Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Media Sosial Menjadi Alat Diplomasi Digital: Tantangan serta Rintangannya
12 Juli 2021 14:28 WIB
·
waktu baca 6 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:02 WIB
Tulisan dari Fauzan Agusti Fajariyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pergeseran Konsep Diplomasi
Perkembangan teknologi digital pada masa kontemporer ini membawa perubahan yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Menurut R W. Mansbach yang dikutip melalui Laporan Penelitian (SI LPPM UNPAR) yang berjudul Transformasi Strategi Digital di Era Digital menjelaskan bahwa istilah Realpoltic yang dicetuskan oleh Bollier, merupakan tipe diplomasi tradisional yang masih mengandalkan kekuatan sebagai sumber utama untuk mencapai kepentingan.
Namun seiring perkembangan zaman, pergeseran konsep diplomasi terjadi yang kini lebih mengandalkan teknologi sebagai basis kekuatan utama untuk mencapai kepentingan yang biasa disebut Netpolitic (Mansbach). Kemudian dari Netpolitic inilah yang kemudian semakin kesini sering juga disebut sebagai diplomasi digital.
Lebih jauh, perkembangan teknologi informasi digital ini pun pastinya membawa dampak negatif maupun positif tergantung bagaimana kita menggunakannya.
Pada artikel ini penulis mencoba memaparkan bagaimana diplomasi digital ini dapat menjadi sangat penting seperti saat ini dan tantangan yang dihadapi dari diplomasi digital ini khususnya oleh pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pasti semua orang paham mengenai apa itu media digital atau media sosial seperti Instagram, Youtube, Twitter, Facebook dan berbagai media sosial lainnya yang dapat menghubungkan orang dari seluruh penjuru dunia.
Namun orang-orang biasanya menggunakan media sosial tersebut cenderung untuk sekedar menghabiskan waktu luang mereka atau menjadikan pekerjaan sampingan.
Terlepas dari penggunaan yang dapat dianggap biasa itu, di sisi lain media sosial ataupun digital dapat digunakan untuk keperluan yang jauh lebih penting hingga menyangkut urusan negara.
Di era sekarang ini penggunaan media sosial yang sangat populer ini menjadikan media digital ini tidak hanya dipakai untuk sekedar bersenang-senang.
Namun jauh lebih penting dari itu, media sosial digital ini dapat dijadikan sebagai alat diplomasi atau yang biasa disebut digital diplomacy oleh para pemangku kepentingan entah itu negara maupun korporasi untuk melakukan negosiasi.
ADVERTISEMENT
Apalagi pada masa pandemi saat ini menjadikan teknologi digital seperti facecam yang mempermudah pertemuan seperti ini menjadi kian populer.
Media Sosial Menjadi Alat Diplomasi Digital
Kemudian sebagai contoh bagaimana teknologi informasi seperti media sosial ini digunakan adalah seperti presiden Jokowi yang saat itu memposting cuitan twitternya yang mengecam peristiwa pengeboman di Lahore Pakistan.
“Indonesia mengutuk keras terhadap serangan di Lahore. Teror atas nama apapun tidak dibenarkan. Dukacita yang mendalam bagi korban, rakyat Pakistan” Tulis Jokowi dalam akun twitternya pada Senin (28/3/2016).
Kemudian selain itu juga presiden Jokowi mengkampanyekan soal kepedulian terhadap lingkungan dengan menggunakan hashtag #bebassampah2020
“Indonesia bersih, impian kita semua. Ayo bergerak, ayo gotong-royong bersihkan lingkungan dari sampah. #bebassampah2020” Tulis Jokowi pada Minggu (21/2/2016).
ADVERTISEMENT
Selain Indonesia, negara lain yang mulai menggunakan Twitter untuk melakukan diplomasi adalah Cina. Pada Oktober 2019 untuk pertama kalinya pemerintah Cina mulai menggunakan Twitter yang sebelumnya tidak proaktif dan begitu kaku untuk terbuka bagi dunia luar.
Namun hingga bulan Desember 2019, mereka mulai aktif dengan melakukan diplomasi digital via Twitter. Terlebih setelah meluasnya wabah COVID-19 yang menjalar ke seluruh negara membuat pemerintah Cina menjadi lebih gencar melakukan diplomasi digital melalui Twitter.
Hal itu mereka lakukan untuk membentuk citra baik kembali kepada mata dunia dan membantah semua narasi yang ditujukan kepada Cina yang dianggap sebagai sumber dari wabah ini (Triwibowo, 2020).
Dengan Cina yang mulai menggunakan Twitter untuk melakukan diplomasi ini menjadi bukti nyata bahwa memang diplomasi digital ini dapat memberikan bukti nyata bagi manajemen krisis dengan memberikan informasi publik dan membantu membangun komunikasi antar negara dunia.
ADVERTISEMENT
Hal itu dapat terjadi karena penyebaran informasi melalui dunia maya dapat tersebar dengan sangat cepat tanpa ada batasan untuk menyebarkannya. Selain itu juga sulitnya melakukan diplomasi tradisional dengan tatap muka yang kini sulit dilakukan menjadi salah satu alasan pendorong diplomasi digital semakin naik daun (Triwibowo, 2020).
Tantangan serta Rintangan dari Diplomasi Digital
Namun dari kemudahan-kemudahan yang disuguhkan oleh media sosial tersebut. Masih ada beberapa tokoh yang kontra dengan hal tersebut. Seperti Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry yang pada tahun 2016 mengecam cara pendekatan Trump.
Kerry menyampaikan bahwa “Dalam menjalankan diplomasi dan kehidupan publik, kita harus punya telinga yang peka” Ujarnya dalam pidato yang ia sampaikan sepanjang satu jam di sebuah hotel di Washington (VOA, 2016).
ADVERTISEMENT
Kemudian Kerry juga menyampaikan bahwa tantangan-tantangan internasional harus dihadapi dengan kejujuran, tekad dan keyakinan dan juga “tidak dengan slogan-slogan dan kata-kata singkat melalui Twitter” Lanjutnya (VOA, 2016).
Kemudian tantangan dari diplomasi digital yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia khususnya Kemenlu adalah serangan-serangan diplomasi digital dari negara tetangga.
Seperti beberapa tahun lalu yang sempat heboh masalah narkotika yang melibatkan kelompok Bali Nine asal Australia yang saat itu ditangkap oleh pihak berwajib dan akan dieksekusi.
Melihat hal tersebut Australia tidak tinggal diam. Mereka melakukan segala cara untuk membebaskan warga negaranya tersebut.
Namun setelah dari semua lobi-lobi yang dilakukan secara langsung kepada pemerintah Indonesia gagal. Akhirnya Australia mulai melancarkan “serangan” diplomasi digital terhadap Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mereka menyampaikan pesan melalui media bahwa mereka akan memboikot pariwisata Bali dan mereka juga akan menghentikan bantuan-bantuan internasional jika pemerintah Indonesia tetap melakukan eksekusi terhadap para pelaku (Hartati, 2018).
Kemudian selain serangan diplomasi digital dari negara tetangga juga, pemerintah Indonesia terlihat terlambat dalam memanfaatkan kemajuan teknologi ini.
Terlambatnya pemanfaatan teknologi ini dapat menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Karena Indonesia akan lebih sulit untuk melakukan counter argumen jika negara lain menyerang dengan membentuk citra negatif melalu dunia maya terhadap Indonesia.
Sebetulnya pemerintah Indonesia telah menggunakan kemajuan teknologi ini selama delapan hingga sembilan tahun lalu. Namun pemerintah Indonesia belum terlalu serius dalam memanfaatkannya dan cenderung masih terbatas.
Berbeda dengan Amerika Serikat, Australia, dan Kanada yang sudah menyiapkan kemajuan ini dari jauh-jauh hari. Seperti Amerika Serikat yang telah mampu memanfaatkan kekuatan media informasi digital ini pada awal tahun 2000 dengan memberi sentimen negatif kepada negara Irak dan Afghanistan dan dapat merusak citra mereka dalam sekejap (Hartati, 2018).
ADVERTISEMENT
Namun sebaliknya, citra-citra negatif yang diarahkan kepada AS dapat dengan mudah diredam melalui kekuatan media mereka seperti CNN, VoA maupun kanal-kanal lain. Mereka menggunakan media tersebut untuk membangun propaganda kepada publik bahwa yang mereka lakukan untuk melawan terorisme demi terwujudnya dunia yang aman.
Dari fakta-fakta tersebut terlihat jelas bahwa kekuatan media sekarang sangatlah kuat. Begitu kuatnya media, citra suatu negara dapat rusak dalam waktu singkat dan secara tidak langsung itu sangat merugikan dalam banyak aspek.
Tentulah kita berharap bahwa pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan teknologi yang ada sekarang dengan sebaik-baiknya demi kemajuan bangsa dan negara dalam perkembangan IPTEK.
Selain itu dengan menguasai media juga dapat menguntungkan Indonesia, karena dengan citra positif yang dibangun akan menarik negara lain untuk mau bekerjasama dengan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Hartati, A. Y. (2018). Tantangan Digital Diplomacy di Indonesia. 157-166.
Mansbach, R. W. (t.thn.). INTERNATIONAL RELATIONS AND INFORMATION. – International Relations and Information Technology, II. Dipetik April 29, 2021, dari https://www.eolss.net/Sample-Chapters/C14/E1-35-03-03.pdf
Triwibowo, A. (2020, Juni 30). Diplomasi digital: pencitraan Cina lewat media sosial selama pandemi. Diambil kembali dari The Conversation: https://theconversation.com/diplomasi-digital-pencitraan-cina-lewat-media-sosial-selama-pandemi-139216
VOA. (2016, November 30). Menlu AS Peringatkan Bahaya Diplomasi Lewat Twitter. Diambil kembali dari VOA Indonesia: https://www.voaindonesia.com/a/kerry-trump-diplomasi-twitter/3617098.html