Konten dari Pengguna

KPU Jalan Sendiri Entah ke Mana, Jangan Dulu Bicara Pemilu 2024 yang Substantif!

Fauziah Hanifah
Koordinator Wilayah DEEP Indonesia Provinsi Jawa Barat
25 Mei 2023 12:27 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fauziah Hanifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hari terakhir penutupan penyerahan berkas di KPU Jawa Barat. Foto: dok. pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Hari terakhir penutupan penyerahan berkas di KPU Jawa Barat. Foto: dok. pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mengutip perbincangan antara Prof Mahfud dan Mas Rocky dalam salah satu kanal YouTube, bahwa pemilu 2024 tidak akan terjadi pemilu yang substantif tapi hanya akan terjadi secara admnistratif.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut ditunjukkan dari proses dan tahapan pemilu yang mulai berlangsung. Pemilu yang substantif secara filosofis memiliki relasi kuasa yang berdasar pada nilai kebijaksanaan dan senantiasa berpijak ide keberpihakan. Dalam konteks keberpihakan di sini yaitu massa rakyat.
Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat adalah "Suara Tuhan"), tidak bermaksud untuk mendegradasi konsep keagamaan dengan menempatkan kesejajaran antara suara rakyat dengan konsep ketuhanan.
Akan tetapi, ini merupakan implikasi dari sakralnya kehendak masa rakyat untuk kemudian menjadi keputusan publik, karena pada dasarnya hal ini merupakan gagasan politik hukum yang dianut oleh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Indonesia sebagai rechstaat/negara hukum diperjelas melalui perubahan ketiga Tahun 2021 UUD 1945 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
ADVERTISEMENT
Begitupun dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar", yang berarti bahwa indonesia secara politik menganut konsep demokrasi dan sudah semestinya seluruh public policy ataupun proses pemilu harus didemokratisasi.
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
Kembali pada pembahasan awal terkait pemilu 2024, kemudian saya sebagai penulis meminta masyarakat umum untuk kembali merefleksikan makna demokrasi dan pemilu yang saat ini tahapannya sedang berlangsung.
Jangan dulu bicara cita-cita kemerdekaan melalui proses bernegara yang demokratis, berharap mewujudkan bangsa yang cerdas melalui kemudahan atas akses pendidikan murah berkualitas, ekonomi makmur sejahtera.
Atau bahkan bercita-cita membangun pemilu 2024 yang substantif untuk menciptakan pemimpin yang sehat, berkualitas, aspiratif dan mampu meleburkan diri terhadap masyarakat untuk kemudian menjadi produsen kebijakan yang pro terhadap masyarakat, bahwa pada kenyataannya pelaksanaan pemilu secara administratif sampai sejauh ini masih dianggap cacat.
ADVERTISEMENT
Pasalnya untuk membangun pemilu yang substantif, diperlukan prinsip check and ballance baik masyarakat terhadap penyelenggara pemilu, ataupun antara sesama penyelenggara pemilu dalam hal ini yaitu KPU dan Bawaslu atau bahkan pemantau pemilu sebagai bagian dari masyarakat sipil yang terorganisasikan dan independen (di luar dari struktur pemerintah).
Absurdnya pelaksanaan pemilu dari banyak aspek, pertama tentang metode pendaftaran yang bimbang antara semangat KPU untuk digitalisasi proses pendaftaran untuk memudahkan, akan tetapi kenyataannya malah merepotkan dan lagi-lagi kembali mengacu pada berkas fisik yang didaftarkan secara offline.
Mungkin perumpamaannya seperti kita melakukan fotocopy KTP elektronik, sudah jelas E-KTP didesain untuk terintegrasi dengan teknologi untuk mengindentifikasi kewarganegaraannya. Agak jokes memang.
Ilustrasi KPU. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Kesimpulannya, kita masih gagap dalam mengakselarasikan percepatan arus teknologi pada seluruh aspek kehidupan khususnya dalam proses pemilu kali ini. Persoalan ini tidak dimaksudkan pada satu proses saja seperti coklit yang menggunakan aplikasi mentah yakni E-Coklit, tapi juga SILON sebagai mekanisme pokok dalam proses pendaftaran peserta pemilu yang tegas dijelaskan dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Hal ini harus dipatuhi oleh semua unsur sebagai komitmen berbangsa dan bernegara bahwa indonesia adalah negara hukum dan kita harus tunduk dan patuh terhadap regulasi yang berlaku dan tidak perlu melakukan tambal sulam peraturan melalui KPT empat tujuh sekian atau apalah.
Kedua, prinsip check and ballance tidak terjadi dalam proses pemilu kali ini. Penulis menilai bahwa pelaksanaan pemilu kali ini dianggap pincang. KPU sebagai pelaksana teknis cenderung asyik menjalani semua proses yang pastinya mengeklaim bahwa keseluruhan mekanisme dan tahapan dianggap sudah sesuai dengan PKPU.
Sementara itu, Bawaslu "asyik ngopi" menunggu respons yang tak kunjung hadir dan menjawab hak Bawaslu atas pengawasan terhadap peserta dan pelaksana pemilu.
Kalau kemudian dasar pelaksanaan Pemilu kali ini menggunakan PKPU No. 10 Tahun 2023, maka unsur teknis, mekanisme, dan pelaksanaan yang terkandung dalam regulasi tersebut sudah seharusnya dilakukan proses pengawasan dalam rangka menjunjung prinsip check and ballance bukan untuk membangun hierarki atau superioritas struktur.
ADVERTISEMENT
Bawaslu seharusnya berperan massif untuk melakukan pengawasan pemilu dari dalam dan luar agar keseluruhan prosesnya sesuai dengan regulasi yang berlaku. Lucunya hak akses Bawaslu terhadap data primer dari peserta pemilu sangat dibatasi, dengan dalih bahwa ada data private, dan KPU Memiliki hak untuk melakukan perlindungan atas data private tiap tiap peserta pemilu.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja memberikan sambutan pada acara Siaga Pengawasan Satu Tahun Menuju Pemilu 2024 di Gedung Bawaslu, Jakarta, Selasa (14/1). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Kalaupun demikian penulis menyarankan agar Bawaslu dibubarkan saja secara institusional, sebab tugas pengawasan sudah dipangkas dan barangkali akan dilakukan juga oleh KPU untuk memverifikasi kesesuaian proses dan tahapan serta kesesuaian prasyarat dan kepatuhan parpol hingga KPU sendiri terhadap PKPU dengan memungkinkannya dilegitimasi sendiri melalui pembuatan KPT Jilid sekian.
Jadi dalam prinsip check and ballance, publik juga memiliki hak untuk memberikan kritik dan saran, begitupun dengan pemantau pemilu. jangankan masyarakat, Bawaslu sendiri kesulitan mengawasi tiap tahapan dan juga peserta pemilu karena KPU menutup rapat akses informasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Penulis menyarankan kepada KPU untuk mengkaji ulang terkait Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 terkait perlindungan data pribadi, agar tidak salah kaprah dan mengecualikan Bawaslu untuk menjadi prosesor data pribadi dara tiap tiap peserta pemilu.
Sekilas, UU Nomor 27 Tahun 2022 ini berasaskan perlindungan, kepastian hukum, kepentingan umum, kemanfaatan, kehati-hatian, keseimbangan, pertanggungjawaban dan kerahasiaan. selanjutnya dalam pasal 19, pengendali data pribadi atau prosesor data meliputi salah satunya adalah badan publik.
Lantas sesuperior apakah KPU dalam hal menjadi prosesor dan pengendali data pribadi ? Bukankah Bawaslu, Dinas Kependudukan, Lembaga Kementerian, Kedinasan, dan lembaga pemerintahan lainnya juga merupakan badan publik?
Ilustrasi KPU. Foto: Shutterstock
Dan tentunya permintaan akses atas data pribadi oleh Bawaslu bertujuan untuk kepentingan umum, memberikan kepastian hukum, kemanfaatan, kehati-hatian dan keseimbangan.
ADVERTISEMENT
Penulis yakin bahwa KPU dan Bawaslu merupakan lembaga yang berintegritas dan mampu menjaga kerahasiaan data tersebut agar tidak jatuh kepada pihak yang tidak bertanggung jawab atau pihak yang tidak dibenarkan secara hukum khususnya yang mengacu pada UU Perlindungan data pribadi.
Kalau hanya KPU yang memiliki kebolehan melakukan perlindungan data pribadi, maka bagaimana dengan organisasi non-pemerintahan misalnya melakukan pemrosesan data pribadi, seperti partai politik yang secara kolektif kemudian mengirimkan kepada KPU?
Ya, bahwa itu sudah menjadi mekanisme yang sah diatur dalam PKPU, akan tetapi apa dasar hukum yang tidak membolehkan Bawaslu untuk turut menjadi prosesor data peserta pemilu?
Seperti istilah latin dalam dunia hukum yang menyatakan bahwa nulla poena sine lege "tidak ada hukuman tanpa hukum" artinya tidak ada hal yang dilarang sampai ada hukum atau aturan yang mengatur terkait tidak diizinkannya Bawaslu untuk menjadi prosesor data pribadi selain KPU misalnya.
ADVERTISEMENT
Potensi ketidakpatuhan perseorangan atau Parpol dalam kontestasi pemilu legislatif sangat terbuka lebar apabila tidak ada prinsip check and ballance, sudah tentu tidak mungkin ada keseimbangan dalam proses pemilu yang berlangsung di tahun 2024.
Ilustrasi KPU. Foto: Embong Salampessy/ANTARA
Seperti contoh, DEEP Jabar sebagai pemantau pemilu mendapatkan temuan ada bakal calon anggota legislatif dari salah satu partai yang tidak masuk kriteria dalam Pasal 11 Ayat (1) huruf g.
Hal demikian menjadi salah satu contoh sudah adanya pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh peserta pemilu, sehingga dalam hal ini DEEP Jabar tidak memiliki kewenangan untuk memproses lebih lanjut terkait adanya pelanggaran tersebut.
Hanya saja akan lebih elok dan progresif apabila proses pengawasan tersebut dan pemrosesan data dilakukan secara bersamaan dengan dasar tugas dan kewajiban masing masing penyelenggara Pemilu yaitu dalam hal ini adalah KPU dan Bawaslu.
ADVERTISEMENT
Sebagai catatan penulis yang mewakili Koordinator Wilayah DEEP Indonesia Provinsi Jawa Barat, ertama, KPU harus lebih berintegritas, tegas dan patuh pada ketetapan yang sudah diatur dalam PKPU, dan tidak linglung dalam menentukan acuan pokok yang menjadi dasar terdaftarnya bakal calon peserta pemilu. apakah instrumen digital atau offline (berkas fisik).
Kedua, agar tidak sewenang wenang menjadi prosesor data sehingga membatasi Bawaslu untuk turut mengakses data peserta pemilu tanpa dasar hukum yang jelas. padahal keduanya sama sama badan publik yang bertujuan melayani masyarakat dan memiliki visi yang sama untuk mewujudkan pemilu 2024 yang berintegritas dan substantif.