Konten dari Pengguna

Kabinet Gemoy: Apakah Ini Resep Sukses atau Hanya Bumbu Kacang?

Favian 'Azmi
Saya merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya.
15 Oktober 2024 11:01 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Favian 'Azmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Prabowo dan Gibran berangkat ke KPU untuk melakukan pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. (sc: shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo dan Gibran berangkat ke KPU untuk melakukan pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. (sc: shutterstock)
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa minggu terakhir, wacana mengenai penyusunan kabinet baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dan wakilnya, Gibran Rakabuming Raka, telah menjadi topik hangat di berbagai media dan percakapan publik. Pemerintahan baru ini memikul harapan besar masyarakat, sekaligus tantangan yang tidak ringan. Mulai dari isu ekonomi yang masih tertekan, masalah ketahanan pangan, hingga kebutuhan akan perubahan struktural di birokrasi pemerintahan. Namun, yang menjadi sorotan utama bukan hanya program-program prioritas, melainkan juga bagaimana kabinet ini akan dibentuk. Apakah kabinet ini akan menjadi “gemoy” alias menarik secara simbolis, atau justru akan menjadi ladang bagi-bagi kekuasaan antara partai-partai politik pendukung?
ADVERTISEMENT

Jumlah Kementerian yang Membengkak: Efisiensi atau Bumbu Kosong?

Salah satu topik yang paling banyak dibicarakan adalah rencana Prabowo untuk membentuk 44 kementerian dalam kabinetnya. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan kabinet Jokowi yang memiliki 34 kementerian. Pertanyaannya, apakah pembentukan kementerian ini benar-benar langkah strategis untuk mempercepat implementasi program-program prioritas, atau sekadar langkah akomodatif untuk memenuhi janji-janji politik kepada partai koalisi?
Banyak pihak yang meragukan efisiensi dari penambahan jumlah kementerian ini. Dalam dunia birokrasi, lebih banyak kementerian tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan efektivitas kerja pemerintah. Bahkan, ada kekhawatiran bahwa kabinet yang “gemuk” ini justru akan memperlambat proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan. Penambahan pos-pos kementerian sering kali diartikan sebagai upaya "membagi kue" kekuasaan, terutama ketika partai-partai politik yang tergabung dalam koalisi memiliki kepentingan masing-masing untuk mendapatkan jatah menteri. Jika ini benar, kabinet gemoy ini bisa jadi hanyalah “bumbu kacang” yang tidak memiliki substansi kuat dalam mempercepat agenda reformasi nasional.
ADVERTISEMENT
Namun, di sisi lain, ada juga pandangan bahwa pembentukan lebih banyak kementerian dapat meningkatkan efisiensi dalam mengatasi masalah-masalah spesifik yang dihadapi bangsa. Beberapa kementerian baru yang diusulkan, seperti kementerian yang berfokus pada investasi dan hilirisasi industri, diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan mempercepat pencapaian swasembada pangan. Akan tetapi, harapan ini hanya bisa tercapai jika kementerian tersebut dipimpin oleh orang-orang yang kompeten dan memiliki visi yang jelas, bukan sekadar ditempati oleh politisi yang mengejar jabatan.

Politik Akomodatif: Apakah Semua Partai Harus Diberi Kursi?

Politik akomodatif yang direncanakan Prabowo juga menuai pro dan kontra. Prabowo tampaknya berniat untuk mengakomodasi kepentingan semua partai politik yang mendukungnya selama Pilpres 2024. Ini tentu menjadi kabar baik bagi partai-partai yang berharap mendapat jatah kursi di kabinet. Namun, strategi ini memiliki risiko besar, yaitu hilangnya oposisi yang kuat di parlemen.
ADVERTISEMENT
Keberadaan oposisi dalam sistem demokrasi yang sehat sangat penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan. Oposisi yang kuat dan loyal mampu menjadi penyeimbang bagi pemerintah dalam setiap kebijakan yang diambil. Tanpa adanya oposisi yang efektif, pemerintahan cenderung berjalan tanpa pengawasan yang memadai, yang bisa berujung pada pengambilan keputusan yang kurang optimal atau bahkan korupsi. Ketika partai-partai politik besar semuanya diakomodasi dalam kabinet, pemerintahan bisa kehilangan mekanisme check and balance yang sangat diperlukan.
Dalam konteks ini, Prabowo menghadapi dilema. Di satu sisi, ia perlu membangun koalisi yang solid untuk menjalankan pemerintahannya dengan stabil. Namun, di sisi lain, mengakomodasi terlalu banyak partai dalam kabinet bisa menimbulkan kesan bahwa pemerintahannya hanyalah ajang bagi-bagi kekuasaan, dan bukan pemerintahan yang benar-benar fokus pada perubahan dan reformasi.
ADVERTISEMENT

Teknokrat atau Politisi: Siapa yang Lebih Penting?

Salah satu pertanyaan besar dalam penyusunan kabinet ini adalah, siapa yang akan diangkat sebagai menteri? Apakah Prabowo akan memilih teknokrat atau ahli yang memiliki keahlian di bidangnya, atau justru akan mengakomodasi politisi-partai yang sering kali kurang kapabel dalam menjalankan tugas kementerian? Kabinet "zaken", atau kabinet yang diisi oleh teknokrat, adalah salah satu harapan publik untuk mendorong efisiensi dan reformasi di pemerintahan.
Namun, realitas politik sering kali berbeda. Partai-partai politik yang telah mendukung Prabowo tentu menginginkan imbalan berupa jabatan menteri. Mereka ingin memanfaatkan posisi tersebut untuk memperkuat pengaruh politik dan juga menyiapkan panggung bagi pemilu-pemilu berikutnya. Inilah salah satu tantangan terbesar yang akan dihadapi oleh Prabowo: menyeimbangkan antara kebutuhan politik dan tuntutan publik akan kabinet yang kompeten.
ADVERTISEMENT
Jika kabinet ini dipenuhi oleh politisi yang tidak memiliki keahlian yang relevan, maka dikhawatirkan program-program prioritas yang dijanjikan tidak akan bisa dilaksanakan dengan baik. Pembangunan infrastruktur, peningkatan investasi, dan reformasi birokrasi, semua membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan berbasis pada kompetensi, bukan sekadar afiliasi politik. Jadi, pilihan yang diambil Prabowo dalam hal ini akan sangat menentukan masa depan pemerintahannya.

Pengaruh Jokowi dan Peran Gibran: Siapa yang Memegang Kendali?

Selain pembicaraan tentang teknokrat dan politisi, ada juga spekulasi mengenai seberapa besar pengaruh mantan presiden Jokowi dalam penyusunan kabinet ini. Sebagai presiden dua periode yang memiliki banyak pendukung, Jokowi dipandang masih memiliki pengaruh besar di panggung politik nasional. Beberapa kabar menyebutkan bahwa Jokowi mungkin "menitipkan" beberapa nama untuk dimasukkan ke dalam kabinet Prabowo. Apakah Prabowo akan mengakomodasi keinginan Jokowi atau justru mengambil langkah berbeda, menjadi salah satu hal yang dinantikan publik.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, ada juga peran Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan wakil presiden terpilih. Sebagai sosok yang masih relatif baru di kancah politik nasional, peran Gibran dalam penyusunan kabinet ini masih menjadi tanda tanya. Apakah Gibran akan terlibat aktif dalam menentukan arah kebijakan, atau justru hanya menjadi simbol tanpa pengaruh besar? Publik tentu berharap bahwa Gibran, meskipun baru, bisa membawa nuansa segar dalam pemerintahan dan turut memberikan kontribusi penting dalam pembangunan bangsa.

Pemisahan Kementerian: Efisiensi atau Tambal Sulam?

Selain soal siapa yang akan duduk di kabinet, isu lain yang menarik perhatian adalah rencana untuk memisahkan beberapa kementerian yang ada. Misalnya, Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan yang akan dipecah menjadi dua, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang juga direncanakan dipisah menjadi kementerian yang lebih spesifik. Ide di balik pemisahan ini adalah untuk meningkatkan efisiensi kerja pemerintah, namun skeptisisme tetap ada.
ADVERTISEMENT
Banyak yang khawatir bahwa pemisahan kementerian ini hanya akan menambah jumlah kursi yang bisa dibagikan kepada partai koalisi, tanpa benar-benar memberikan dampak positif bagi kinerja pemerintah. Jika kementerian-kementerian ini diisi oleh orang-orang yang tidak kapabel atau sekadar ditempatkan untuk memenuhi kepentingan politik, maka pemisahan ini hanya akan menjadi bumbu tambahan tanpa rasa yang nyata.

Kesimpulan: Kabinet Gemoy atau Kabinet Efektif?

Pada akhirnya, penyusunan kabinet Prabowo-Gibran ini menjadi ujian besar bagi kemampuan Prabowo untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan politik dengan kebutuhan akan pemerintahan yang efektif dan kompeten. Kabinet gemoy ini bisa saja terlihat menarik secara simbolis, dengan jumlah kementerian yang banyak dan partisipasi dari berbagai partai politik. Namun, apakah kabinet ini akan benar-benar efektif dalam menjalankan program-program prioritas yang dijanjikan, masih menjadi pertanyaan besar.
ADVERTISEMENT
Sebagai masyarakat, kita berharap agar kabinet yang terbentuk tidak hanya menjadi sekadar “bumbu kacang” untuk memuaskan berbagai kepentingan politik, tetapi benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat dan kemajuan bangsa. Kabinet yang dipimpin oleh orang-orang kompeten, yang mampu merespons tantangan besar yang dihadapi bangsa ini, adalah kunci untuk memastikan pemerintahan Prabowo-Gibran berjalan efektif dan memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan rakyat.