news-card-video
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Adaptasi Strategis Jepang Dalam Kemitraan Mekong Setelah Kudeta Militer Myanmar

Fauzia Latifah Aini
Mahasiswa jurusan Ilmu Hubungan Internasional,Universitas Sriwijaya, memiliki minat kepenulisan pada topik-topik pengembangan diri,isu-isu dalam dan luar negeri,berkaitan dengan politik sosial, sangat tertarik pada isu-isu gender
9 Maret 2025 13:01 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fauzia Latifah Aini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Negara-negara di kawasan Mekong (sumber: www.freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Negara-negara di kawasan Mekong (sumber: www.freepik.com)
ADVERTISEMENT
Wilayah Mekong, yang mencakup negara-negara seperti Myanmar, Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam, memiliki hubungan politik dan ekonomi yang saling terkait. Myanmar, sebagai salah satu negara utama di kawasan ini, sebelumnya berada pada jalur transisi menuju demokrasi setelah bertahun-tahun berada di bawah pemerintahan militer yang sangat otoriter. Namun, peristiwa Kudeta Myanmar yang terjadi pada Februari 2021 menghancurkan proses tersebut, memulihkan kembali kendali militer di negara ini dan menciptakan ketidakpastian besar di seluruh kawasan Mekong. Sebagai negara yang memiliki hubungan Politik dan Ekonomi yang erat dengan Myanmar, perubahan dramatis ini tidak hanya merusak stabilitas dalam negeri Myanmar, tetapi juga memberikan dampak besar pada hubungan internasional di kawasan ini, mempengaruhi perdagangan, investasi, dan hubungan diplomatik antarnegara Mekong.
ADVERTISEMENT
Ketegangan yang timbul akibat kudeta ini memaksa negara-negara di luar kawasan Mekong untuk merespons dengan hati-hati dan terukur, karena ketidakstabilan yang meningkat di Myanmar berisiko mempengaruhi stabilitas politik dan ekonomi kawasan yang lebih luas, termasuk perdagangan internasional, hubungan diplomatik, dan jalur pasokan yang vital bagi negara-negara tetangga. Dalam konteks ini, Jepang sebagai mitra strategis utama bagi negara-negara Mekong, turut merasakan dampak signifikan. Tidak hanya mengganggu stabilitas regional tetapi juga menantang kebijakan luar negeri Jepang yang selama ini berfokus pada pembangunan dan demokratisasi di Asia Tenggara. Perubahan mendalam dalam struktur politik Myanmar memaksa Jepang untuk menyesuaikan strategi diplomatik dan ekonominya agar tetap mempertahankan hubungan baik dengan negara-negara Mekong, sambil menanggapi situasi baru yang kompleks ini. Tulisan ini ditujukan untuk menganalisis bagaimana Jepang mengadaptasi strateginya dalam mempertahankan kemitraan ekonomi-politik di kawasan Mekong pasca-kudeta Myanmar.
ADVERTISEMENT

Analisis Adaptasi Strategis Jepang

Jepang menghadapi dilema serius dalam merespons kudeta militer yang terjadi di Myanmar pada Februari 2021, karena negara ini memiliki hubungan yang erat dengan Myanmar baik secara ekonomi maupun strategis. Setelah kudeta, Jepang memilih untuk berhati-hati dalam tindakannya, dengan mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan pada proyek bantuan dan investasi yang sudah berjalan. Pada bulan Maret 2021, Jepang tetap memutuskan untuk menjalankan bantuan inisiatif Official Development Assistance (ODA) ke Myanmar, karna jika diputus begitu saja maka bagi Myanmar ini akan menjadi masalah yang serius. Baru- baru ini ada sekitar 11.500 petisi untuk menghentikan pemerintah Jepang karna masih saja memberikan bantuan ke Myanmar dan diinisiasi bahwa kudeta militer disana mendapat dukungan dari Jepang.
ADVERTISEMENT
Untuk menangguhkan bantuan non kemanusiaan kepada Myanmar sebagai bentuk reaksi terhadap situasi yang berkembang, Jepang belum memberikan respon yang tegas dan tidak mengambil langkah sanksi langsung terhadap pemimpin militer yang terlibat. Jepang juga khawatir bahwa jika mereka terlalu keras menanggapi situasi ini, hal tersebut bisa mendorong Myanmar untuk semakin mendekat dengan China, yang bisa memperbesar pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara. Mengingat hal ini, Jepang memilih untuk menekankan pendekatan diplomatik, berusaha untuk meyakinkan pihak militer Myanmar agar kembali ke pemerintahan demokratis tanpa merusak hubungan bilateral yang telah dibangun selama ini. Pendekatan hati-hati yang diambil Jepang mencerminkan usaha mereka untuk menyeimbangkan antara mendukung nilai-nilai demokrasi dengan kepentingan strategis yang lebih luas di kawasan Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
Jepang masih berupaya menjaga hubungan yang baik dengan Myanmar sambil mendorong kembalinya demokrasi di negara tersebut. Hal ini terlihat sejak kudeta militer terjadi pada tahun 2021, survei yang dilakukan Januari 2022 mengungkapkan bahwa 70% perusahaan Jepang masih berencana untuk mempertahankan perusahaan mereka tetap beroperasi disana (KYODO NEWS, 2022). Tak luput juga bagaimana Jepang juga ikut berkolaborasi untuk menyelesaikan kasus ini seperti Jepang dengan ASEAN yang mempromosikan konsensus lima poin, yang menguraikan langkah-langkah seperti penghentian segera kekerasan, dialog konstruktif di antara semua pihak, penunjukan utusan khusus ASEAN, penyediaan bantuan kemanusiaan, dan kunjungan oleh ketua ASEAN (Joint Statement on the Situation in Myanmar | Permanent Mission of Japan to the United Nations, n.d.).
ADVERTISEMENT
Respon Jepang terhadap kudeta militer Myanmar sebagai bentuk adaptasi strategis ini dapat dipahami lebih dalam dengan menggunakan teori sekuritisasi dalam hubungan internasional. Teori ini, yang dikembangkan oleh Sekolah Kopenhagen, berfokus pada bagaimana isu-isu tertentu dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan oleh aktor negara, yang kemudian melibatkan respons luar biasa untuk menghadapinya. Dalam konteks ini, Jepang memandang ketidakstabilan di Myanmar bukan hanya sebagai masalah politik domestik, tetapi sebagai ancaman terhadap keamanan regional yang lebih luas (Balzacq et al., 2015b).
Jepang, sebagai negara yang memiliki kepentingan besar dalam stabilitas kawasan Asia Tenggara, terutama dalam hal perdagangan dan hubungan diplomatik, melihat kudeta militer di Myanmar sebagai ancaman terhadap keamanan ekonomi dan politik di kawasan Mekong. Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kudeta ini dapat mengganggu jalur pasokan yang vital bagi Jepang, baik dari sisi ekonomi maupun keamanan. Sebagai contoh, ketegangan politik dan sosial di Myanmar dapat mengganggu arus perdagangan dan investasi yang penting bagi negara-negara tetangga di kawasan tersebut, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi Jepang yang memiliki hubungan dagang erat dengan negara-negara Mekong.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif sekuritisasi, Jepang merespons ketidakstabilan di Myanmar dengan kebijakan yang mengedepankan diplomasi dan persuasi, bukannya tindakan yang lebih agresif seperti sanksi. Dalam hal ini, Jepang berusaha untuk "menyecuritaskan" isu ini dengan menjadikan ketidakstabilan di Myanmar sebagai ancaman terhadap stabilitas regional yang harus dihadapi dengan cara-cara yang lebih konstruktif, tanpa memicu konflik yang lebih besar. Pendekatan ini bertujuan untuk menjaga agar Myanmar tetap terhubung dengan komunitas internasional, terutama dengan menghindari langkah-langkah yang bisa mendorong negara tersebut semakin mendekat dengan China, yang bisa memperburuk ketegangan di kawasan tersebut.
Jepang, dengan menggunakan diplomasi dan bantuan pembangunan, mencoba untuk menyaring ancaman tersebut dan menjadikannya sebagai isu yang dapat dikelola, bukan hanya dengan sekadar membatasi atau menghukum pihak yang bertanggung jawab atas kudeta. Melalui pendekatan ini, Jepang tidak hanya berusaha mengurangi dampak ketidakstabilan di Myanmar terhadap dirinya sendiri, tetapi juga berupaya untuk mempertahankan posisi strategisnya di kawasan Mekong yang penting.
ADVERTISEMENT
Respon Jepang terhadap kudeta militer Myanmar pada Februari 2021 dapat dianalisis melalui teori sekuritisasi, yang membantu menjelaskan bagaimana Jepang memandang situasi tersebut sebagai ancaman terhadap keamanan regional dan strateginya di Asia Tenggara. Berikut adalah poin-poin penting dari analisis ini:
1. Identifikasi Ancaman: Jepang menganggap kudeta militer Myanmar sebagai ancaman terhadap stabilitas politik dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Ketidakstabilan di Myanmar berpotensi mengganggu jalur perdagangan penting dan mempengaruhi hubungan diplomatik Jepang dengan negara-negara di kawasan Mekong lainnya.
2. Respon Diplomatik: Sebagai respons terhadap situasi tersebut, Jepang memilih pendekatan diplomatik. Pemerintah Jepang menyatakan keprihatinan atas perkembangan di Myanmar dan mendesak pemulihan demokrasi serta pembebasan pemimpin politik yang ditahan. Namun, Jepang juga berhati-hati dalam tindakannya untuk menghindari mendorong Myanmar lebih dekat ke China.
ADVERTISEMENT
3. Pertimbangan Ekonomi dan Strategis: Jepang mempertahankan hubungan ekonomi dengan Myanmar melalui bantuan pembangunan dan investasi. Pendekatan ini bertujuan untuk menjaga pengaruh Jepang di kawasan tersebut dan mencegah peningkatan pengaruh China yang dapat merugikan kepentingan strategis Jepang.
4. Keterlibatan dalam Forum Internasional: Jepang aktif terlibat dalam forum internasional, termasuk seperti ASEAN , untuk mencari solusi damai bagi krisis di Myanmar. Jepang mendukung upaya diplomatik yang menekankan pentingnya dialog dan penyelesaian damai, sesuai dengan prinsip-prinsip sekuritisasi yang menekankan kolaborasi multilateral dalam mengatasi ancaman keamanan.
Melalui lensa teori sekuritisasi, dapat dilihat bahwa Jepang mengelola responsnya terhadap kudeta militer Myanmar dengan menyeimbangkan antara kepentingan keamanan, ekonomi, dan diplomatik. Pendekatan ini mencerminkan strategi Jepang dalam menghadapi situasi yang dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas regional dan kepentingan nasionalnya. Jepang menghadapi dilema dalam menanggapi kudeta militer Myanmar pada Februari 2021, mengingat hubungan ekonomi dan strategis yang telah lama terjalin. Pendekatan diplomatik yang diambil Jepang, termasuk menghindari sanksi langsung, mencerminkan upaya untuk menjaga keseimbangan antara nilai-nilai demokrasi dan kepentingan strategis di Asia Tenggara. Jepang menganggap ketidakstabilan di Myanmar sebagai ancaman terhadap keamanan regional dan ekonominya, sehingga respons yang hati-hati dan terukur dipilih untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan.
ADVERTISEMENT
Referensi
Balzacq, T., Léonard, S., & Ruzicka, J. (2015). ‘Securitization’ revisited: theory and cases. International Relations, 30(4), 494–531. https://doi.org/10.1177/0047117815596590
Kistanov, V. O. (2024). Japan’s relations with Myanmar: Subtle politics or just business? Japanese Studies in Russia, 4, 117–132. https://doi.org/10.55105/2500-2872-2023-4-117-132
KYODO NEWS. (2022, January 10). 70% of Japan firms keep, expand business in Myanmar even after coup. Kyodo News+. https://english.kyodonews.net/news/2022/01/7e3de89004f5-70-of-japan-firms-keep-expand-business-in-myanmar-even-after-coup.html
Kurlantzick, J. (2021, February 12). The regional implications of Myanmar’s coup. Council on Foreign Relations. https://www.cfr.org/article/regional-implications-myanmars-coup
Ogasawara, T. (2015). Development of the Mekong region as part of Japan’s diplomatic strategy for East Asia. Asia-Pacific Review, 22(1), 34–45. https://doi.org/10.1080/13439006.2015.1038889