Sudahi Perpeloncoan, Demi Terciptanya Ruang Aman Pendidikan

Fauzi Salam
Peduli isu kemanusiaan dan keadilan iklim. Saat ini sedang menjalani studi di Geografi, UGM.
Konten dari Pengguna
3 Maret 2024 17:23 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fauzi Salam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perasaan Individu yang Mengalami Perundungan | Sumber: Buatan Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perasaan Individu yang Mengalami Perundungan | Sumber: Buatan Penulis
ADVERTISEMENT

Perundungan di Pendidikan Formal

sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahun ajaran baru merupakan momen yang memorable bagi pelajar. Bertemu relasi pertemanan baru, mendapatkan pengalaman baru, dan beradaptasi di lingkungan baru adalah hal yang pasti dialami oleh setiap pelajar, khususnya bagi mahasiswa/i baru. Di setiap universitas memiliki cara unik atau khas dalam rangka kedatangan lingkungan baru mereka. Penyambutan mahasiswa/i baru seharusnya diwarnai dengan kemeriahan, keceriaan, dan kesenangan.
ADVERTISEMENT
Namun belakangan, perundungan atau perpeloncoan masih sering terjadi di ranah pendidikan, terutama pada saat penyambutan mahasiswa/i. Hal tersebut diperparah dengan kekerasan verbal dan fisik (Nurfuadah 2015). Bahkan, penyambutan mahasiswa/i baru pernah memakan korban jiwa (Pasabuan 2022). Hal tersebut didukung dengan adanya data berikut. Berdasarkan hasil penelitian dari Programme for International Student Assessment (PISA) 2018, disajikan bahwa sekitar 41,1% dari situasi di dunia pendidikan Indonesia menunjukkan tindakan perundungan dan kekerasan. Secara lebih spesifik, Indonesia tercatat berada pada peringkat kelima tertinggi di antara 78 negara yang menjadi subjek penelitian, menunjukkan prevalensi yang cukup signifikan terhadap perundungan dalam konteks pendidikan (Jayani 2019). Artinya, lingkungan pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata aman.
Dari jenjang SD hingga kuliah, perpeloncoan/bullying/perundungan merupakan masalah yang krusial, bahkan terjadi hampir di semua jenjang akademik. Hal tersebut telah membuat hilangnya rasa aman di lingkungan pendidikan. Parahnya lagi, hal tersebut telah memakan korban jiwa. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengulas isu perpeloncoan ini dari sejarah awal dan mengapa harus disudahi.
ADVERTISEMENT

Sejarah Awal Perpeloncoan

Pada mulanya, konsep penyambutan atau upacara terhadap orang baru di lingkungan barunya disebut dengan ritual inisiasi. Upacara inisiasi adalah sebuah ritual yang diadakan ketika seseorang bergabung dengan suatu kelompok sosial tertentu. Oleh karena itu, upacara ini melibatkan momen-momen krusial dalam kehidupan seseorang (Koentjaraningrat 1976). Seiring waktu, konsep inisiasi tidak lagi terbatas pada tahapan kehidupan masyarakat saja, melainkan telah berkembang lebih luas ke berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam sektor pendidikan (Noviana 2010). Meskipun begitu, belum diketahui secara pasti perpeloncan dimulai sejak kapan.
Namun, jika melihat tradisi perpeloncoan zaman modern, dapat ditelusuri hingga Cambridge University di Inggris. Pada awalnya, tradisi ini muncul karena mayoritas mahasiswa/i di universitas tersebut berasal dari kalangan anak bangsawan dan borjuis. Karena status sosial yang tinggi, mahasiswa-mahasiswa/i ini cenderung berperilaku nakal dan tidak patuh terhadap aturan. Maka dari itu, mendorong universitas untuk mengambil langkah-langkah merombak perilaku ini, yang kemudian menghasilkan tradisi perpeloncoan yang diwajibkan bagi setiap mahasiswa/I (Noviana 2010). Selain itu, praktik perpeloncoan telah ada di Amerika Serikat sejak sekitar abad ke-17, ketika mahasiswa/i dari Oxford University mengunjungi Harvard University. Pada saat itu, konsep "fagging" diperkenalkan, di mana mahasiswa junior harus melayani mahasiswa/i senior dan melibatkan berbagai bentuk perpeloncoan lainnya (Lipkins 2006). Hal tersebut menunjukan bahwa pada mulanya dilakukan untuk tujuan kontrol sosial.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, perpeloncoan tercatat sudah terjadi pada era kepemerintahan Belanda dan Jepang. Hal tersebut didukung adanya catatan harian dari seorang dokter yang sekolah di Stovia. Beberapa organisasi perjuangan, seperti PKI telah menolak adanya perpeloncoan karena merupakan produk kolonialisme atau akal-akalan Belanda dan Jepang (Isnaeni 2015).

Mengapa Harus Disudahi?

Pertama, dalih yang sering dibuat adalah bahwa tujuan dari perpeloncoan untuk melatih solidaritas. Biasanya dilatih secara keras, seperti di militer. Harapan mereka (pem-bully) agar memiliki rasa solidaritas tinggi. Akan tetapi, riset terbaru dari Amerika menunjukkan bahwa perpeloncoan bukan membentuk solidaritas kelompok kuat, tetapi membentuk individu dengan kepercayaan diri rendah (Utomo 2023). Pendisiplinan semi-militer tersebut dan metode pembelajaran yang berfokus pada kompetisi di lembaga pendidikan, baik di tingkat sekolah maupun universitas, diklaim oleh kalangan akademisi sebagai faktor yang masih mempertahankan keberadaan praktik orientasi studi dan pengenalan kampus yang kejam (Dzulfikar 2022).
ADVERTISEMENT
Berikutnya adalah hilangnya rasa aman. Perpeloncoan dapat menciptakan lingkungan di mana individu merasa tidak aman serta rasa kepemilikan, inklusi, kesejahteraan yang sehat dan produktif terganggu (StopHazing 2020). Riset dari StopHazing Research Lab. memaparkan bahwa hilangnya rasa aman dapat mengancam kesehatan fisik dan mental, hingga kematian.
Terakhir, perpeloncoan merupakan produk dari toksik maskulinitas. Tuntunan untuk menjadi kuat di setiap keadaan, tidak berekspresif, dan memiliki mental dan fisik sekuat baja merupakan skenario buatan yang direpresentasikan dalam penyambutan mahasiswa/i baru. Menurut studi dari Schiffer et. al. (2022), perpeloncoan memiliki dampak pada keyakinan maskulinitas individu sebagai reputasi sosial mereka. Dengan demikian, mengapa perpeloncoan sebagian besar dikoordinasi para laki-laki.

Perlunya Ruang Pendidikan yang Aman

Ruang pendidikan yang aman dari kekerasan fisik dan verbal, hingga seksual masih jauh dari kata terealisasi. Transisi untuk terciptanya ruang aman di pendidikan memerlukan waktu. Kesadaran diri sendiri yang diiringi dengan kebijakan yang mendukung akan membantu terciptanya ruang aman tersebut. Salah satunya adalah payung hukum yang membahas kekerasan di dalam pendidikan dan upaya preventif internal.
ADVERTISEMENT
Konteks payung hukum di Indonesia yang membahas perpeloncoan telah diatur melalui Permendikbud No. 82 Tahun 2015 yang mengatur sanksi terhadap pelaku kekerasan, atau satuan pendidik dan kepala sekolah, jika masih terjadi praktik tersebut di suatu institusi. Tidak hanya itu, Permendibud No. 18 Tahun 2016 tentang masa orientasi bagi siswa baru telah mengatur larangan tindakan perpeloncoan. Selain kekerasan fisik dan verbal, Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasaan seksual. Artinya, secara hukum, kegiatan perpeloncoan telah dilarang oleh pemerintah. Dengan adanya payung hukum tersebut, pemerintah telah berupaya menciptakan ruang pendidikan yang aman.
Selain itu, jika menggunakan upaya untuk menciptakan ruang aman dan preventif, gerakan #beranibersuara #Menolakdiam adalah cara yang efektif untuk mengungkap isu ketika terjadi perpeloncoan/perundungan. Ditambah, institusi/fakultas memberikan hotline khusus untuk melapor perundungan dengan merahasiakan korban. Dengan demikian, upaya tersebut cukup efektif dalam merangkul korban kekerasan untuk berani bersuara dan terciptanya ruang aman dari berbagai kekerasan dalam pendidikan di Indonesia.
ADVERTISEMENT

Sumber:

Dzufikar, Luthfi T. 2019. Indonesia bisa mengakhiri ospek yang kejam dengan menghapus mental semi-militer dari sistem pendidikan. Diakses pada https://theconversation.com/indonesia-bisa-mengakhiri-ospek-yang-kejam-dengan-menghapus-mental-semi-militer-dari-sistem-pendidikan-124705
Isnaeni, Hendri F. 2015. Kisah Plonco Sejak Zaman Londo. Diakses pada https://historia.id/kultur/articles/kisah-plonco-sejak-zaman-londo-P9j8l/page/1
Jayani, Dwi Hadya. 2019. PISA: Murid Korban “Bully” di Indonesia Tertinggi Kelima di Dunia. Diakses pada https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/12/12/pisa-murid-korban-bully-di-indonesia-tertinggi-kelima-di-dunia
Koentjaraningrat. 1976. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Djambatan
Lipskin, S. 2006. Menumpas Kekerasan Pelajar dan Mahasiswa Menghentikan Perpeloncoan Di Sekolah / Kampus. Tangerang: Inspirita Publishing.
Noviana, Anys. 2010. OSPEK dan Fenomena Kekerasan (Studi Fenomenologi Tentang Pelaksanaan Ospek Pada Mahasiswa FKIP UNS Tahun Ajaran 2008/2009). Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Nurfuadah, Rifa Nadia. 2015. Maba FT Unila Dipukul dan Diinjak dalam Ospek. Diakses pada https://news.okezone.com/read/2014/09/12/373/1038323/maba-ft-unila-dipukul-dan-diinjak-dalam-ospek
ADVERTISEMENT
Pasabuan, Isak. 2022. Mahasiswi Makassar Meninggal Saat Ikut Pengkaderan, Polisi Selidiki. Diakses pada https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/d-6196217/mahasiswi-makassar-meninggal-saat-ikut-pengkaderan-polisi-selidiki
Schiffer, Ashley A., Julia Romo-Figueroa, Tiffany J. Lawless, Tucker L. Jones, Amanda L. Martens, dan Donald A. Saucier. 2022."Group bonding or hazing?: The effects of masculine honor beliefs on perceptions of undergraduate hazing." Volume 186, Part A: 111331. ISSN 0191-8869. https://doi.org/10.1016/j.paid.2021.111331.
StopHazing Research Lab. (2020). Hazing: The Issue, StopHazing Consulting. https://www.stophazing.org/issue
Utomo, Ario Budi. 2023. 4 Fakta Bagaimana Perpeloncoan Menyabotase Pendidikan Kita. Diakses melalui https://theconversation.com/4-fakta-bagaimana-perpeloncoan-menyabotase-pendidikan-kita-211505