Konten dari Pengguna

Spirit Bung Karno Muda dan Politik Generasi Digital; Refleksi Hari Pahlawan

Fauzan Dardiri
Pernah menjadi jurnalis. Kini, aktif sebagai Ketua DPD KNPI Kota Serang.
5 November 2025 11:59 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Spirit Bung Karno Muda dan Politik Generasi Digital; Refleksi Hari Pahlawan
Di setiap zaman, selalu ada sekelompok anak muda menolak diam di tengah ketidakadilan. Mereka bukan hanya penonton sejarah, melainkan penulisnya.
Fauzan Dardiri
Tulisan dari Fauzan Dardiri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Fauzan Dardiri
Di setiap zaman, selalu ada sekelompok anak muda menolak diam di tengah ketidakadilan. Mereka bukan hanya penonton sejarah, melainkan penulisnya. Dalam sejarah Indonesia, nama Bung Karno berdiri paling menonjol sebagai simbol keberanian dan kecerdasan politik sejak usia muda. Ia bukan hanya pemimpin besar dalam catatan revolusi, tapi juga seorang komunikator ulung yang memahami kekuatan kata, simbol, dan makna.
ADVERTISEMENT
Soekarno muda tumbuh dalam suasana penjajahan yang mengekang segala bentuk kebebasan. Justru, dalam keterbatasan itulah lahir jiwa merdeka. Di usia belasan tahun, saat banyak remaja seusianya sibuk mengejar kenyamanan hidup, ia telah sibuk memikirkan bagaimana caranya bangsa bisa berdiri di atas kaki sendiri. Ia menulis, berbicara, dan berdebat. Bukan untuk mencari panggung, tapi untuk mencari makna kemerdekaan.
Dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (Soekarno, 1964), ia menulis dengan semangat yang menyala: "Aku bukan apa-apa tanpa rakyat. Aku besar karena bersama rakyat, berjuang dan menderita dengan rakyat." Kata-kata itu bukan sekadar retorika politik. Ia adalah manifestasi kesadaran kolektif anak muda yang melihat bangsanya bukan sebagai warisan, melainkan amanah. Di sinilah komunikasi politik Bung Karno bermula. Bukan dari kekuasaan, tapi dari kesadaran moral dan intelektual.
Ketika menempuh pendidikan di HBS Surabaya, Soekarno muda tinggal di rumah tokoh Sarekat Islam (SI) H.O.S. Tjokroaminoto. Dari sanalah ia belajar banyak tentang politik, agama, dan perjuangan. Di ruang tamu rumah itu, diskusi-diskusi tentang nasib bangsa kerap kali bergulir hingga larut malam.
ADVERTISEMENT
Soekarno muda duduk mencatat, lalu menulis, lalu berbicara, hingga kelak ia menemukan suaranya sendiri. Suara yang membangunkan kesadaran rakyat dan mampu mengguncang kolonialisme Belanda.
Dalam otobiografinya, ia pernah berkata kepada Cindy Adams (1965); "Aku belajar dari Tjokroaminoto bahwa pemimpin tidak cukup hanya berani, ia harus pandai bicara. Sebab kata-kata adalah senjata yang paling tajam untuk membangkitkan rakyat." Kalimat itu menunjukkan sejak muda, Bung Karno memahami hakikat komunikasi politik.
Soekarno mampu menyatukan hati dan pikiran rakyat lewat kekuatan narasi. Ia menyadari, revolusi tidak lahir dari senjata semata, tetapi dari ide yang menggetarkan jiwa manusia.
Relevansi bagi Anak Muda Era Digital
Puluhan tahun kemudian, pesan itu tetap hidup. Kini, generasi muda menghadapi medan perjuangan yang berbeda. Senjata mereka bukan lagi pidato di alun-alun atau pamflet bawah tanah, melainkan gawai di tangan, jaringan digital, dan ruang maya tanpa batas. Namun esensinya sama, komunikasi adalah alat perjuangan.
ADVERTISEMENT
Di era ketika politik sering kali dipenuhi citra semu, anak muda justru punya peluang besar untuk mengembalikan politik ke hakikatnya. Disana ruang gagasan, bukan sekadar panggung kekuasaan.
Melalui media sosial, mereka bisa menyuarakan keadilan, mengorganisasi solidaritas, dan menggerakkan perubahan. Tapi seperti Bung Karno muda, mereka harus belajar membedakan mana kata yang menyalakan semangat, dan mana yang hanya membakar emosi.
Spirit itu yang kini paling dibutuhkan. Keberanian untuk bersuara, disertai kecerdasan dalam memilih kata. Anak muda yang sadar politik tidak cukup hanya kritis, tetapi juga komunikatif. Mereka harus mampu mengubah idealisme menjadi pesan yang dipahami banyak orang, tanpa kehilangan kedalaman makna.
Ketika Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927 di Bandung, ia tidak hanya memulai gerakan politik, tapi juga membangun jaringan komunikasi rakyat.
ADVERTISEMENT
Ia menulis artikel, menyusun pidato, dan berdialog dengan massa tentang makna kebangsaan. Ia paham, kemerdekaan tidak akan datang jika rakyat tidak sadar akan jati dirinya.
Dalam pledoi terkenalnya Indonesia Menggugat (1930), Soekarno muda berujar: "Bangsa yang besar adalah bangsa yang percaya kepada dirinya sendiri." Kalimat ini bukan sekadar perlawanan terhadap penjajah, tapi juga teguran terhadap anak muda masa kini yang sering kehilangan kepercayaan diri dalam menghadapi derasnya pengaruh global.
Di tengah gempuran budaya digital, pesan Bung Karno terasa relevan, sehingga jangan biarkan pikiran dan identitas kita dijajah oleh algoritma dan tren.
Anak muda Indonesia, termasuk di Banten, kini berdiri di persimpangan sejarah baru. Mereka hidup di era di mana "pidato" berganti bentuk menjadi unggahan, dan "massa" hadir dalam bentuk pengikut digital. Namun, tantangannya tetap sama seperti zaman Bung Karno muda, bagaimana menjadikan komunikasi sebagai jalan perjuangan, bukan sekadar hiburan.
ADVERTISEMENT
Menyalakan Spirit, Bukan Sekadar Nostalgia
Spirit Bung Karno muda bukan tentang mengulang masa lalu, tapi menyalakan api semangat yang sama dalam konteks zaman yang berbeda. Dulu, Bung Karno berpidato di lapangan untuk menyadarkan rakyat yang tertindas.
Kini, anak muda bisa menggunakan media digital untuk menyadarkan bangsa dari apatisme, disinformasi, dan polarisasi sambil rebahan di rumah.
Sebagaimana Bung Karno menulis dalam Sarinah (1947). "Perjuangan tidak pernah selesai. Ia berubah bentuk, menyesuaikan zaman, tapi tujuannya tetap satu: kemerdekaan manusia."Kalimat ini mengandung pesan mendalam.
Menurutnya, perjuangan anak muda masa kini adalah menjaga kemerdekaan berpikir di tengah arus informasi yang bias. Bung Karno tidak meminta generasi penerusnya untuk meniru, tetapi untuk meneruskan dengan caranya sendiri.
ADVERTISEMENT
Setiap generasi memiliki caranya sendiri dalam menyuarakan perubahan. Namun, di antara sekian banyak anak muda Indonesia yang pernah menyalakan obor sejarah, Bung Karno muda menempati tempat yang istimewa.
Ia tidak hanya berpikir besar, tapi juga mampu mengubah pikirannya menjadi kata-kata yang menggugah, pesan yang menggerakkan, dan gerakan yang mengubah arah bangsa. Di masa mudanya, Soekarno adalah perpaduan antara intelektual, aktivis, dan komunikator tak tergantikan.
Soekarno muda mulai menapaki jalur pergerakan ketika menempuh pendidikan di Surabaya. Tinggal di rumah H.O.S. Tjokroaminoto menjadikannya saksi langsung dinamika politik Bumiputra di awal abad ke-20.
Malam-malam panjang di rumah Tjokroaminoto diisi dengan diskusi, debat, dan pertemuan yang menyalakan kesadaran kebangsaan. Dari situlah Soekarno belajar bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin bukan pada kekerasan, melainkan pada kemampuan menyatukan pikiran dan hati rakyat.
ADVERTISEMENT
Dalam pengakuannya kepada Cindy Adams (1965) seperti ditulis dalam Buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat. "Aku belajar dari Tjokroaminoto bahwa seorang pemimpin tidak cukup hanya berani. Ia harus pandai bicara. Sebab kata-kata adalah senjata yang paling tajam untuk membangkitkan rakyat."
Dari pelajaran itulah muncul kesadaran komunikatif yang khas dalam diri Bung Karno. Ia menyadari bahwa ide besar tidak akan berarti tanpa kemampuan menjelaskannya dengan cara yang dimengerti rakyat. Itulah inti komunikasi politik, membumikan gagasan agar bisa hidup dalam pikiran banyak orang.
Setelah melanjutkan pendidikan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng kini Institute Teknologi Bandung (ITB), Soekarno mulai membangun jejaring intelektual dan aktivis muda.
Di kota kembang itu pula lahir banyak ide tentang kemerdekaan, kesetaraan, dan nasionalisme. Ia menulis, berpidato, dan berdiskusi dengan penuh keyakinan. Bandung menjadi laboratorium ideologi bagi seorang anak muda yang kelak disebut Sang Proklamator.
ADVERTISEMENT
Pidato dan Pena: Dua Senjata Bung Karno Muda
Bung Karno muda memahami bahwa revolusi tidak akan berhasil tanpa narasi. Karena itu, ia menggunakan dua senjata utama. Yaitu, pidato dan tulisan.
Ia berpidato bukan untuk mengundang tepuk tangan, melainkan menggerakkan kesadaran kolektif. Setiap kata yang ia ucapkan lahir dari refleksi mendalam dan keyakinan kuat bahwa Indonesia harus merdeka secara utuh. Baik politik, ekonomi, dan mental.
Dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (1964), Soekarno menulis. "Revolusi bukan hanya mengganti penguasa, tetapi mengganti jiwa bangsa yang tertindas menjadi bangsa yang merdeka." Tulisan itu memperlihatkan pandangan politik yang melampaui zamannya. Ia tidak berbicara tentang kekuasaan, tetapi tentang kesadaran.
Ia tidak mempersoalkan jabatan, melainkan jati diri bangsa. Inilah yang membuat komunikasi politiknya relevan hingga kini. Dimana komunikasinya berbasis nilai, bukan sekadar strategi.
ADVERTISEMENT
Sebagai penulis muda, Soekarno kerap menulis di berbagai media pergerakan. Gaya tulisannya tajam, penuh logika, tapi tetap membara dengan emosi nasionalisme.
Ia paham betul bahwa pena bisa menembus batas-batas sensor kolonial. Setiap kalimatnya seolah mengajak pembaca untuk berpikir, tapi juga untuk berani.
Salah satu momen paling monumental dalam sejarah komunikasi politik Indonesia adalah ketika Bung Karno muda menyampaikan pledoi Indonesia Menggugat di pengadilan kolonial pada tahun 1930.
Di hadapan hakim Belanda, ia berdiri tegak, bukan sebagai terdakwa, tetapi sebagai pembela bangsa. Suaranya bergetar, tetapi bukan karena takut, melainkan karena keyakinan.
Dalam pledoi itu, ia berkata dengan lantang: "Kami menggugat penjajahan karena ia menindas, menghisap, dan mematikan jiwa bangsa." Kalimat tersebut menggambarkan kekuatan retorika yang tak hanya menyentuh logika, tapi juga menggugah hati.
ADVERTISEMENT
Soekarno muda mengubah ruang pengadilan menjadi panggung kesadaran nasional. Ia menggunakan bahasa yang hidup, bukan akademis. Emosional, tapi terukur. Tegas, tapi tetap santun. Itulah seni berkomunikasi yang efektif. Dimana Seokarno mampu menggabungkan logika dan rasa dalam satu pesan yang berdaya.
Pidato Indonesia Menggugat bukan hanya perlawanan politik, tetapi juga pembelajaran komunikasi publik. Di era ketika mikrofon belum menggantikan pena, Bung Karno muda sudah menunjukkan kekuatan kata bisa mengguncang kekuasaan. Ia membuktikan komunikasi politik yang berakar pada kejujuran dan idealisme mampu menembus dinding penjara.
Belajar dari Retorika Bung Karno
Anak muda masa kini memiliki banyak platform untuk berbicara. Mulai dari Twitter hingga TikTok, dari forum digital hingga ruang debat virtual. Tapi sering kali, yang hilang adalah kedalaman.
ADVERTISEMENT
Bung Karno muda berbicara bukan karena ingin didengar, tetapi karena ia punya sesuatu yang penting untuk disampaikan. Setiap kata memiliki arah, setiap kalimat memiliki tujuan.
Spirit itu yang perlu diwarisi. Retorika bukan sekadar seni bicara, melainkan seni menyampaikan nilai. Soekarno mengajarkan, jika komunikasi politik sejati lahir dari keyakinan akan kebenaran yang diperjuangkan.
Ia berani berbicara meski tahu risikonya adalah penjara. Ia menulis meski tahu tulisannya bisa dilarang. Tapi justru di situlah makna keberanian sejati. Dimana, ketika kata-kata menjadi bentuk pengorbanan.
Dalam satu kesempatan ia pernah berkata. "Jangan takut dipenjara karena ucapanmu, takutlah jika ucapanmu tidak lagi berarti bagi bangsamu." (Soekarno, 1933, dalam Di Bawah Bendera Revolusi)
Kalimat itu terasa menampar generasi kini yang kerap lebih sibuk menjaga citra daripada menyampaikan gagasan. Anak muda Indonesia, termasuk di Banten, harus berani berbicara dengan jujur.
ADVERTISEMENT
Ia bukan karena ingin viral, tapi karena ingin bermanfaat. Komunikasi politik yang sehat bukan hanya tentang menyampaikan opini, tapi membangun kesadaran kolektif.
Dalam konteks modern, retorika Bung Karno bisa diartikan sebagai kemampuan mengelola pesan publik secara strategis dan humanis. Ia menggabungkan pengetahuan, emosi, dan nilai dalam satu narasi yang menggerakkan.
Model ini tetap relevan untuk anak muda zaman digital. Bagaimana pesan politik disampaikan dengan kejujuran, kreativitas, dan kepedulian sosial.
Bung Karno muda membuktikan, komunikasi politik adalah seni membangun kepercayaan. Tanpa kepercayaan, kata-kata kehilangan daya. Tanpa nilai, pesan menjadi hampa.
Maka, mewarisi spirit Bung Karno bukan berarti meniru gaya bicaranya, tapi memahami jiwanya. Dimana, semangat menyatukan, bukan memecah, membangun, bukan menjatuhkan.
ADVERTISEMENT
Komunikasi Politik; Dari Bung Karno ke Generasi Digital
Ketika Bung Karno muda berbicara di hadapan rakyat, setiap katanya bukan hanya pidato. Ia adalah seruan hati. Ia tidak sekadar menyampaikan pesan politik, tetapi menggerakkan kesadaran bangsa. Bung Karno memahami satu hal penting. Komunikasi bukan sekadar menyusun kata, melainkan membangun jiwa kolektif. Ia menghidupkan semangat yang membuat rakyat merasa menjadi bagian dari sejarah.
Dalam Indonesia Menggugat (1930), Bung Karno menyatakan dengan tegas. "Saya menggugat bukan untuk diri saya sendiri, tetapi untuk rakyat Indonesia yang ingin merdeka dari segala bentuk penindasan."
Ungkapan itu menunjukkan. Jika, bagi Bung Karno, komunikasi politik bukan soal kepentingan pribadi, melainkan panggilan moral untuk memperjuangkan kebenaran dan martabat manusia. Ia menjadikan bahasa sebagai alat pembebasan. Di masa penjajahan, kata-kata adalah bentuk perlawanan paling berani.
ADVERTISEMENT
Kini, ruang itu telah berubah. Panggung tempat Bung Karno berorasi di Lapangan telah berganti menjadi timeline, feed, dan space digital. Namun hakikatnya tetap sama. Komunikasi politik adalah soal bagaimana gagasan bisa menyentuh nurani rakyat.
Anak muda masa kini memiliki alat yang jauh lebih kuat dibanding generasi sebelumnya. Dengan satu unggahan di Instagram, satu video di TikTok, atau satu utas di X (Twitter), mereka bisa menjangkau jutaan mata dan pikiran.
Namun, di balik kemudahan itu, muncul pertanyaan penting. Apakah pesan yang mereka sampaikan masih membawa nilai perjuangan, atau sekadar sensasi?
Komunikasi politik di era digital sering terjebak dalam politik citra. Kecepatan informasi membuat pesan yang mendalam kalah oleh yang viral. Di sinilah anak muda harus belajar dari Bung Karno. Bagaimana menyeimbangkan antara retorika dan substansi, antara gaya dan isi. Bung Karno tidak hanya pandai berbicara, tapi juga menyusun gagasan yang berpijak pada visi bangsa.
ADVERTISEMENT
Jika Bung Karno hidup di era digital, mungkin ia akan menjadi sosok yang paling aktif di ruang maya. Tetapi bukan untuk mencari perhatian, melainkan untuk menyuarakan kebenaran. Dalam Di Bawah Bendera Revolusi (1964), ia menulis. "Perjuangan tidak akan berhenti sebelum rakyat Indonesia betul-betul merdeka, lahir dan batin."
Kalimat itu kini menemukan maknanya di dunia maya. Kemerdekaan yang dulu diperjuangkan melalui senjata, kini harus dijaga melalui kemerdekaan berpikir dan berpendapat di ruang digital.
Ketika hoaks, ujaran kebencian, dan manipulasi politik membanjiri lini masa, anak muda memiliki tugas yang tak kalah berat dari generasi revolusi. Yakni melawan dengan akal sehat dan integritas.
Di sinilah letak kesinambungan antara Bung Karno dan generasi digital. Bung Karno menggunakan mimbar rakyat sebagai ruang advokasi, sementara anak muda kini menggunakan platform digital untuk memperjuangkan kebenaran. Spiritnya sama, perbedaannya pada media salurannya.
ADVERTISEMENT
Bung Karno muda adalah jenius narasi. Ia mengubah penderitaan menjadi kekuatan, mengubah kemarahan menjadi kesadaran. Dalam Pidato Lahirnya Pancasila (1 Juni 1945), ia berkata. "Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang hidup untuk dirinya sendiri, melainkan bangsa yang hidup untuk seluruh umat manusia."
Pernyataan itu bukan sekadar idealisme. Ia adalah arah moral komunikasi politik, bahwa politik harus berorientasi pada kemanusiaan.
Generasi digital kini berhadapan dengan tantangan baru, yakni algoritma. Mesin-mesin pencari dan media sosial sering kali hanya menampilkan apa yang ingin kita lihat, bukan apa yang seharusnya kita ketahui.
Akibatnya, ruang publik digital rentan terpecah menjadi echo chamber atau ruang gema. Tempat di mana orang hanya mendengar suara yang sejalan dengan pikirannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, anak muda perlu menghidupkan kembali semangat dialog yang inklusif, sebagaimana Bung Karno selalu tekankan dalam setiap pidatonya. Mendengarkan, bukan hanya berbicara. Komunikasi politik harus menjadi jembatan, bukan jurang. Ia harus menumbuhkan empati, bukan kebencian.
Dari Wacana ke Gerakan
Komunikasi politik sejatinya adalah langkah pertama menuju tindakan. Bung Karno tidak berhenti di kata-kata. Pada setiap pidatonya adalah prolog dari aksi nyata. Ia menulis di Di Bawah Bendera Revolusi. "Revolusi adalah kerja yang tidak boleh berhenti di tengah jalan. Ia menuntut darah, keringat, dan air mata."
Spirit itu penting untuk generasi muda hari ini. Aktivisme digital bukanlah tujuan akhir, melainkan gerbang menuju perubahan sosial. Setelah suara menggema di ruang maya, langkah berikutnya adalah bergerak di dunia nyata. Seperti menjadi relawan, membangun komunitas, menulis kebijakan, atau sekadar turun mendengar rakyat kecil.
ADVERTISEMENT
Anak muda perlu menyadari, jika komunikasi politik sejati bukan tentang viralitas, tetapi tentang relevansi. Bukan sekadar mengumpulkan "likes", tetapi menggerakkan kesadaran kolektif. Di situlah nilai perjuangan Bung Karno muda masih berdenyut.
Di Banten, semangat ini mulai tampak di berbagai komunitas mahasiswa dan organisasi kepemudaan. Mereka menggunakan media sosial untuk mengadvokasi isu-isu lokal. Baik itu, lingkungan, pendidikan, dan transparansi pemerintahan daerah.
Dari forum kampus hingga kanal YouTube, mereka berdiskusi tentang demokrasi dan kebijakan publik dengan cara yang kreatif dan komunikatif.
Semangat ini sejalan dengan semangat Bung Karno muda. Dia ia mengubah keterbatasan menjadi kekuatan. Seperti kata beliau dalam Indonesia Menggugat. "Selama rakyat menderita, perjuangan tidak boleh berhenti."
Anak muda Banten kini melanjutkan perjuangan itu di medan baru. Mereka tidak lagi menentang penjajahan fisik, tetapi melawan ketimpangan informasi, korupsi, dan apatisme politik. Dengan bahasa digital, mereka menyuarakan keadilan sosial yang menjadi inti perjuangan Bung Karno.
ADVERTISEMENT
Banyak yang mengagumi Bung Karno hanya dari poster dan kutipan viral. Namun yang lebih penting adalah memahami jiwa di balik kata-katanya. Bung Karno tidak ingin disembah, ia ingin dimengerti. Dalam salah satu tulisannya di Di Bawah Bendera Revolusi, ia berkata. "Jasmerah. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah."
Tetapi sejarah bukan untuk dipuja, melainkan untuk dihidupi. Mewarisi Bung Karno berarti menjaga nilai-nilai yang ia perjuangkan. Yaitu keberanian, kejujuran, solidaritas, dan cinta tanah air. Nilai-nilai itu harus hidup di ruang digital, di mana wacana publik kini dibentuk oleh anak muda yang berani berpikir kritis dan bertindak dengan integritas.
Zaman berubah, tetapi panggilan sejarah tetap sama. Bung Karno muda pernah menggetarkan rakyat lewat orasi. Anak muda hari ini punya kesempatan menggetarkan bangsa lewat koneksi digital. Perjuangan tidak lagi di medan perang, melainkan di medan gagasan.
ADVERTISEMENT
Jika Bung Karno muda dulu berkata dengan lantang. "Aku bukan pembawa obor yang dapat menerangi jalanmu, tetapi akulah obor itu sendiri," maka generasi digital hari ini harus menjawab. "Kami adalah percikan obor itu. Menyala di setiap piksel, di setiap gagasan, di setiap ruang yang ingin membangun Indonesia yang merdeka lahir dan batin." (*)
*Penulis adalah Ketua DPD KNPI Kota Serang Periode 2025-2028