Konten dari Pengguna

Keadilan yang Tumpul: Menggugat Putusan Ringan Kasus Korupsi Timah 300 Triliun

Muhammad Fauzan Azima A
Mahasiswa DIV Komputasi Statistik Politeknik Statistika STIS
9 Januari 2025 18:31 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fauzan Azima A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/id/photos/palu-keadilan-hakim-ruang-sidang-7499911/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/id/photos/palu-keadilan-hakim-ruang-sidang-7499911/
ADVERTISEMENT
Hasil putusan sidang kasus korupsi timah sebesar 300 triliun menggemparkan masyarakat Indonesia hingga presiden angkat bicara. Bagaimana tidak, korupsi dengan kerugian negara mencapai ratusan triliun hanya mendapatkan hukuman 6,5 tahun penjara. Terdakwa kasus ini, Harvey Moeis terbukti bersalah melakukan korupsi dan pencucian uang yang mengakibatkan kerugian negara mencapai 300 triliun dengan 271 triliun untuk kerusakan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Jaksa menuntut Harvey Moeis dengan masa tahanan selama 12 tahun penjara dan denda 1 miliar rupiah. Terdakwa dijerat dengan Pasal 2 Jo. Pasal 18 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana, dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana. Sayangnya, putusan hakim sidang pada tanggal 23 Desember 2024 memberikan “diskon” terhadap masa tahanan terdakwa dengan alasan sopan, mempunyai tanggungan keluarga, dan terdakwa belum pernah dihukum.
Hasil putusan ini menjadi tanda tanya besar bagi seluruh masyarakat Indonesia. Narasi keadilan kini menjadi ironi dengan banyak yang merasa sistem hukum lebih berpihak pada mereka yang memiliki kekuatan. Pengurangan kepercayaan masyarakat terhadap hukum terus memperburuk legitimasi lembaga-lembaga penegak hukum, menciptakan jurang yang semakin lebar antara rakyat dan institusi yang seharusnya melindungi mereka. Ketika hukum dianggap sebagai alat kekuasaan daripada instrumen keadilan, rasa frustasi dan kekecewaan publik semakin memuncak. Kritik dan protes semakin membanjiri media sosial untuk menuntut transparansi dan pembenahan hukum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ketidakadilan Hukum Meningkatkan Budaya Korupsi
Ketimpangan dalam penegakan hukum, yang melibatkan Harvey Moeis dalam kasus korupsi senilai 300 triliun ini menunjukkan krisis serius dalam fundamental sistem peradilan pidana Indonesia. Hal ini membuat praktik korupsi semakin dianggap wajar bahkan dianggap sebagai peluang yang menguntungkan. Menurut Marusaha Simarmata dan Hudi Yusuf (2024), budaya korupsi yang mengakar akan menurunkan efektivitas kebijakan anti-korupsi dan membuat pelaksanaan hukum sering terhambat sehingga upaya pemberantasan korupsi tidak akan berjalan optimal.
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) di Indonesia terus menurun sejak 2022 hingga 2024, dari 3,93 menjadi 3,85. Tren ini mencerminkan meningkatnya toleransi masyarakat terhadap korupsi dan melemahnya kepercayaan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Perlu reformasi hukum secara mendalam yang menekankan pada transparansi dan akuntabilitas sangat dibutuhkan agar hukum kembali menjadi alat keadilan yang kokoh, bukan sekadar kompromi politik yang merusak tatanan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hukuman Kasus Korupsi di Indonesia Tidak Seberapa
Dibandingkan negara lain, putusan hakim di Indonesia terhadap pelaku korupsi terasa seperti guyonan semata. Malaysia sejak tahun 1997 menetapkan undang-undang anti-korupsi yang mengancam hukuman gantung bagi pelaku korupsi. Hal serupa juga berlaku di negara tetangga lain seperti Singapura dan Vietnam. Di Singapura, pelaku korupsi bisa dijatuhi hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati, tergantung pada tingkat kejahatannya. Di Vietnam, jika jumlah korupsi mencapai 500 juta dong (sekitar 300 juta rupiah), pelaku bisa dijatuhi hukuman mati. Salah satu contohnya adalah kasus Nguyen Xuan Son, mantan pemimpin bank utama di Vietnam yang dieksekusi karena korupsi besar.
Cina—negara yang terkenal sangat tegas dalam menanggapi korupsi, menjatuhi hukuman mati bagi siapa pun yang terbukti korupsi lebih dari 100.000 yuan (sekitar 215 juta rupiah). Sebagai contoh, kasus mantan Menteri Perkeretaapian Cina dan kasus Li Jianping yang tercatat sebagai kasus korupsi terbesar di Cina dengan nilai mencapai 6,7 triliun rupiah. Berbeda dengan negara-negara yang menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku korupsi, negara liberal seperti Amerika tidak menerapkan hukuman tersebut dengan alasan menghormati hak asasi manusia. Meskipun demikian, pelaku korupsi berat di Amerika diancam dengan hukuman penjara hingga 20 tahun.
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia seharusnya merasa malu atas lemahnya keberanian dalam menegakkan hukum terhadap kasus korupsi, terutama yang melibatkan kerugian negara dalam jumlah fantastis. Lemahnya penegakan hukum ini semakin memperkuat kesan bahwa keadilan di Indonesia cenderung berpihak pada mereka yang kaya dan berkuasa. Seolah-olah hukum di negeri dengan title 'negara hukum' ini tajam ke bawah dan tumpul ke atas, membiarkan para elite melenggang bebas meski merugikan negara dalam jumlah besar. Hal ini diperparah dengan ironi kasus-kasus ringan yang menimpa rakyat kecil, seperti Nenek Minah yang dihukum karena mencuri tiga buah kakao senilai Rp2.000, Nenek Asyani yang dijatuhi hukuman satu tahun penjara karena batang kayu jati, Busrin yang harus mendekam dua tahun penjara karena menebang mangrove untuk kayu bakar, serta kasus-kasus lain yang tidak tersorot media.
ADVERTISEMENT
Langkah Pemerintah dalam Menjawab Kemarahan Publik
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Budi Gunawan dalam jumpa pers di kantor Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, Kamis (2/1/2025), menyampaikan bahwa Presiden telah menerima berbagai masukan dari masyarakat yang merasa vonis tersebut kurang mencerminkan rasa keadilan. Presiden Prabowo Subianto bahkan telah memerintahkan Jaksa Agung untuk segera mengajukan upaya banding atas putusan yang kontroversial tersebut. Sinyal ini menunjukkan bahwa kemarahan publik telah menggema hingga ke level tertinggi pemerintahan. Namun, apakah langkah ini cukup untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem hukum?
Kesimpulan
Ketimpangan hukum di Indonesia telah menciptakan jurang yang lebar antara rakyat dan institusi yang seharusnya melindungi mereka. Kasus Harvey Moeis bukan hanya soal vonis yang ringan, tetapi juga cerminan dari rapuhnya sistem hukum kita. Korupsi adalah kanker yang menggerogoti Indonesia dari dalam, dan reformasi yang mendalam adalah satu-satunya jalan keluar. Belajar dari negara lain, Indonesia perlu melakukan reformasi dengan membangun sistem hukum yang tidak hanya tegas, tetapi juga bebas dari tekanan politik dan kepentingan pribadi.
ADVERTISEMENT
Namun, perubahan ini tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah atau aparat hukum. Semua elemen bangsa—masyarakat, akademisi, aktivis, dan media—harus bersatu melawan korupsi. Korupsi bukan hanya kejahatan dengan dampak keras pada sosial ekonomi, tetapi penghinaan terhadap masa depan anak bangsa. Hanya dengan komitmen bersama, Indonesia dapat mengubah hukum dari alat kekuasaan menjadi instrumen keadilan sejati.
Referensi
Badan Pusat Statistik.(2024).Berita Resmi Statistik: Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2024 sebesar 3,85, menurun dibandingkan IPAK 2023. Diakses 2 Januari 2024 dari https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2024/07/15/2374/indeks-perilaku-anti-korupsi--ipak--indonesia-2024--sebesar-3-85--menurun-dibandingkan-ipak-2023-.html
Sholahudin, U. (2018). Keadilan hukum bagi si miskin: Sebuah elegi si miskin di hadapan tirani hukum. Journal of Urban Sociology, 1(1), April 2018. Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Simarmata, M., & Yusuf, H. (2024). Analisis kebijakan penanganan tindak pidana ekonomi khusus di Indonesia. JIIC: Jurnal Intelek Insan Cendikia
ADVERTISEMENT