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Televisi menghadapi tantangan menentukan berita layak di era digital, di tengah perubahan konsumsi media dan persaingan platform online ( sumber foto : freepik.com )
ADVERTISEMENT
Televisi telah lama menjadi medium komunikasi yang memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Dalam perkembangannya, televisi tidak hanya menjadi sumber hiburan tetapi juga alat utama untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Namun, di era digital yang terus berkembang, standar jurnalistik televisi menghadapi tantangan besar. Bagaimana televisi menentukan apa yang layak diberitakan di tengah perubahan pola konsumsi media dan meningkatnya persaingan dengan platform digital? Pertanyaan ini tidak hanya relevan bagi industri televisi, tetapi juga bagi masyarakat yang menjadi konsumennya.
ADVERTISEMENT
Berita yang layak diberitakan adalah berita yang memenuhi sejumlah kriteria penting. Di antaranya adalah relevansi terhadap kepentingan publik, kebenaran yang terverifikasi, serta dampak positif yang dihasilkannya bagi masyarakat. Dalam prinsip jurnalistik tradisional, berita harus mencerminkan kenyataan yang seimbang, memberikan informasi yang bermanfaat, dan mendorong dialog yang konstruktif. Namun, prinsip-prinsip ini kerap kali terabaikan ketika media televisi dihadapkan pada tekanan komersial dan persaingan ketat dalam menarik perhatian penonton.
Era modern membawa banyak perubahan pada cara masyarakat mengonsumsi berita. Kecepatan informasi yang ditawarkan oleh media digital telah membuat banyak penonton beralih dari televisi tradisional ke platform online. Dalam situasi seperti ini, televisi menghadapi dilema besar: mempertahankan kualitas jurnalistiknya atau mengikuti arus untuk menyajikan berita yang hanya mengejar sensasi. Sayangnya, yang sering terjadi adalah yang kedua. Banyak berita televisi saat ini lebih berfokus pada drama, konflik, atau visual yang menggugah emosi daripada memberikan analisis mendalam yang dibutuhkan publik.
ADVERTISEMENT
Sensasi dalam pemberitaan bukanlah hal baru, tetapi di era sekarang, efeknya semakin terlihat mencolok. Misalnya, liputan tentang bencana alam sering kali lebih menonjolkan adegan dramatis seperti tangisan korban, gambar kehancuran, atau wawancara penuh emosional dengan saksi mata. Tayangan semacam ini mungkin berhasil menarik perhatian penonton dalam jangka pendek, tetapi sering kali mengorbankan kualitas dan kedalaman informasi. Dalam jangka panjang, model seperti ini justru mengurangi kepercayaan publik terhadap media televisi.
Selain itu, munculnya tren infotainment turut mengaburkan batas antara berita dan hiburan. Program-program yang seharusnya menyajikan informasi faktual malah dipenuhi dengan gosip selebriti, cerita sensasional, atau peristiwa kecil yang sebenarnya tidak berdampak luas bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran fokus dari penyampaian informasi berkualitas ke upaya untuk mendapatkan rating tinggi. Akibatnya, isu-isu penting seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, atau kebijakan publik sering kali terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, audiens memiliki peran besar dalam menentukan standar berita yang disajikan oleh televisi. Pilihan audiens terhadap jenis tayangan tertentu memberikan sinyal kepada stasiun televisi tentang apa yang mereka anggap menarik. Jika masyarakat lebih memilih tayangan yang dangkal atau penuh sensasi, maka media televisi akan cenderung memproduksi konten serupa. Karena itu, pendidikan literasi media menjadi sangat penting. Literasi media tidak hanya membantu audiens memahami bagaimana berita disusun, tetapi juga membekali mereka dengan kemampuan untuk menilai kualitas informasi yang mereka terima. Dengan audiens yang lebih kritis, media televisi akan terdorong untuk meningkatkan kualitas dan relevansi pemberitaannya.
Di tengah dinamika ini, regulasi dan pengawasan dari lembaga yang berwenang menjadi kunci untuk menjaga integritas jurnalistik televisi. Di Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan bahwa siaran televisi mematuhi standar etika dan profesionalisme. Namun, efektivitas KPI sering kali dipertanyakan, terutama ketika muncul kasus-kasus pelanggaran yang melibatkan stasiun televisi besar. Pengawasan yang transparan, independen, dan konsisten diperlukan agar regulasi ini benar-benar dapat diterapkan dengan baik. Selain itu, regulasi juga harus bersifat adaptif, mampu menyesuaikan dengan perubahan teknologi dan pola konsumsi media yang terus berkembang.
ADVERTISEMENT
Teknologi modern menawarkan peluang besar bagi jurnalistik televisi untuk berkembang. Dengan memanfaatkan kecerdasan buatan (AI), analitik data, dan platform digital, televisi dapat menghasilkan berita yang lebih relevan dan personal. Teknologi AI, misalnya, dapat membantu stasiun televisi dalam menganalisis tren di media sosial sehingga mereka dapat menyajikan berita yang sesuai dengan minat audiens. Namun, penggunaan teknologi ini juga harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat tantangan baru seperti berita palsu (hoaks) yang semakin marak di era digital. Dalam hal ini, televisi dapat berperan sebagai penjaga gerbang informasi yang membantu masyarakat memilah antara fakta dan opini, antara berita yang valid dan yang menyesatkan.
Ilustrasi Kolaborasi televisi dan media digital membantu menjangkau audiens lebih luas, menciptakan berita interaktif, dan menjadikan televisi ruang dialog konstruktif di era modern ( sumber foto : freepik.com )
Kolaborasi antara televisi dan media digital juga menjadi langkah strategis untuk menghadapi tantangan di era modern. Dengan mengintegrasikan platform digital seperti YouTube, Instagram, atau aplikasi mobile, televisi dapat menjangkau audiens yang lebih luas dan beragam. Kolaborasi ini memungkinkan terciptanya berita yang lebih interaktif, di mana audiens dapat berpartisipasi aktif dalam memberikan masukan atau berdiskusi tentang isu-isu yang sedang dibahas. Dengan demikian, televisi tidak hanya menjadi sumber informasi, tetapi juga menjadi ruang dialog yang konstruktif.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, keberhasilan televisi dalam mempertahankan relevansinya tidak hanya bergantung pada teknologi atau strategi pemasaran, tetapi juga pada komitmennya untuk menjaga standar jurnalistik. Dalam situasi apapun, televisi harus tetap mengedepankan prinsip-prinsip integritas, objektivitas, dan tanggung jawab sosial. Televisi harus mampu menyajikan berita yang tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga memberikan pemahaman yang lebih baik tentang dunia di sekitar kita.
Pertanyaan tentang apa yang layak disaksikan di televisi adalah pertanyaan yang harus dijawab tidak hanya oleh stasiun televisi, tetapi juga oleh audiens, regulator, dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan menjaga komitmen terhadap kualitas dan integritas, televisi dapat terus menjadi medium yang relevan dan terpercaya di tengah derasnya arus informasi di era modern. Di sisi lain, dengan menjadi audiens yang kritis dan bijak, kita juga dapat berkontribusi dalam menciptakan ekosistem media yang lebih sehat dan bermartabat.
ADVERTISEMENT
Di masa depan, standar jurnalistik televisi akan terus berkembang seiring dengan perubahan teknologi dan kebutuhan masyarakat. Namun, prinsip-prinsip dasar seperti keakuratan, keberimbangan, dan relevansi harus tetap menjadi landasan utama. Dengan demikian, televisi tidak hanya akan menjadi cermin dari realitas sosial, tetapi juga menjadi agen perubahan yang mendorong masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.