Konten dari Pengguna

Kesalahpahaman Stoikisme Di Kalangan Gen Z

Fauzan Nurahman
Mahasiswa universitas Pamulang jurusan ilmu komunikasi
26 November 2024 14:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fauzan Nurahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ilustrasi tentang generasi z
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi tentang generasi z
Di zaman modern saat ini media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari apalagi dikalangan gen z. Media sosial memungkinkan seseorang saling terhubung, berbagi informasi, dan mengekspresikan dirinya secara cepat langsung, dan tanpa batas. Tetapi tanpa disadari media sosial terus menuntut penggunanya untuk selalu tampil sempurna dalam sebuah citra diri yang paripurna. Kondisi-kondisi semacam ini dapat menciptakan tekanan psikologis yang akut dan terstruktur yang membuat kita menjadi pribadi yang mudah cemas, mudah iri, insecure atas diri kita sendiri, hingga kita kerap merasa rendah diri yang dapat berujung pada depresi.
ADVERTISEMENT
salah satu alternatif untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menerapkan prinsip keseimbangan hidup ala stoikisme (stoicism) alias melalui refleksi diri. Stoikisme mengajarkan kita agar tidak terlalu terpengaruh oleh opini orang lain, validasi eksternal, atau konten yang dapat memicu kecemasan dan ketidakpuasan. Filosofi stoikisme membantu kita lebih bijaksana dalam menyikapi berbagai konten dan opini yang beredar di media sosial dan mengembangkan ketahanan mental di tengah tekanan media sosial, sehingga kita dapat menghadapi lingkungan digital dengan bijaksana tanpa kehilangan kendali atas emosi dan perspektif hidup.
Apa itu stokiikisme? Stoicism, stoic, atau stoisisme, berasal dari bahasa Yunani yaitu “stoikos” yang artinya “dari stoa (serambi atau beranda). Istilah ini merujuk pada Stoa Poikile, sebuah “sekolah filsafat” di Athena, Yunani, tempat Zeno, seorang filsuf terkemuka dari Citium yang memberikan pengaruh besar bagi peradaban sekitar tahun 301 SM. Pada masa itu, Zeno melakukan pengajaran dengan cara yang agak tak biasa, yaitu dengan duduk berbicara di teras pendopo yang terletak agak jauh dari keramaian pasar. Pendekatan pengajaran dan cara dia mendirikan akademinya ini yang kemudian memberikan nama pada aliran filsafat ini, yaitu stoikisme.
ADVERTISEMENT
Ada tiga tokoh utama yang sangat berperan dalam peyebaran serta pengembangan stoikisme, yaitu ada Lucius Annaeus Seneca yang merupakan seorang penasehat kaisar Nero, Epictetus yang merupakan mantan budak, dan Markus Aurelius yaitu seorang kaisar romawi. Ketiga tokoh tersebut memberikan kontribusi penting dalam menyebarluaskan, mempraktikkan, dan mengadaptasi ajaran Stoikisme ke dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Menurut filosofi stoikisme, semua hal yang ada dalam hidup bersifat netral, tidak ada yang baik atau buruk yang menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk adalah persepsi dan cara kita merespon tentang hal tersebut. Marcus Aurelius, pernah mengatakan: "Jika kamu terganggu oleh sesuatu, bukan hal itu yang mengganggumu, tetapi pendapatmu tentang hal itu." Ini berarti bahwa bukan peristiwa itu sendiri yang buruk, melainkan interpretasi kita yang menjadikannya demikian.
ADVERTISEMENT
Dalam stoikisme kebahagiaan sejati berasal dari bagaimana kita menjalani hidup dengan Kebajikan dan menjaga ketenangan batin. Filosofi ini mengajarkan bahwa kebahagiaan dapat dicapai dengan fokus pada apa yang berada di bawah kendali kita seperti pikiran, sikap, dan tindakan kita serta menerima dengan lapang dada hal-hal yang berada di luar kendali kita , seperti pendapat orang lain, status sosial, Tindakan orang lainatau hasil dari usaha kita. Dengan mengendalikan persepsi dan respons terhadap kehidupan, Stoikisme membantu seseorang menjalani hidup dengan bijaksana, tenang, dan bermakna.
kesalahpahaman 1. Salah tafsir tentang ketabahan dan kemandirian dalam stoikisme Gen Z sering kali melihat Stoikisme sebagai ajaran untuk menjadi tabah secara ekstrem serta mengandalkan diri sendiri sepenuhnya yang membuat mereka merasa tidak perlu bantuan dari orang lain. Padahal Stoikisme mengajarkan pentingnya komunitas dan keterhubungan antarindividu. Filosofi Stoik mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. 2. Mengartikan stoikisme sebagai ajaran yang mengabaikan emosi Banyak orang menganggap stoikisme sebagai ajaran yang mengabaikan emosi atau menekan emosi, padahal stoikisme mengajarkan kita untuk mengelola emosi dengan bijak bukan menghilangkan atau menekan emosi. Dalam ajaran Stoikisme, seseorang diajarkan untuk memahami emosi tanpa membiarkan dirinya terbawa olehnya, bukan untuk memendam emosi tersebut. Menurut Marcus Aurelius, seorang filsuf Stoik "menerima dan memahami emosi adalah bagian penting dari hidup". 3. Toxic Positivity Menurut artikel “Stoicism on TikTok” Banyak konten Stoikisme di media sosial lebih khususnya tiktok terfokus pada optimisme ekstrem atau "toxic positivity," yang menuntut seseorang selalu berpikir positif dan mengabaikan tantangan yang dihadapi. Hal ini malah bertentangan dengan stoikisme, dimana Stoikisme mengajarkan penerimaan terhadap peristiwa baik dan buruk dengan tenang, tanpa penyangkalan, dan mengambil Pelajaran dari kejadian tersebut. 4. Memahami stoikisme sebagai apatis atau ketidakpedulian Stoikisme sering disalahpahami sebagai filosofi yang mengajarkan ketidakpedulian atau apatis terhadap lingkungan sekitar. Mereka yang terpapar hal tersebut menganggap bahwa menjadi Stoik berarti tidak perlu peduli pada masalah-masalah sosial atau politik. Padahal stoikisme mengajarkan keterlibatan aktif dalam kehidupan publik dan menjalankan peran yang sesuai untuk kebaikan bersama. 5. Penggunaan Ajaran Stoik untuk Produktivitas Berlebihan Beberapa interpretasi Stoikisme dikalangan Gen Z menjadikan stoikisme sebagai dasar untuk "hustle culture" atau produktivitas berlebihan. Mereka merasa bahwa Stoikisme mendorong seseorang untuk terus bekerja keras tanpa henti dan tanpa keluhan. Namun, stoikisme sebenarnya menekankan keseimbangan hidup, kesederhanaan, serta refleksi dan bukan produktivitas semata. Kesalahpahaman tentang stoikisme ini terjadi karena rangnya pemahaman mendalam mengenai filosofi ini. Media sosial juga mempunyai dampak besar pada penyebaran stoikisme hingga menjadi populer dikalangan gen z, tetapi media sosial juga menjadi penyebab kesalahpahaman stoikisme. Media sosial sering menyederhanakan stoikisme tanpa adanya penjelasan yang lebih mendalam mengenai konteks filosofinya. Untuk menghindari kesalahpahman tersebut, kita harus mempelajari filosofi ini secara lebih dalam dan menyeluruh, bukan hanya dari kutipan atau interpretasi dangkal di media sosial. Jangan mersa sudah paham segalanya tentang hal tersebut hanya karena mengetahui sedikit dari hal tersebut, tetapi teruslah gali lebih dalam tentang hal tersebut
ADVERTISEMENT