Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten dari Pengguna
Cerpen : Menjaring Ikan di Darat
21 Maret 2022 17:20 WIB
Tulisan dari Fawaz Muhammad Sidiqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pahitnya kopi terasa manis bagi penikmatnya. Begitu juga, amisnya ikan justru tercium harum bagi nelayan. Bagaimana tidak, semakin banyak barang yang baunya amis itu tertangkap, maka semakin banyak juga uang yang bisa terkumpul.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, sekalipun seorang nelayan, Amin kini belum bisa mencium harumnya ikan. Bukan karena anosmia atau bahkan terkena Covid-19 yang sedang menggejala, Amin hanya sedang merasa kebingungan karena hasil tangkapannya terus menurun selama beberapa pekan belakangan.
Amin memang tidak sendiri, teman-teman sesama nelayan lainnya pun mengalami hal sama. Rencana pemerintah untuk menjadikan kota tempatnya tinggal dan berkehidupan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) jelas-jelas menjadi ancaman serius bagi kelimpahan sumberdaya hayati perikanan.
Apalagi, kegiatan reklamasi kian mengubah pantai menjadi tidak lagi alami. Dampaknya? Terjadi abrasi dan kenaikan air laut di daerah sekitar reklamasi. Mudahnya, liat saja betapa rumah-rumah warga pesisir semakin dekat antara lantai dan atapnya.
Namun, kali ini Amin benar-benar sedang merasa pusing. Pusing memikirkan pernyataan sang istri sesaat setelah uang hasil penjualan ikan hari itu diberikan.
ADVERTISEMENT
“Bulan depan Halim harus bayar kontrakan dan butuh uang jajan tambahan, Gina masih perlu membeli seragam baru untuk masuk SMA, Rini harus bayar uang pangkal, Mas”.
Ketiga anaknya memang masuk jenjang pendidikan baru secara bersamaan.
Halim, sekalipun dapat beasiswa bidikmisi, tetap butung uang karena uang beasiswa bulanan baru turun setelah kuliah dimulai.
Gina yang mau masuk SMA harus beli seragam, beruntunglah sekolah yang akan dimasuki menerapkan sistem bayar semampunya.
Sedangkan Rini, nasibnya tidak semujur kedua kakaknya. Perubahan dalam skema anggaran negara, mengakibatkan subsidi pemerintah untuk biaya pendidikan mulai tahun ini dihentikan untuk semua jenjang, termasuk sekolah dasar. Alasannya? Pemerintah sedang merencanakan satu sistem pendidikan baru yang jauh berbeda dari sekolah yang berkembang selama ini.
ADVERTISEMENT
“Uang tabungan di bank sisa berapa?”
“Hanya cukup untuk cadangan uang makan satu bulan ke depan, Mas”
“Ya sudah, masih ada sebulan. Coba mas ikhtiar dulu ya” Ujar Amin sambil menyeruput kopi buatan istri-nya itu.
Sudah dua bulan ini, Amin sebenarnya terpikir untuk mencari pekerjaan baru di ibu kota provinsi tidak jauh dari kota tempatnya tinggal. Namun, pikiran itu selalu terkalahkan oleh dua alasan : dia hanya punya ijazah SMA dan tidak ada hal lain yang benar-benar Amin kuasai secara mendalam, selain menangkap ikan.
Ditambah lagi, Amin sama sekali belum pernah tinggal di luar daerah tempatnya tinggal dalam waktu lama. Meninggalkan keluarga, merupakan pilihan yang tidak memungkinkan. Apalagi belum tentu juga pekerjaan dan kehidupannya nanti lebih baik dari hari ini.
ADVERTISEMENT
“Ikan makin susah dicari, Dek. Kalau saja mas punya kapal yang lebih besar, mungkin hasilnya bisa lebih baik. Mas bisa nyari ikan lebih jauh”
“Aku berencana mau coba pinjem uang ke bank, mas. Kemarin ada sosialisasi terkait mekanisme peminjaman uang. Sebagiannya bisa digunakan untuk usaha bersama ibu-ibu yang lain, sebagiannya lagi bisa menambah untuk kebutuhan lain”
“Nanti buat bayar hutangnya dari mana?”
“Pas sosialisasi kemarin, kita juga dikasih penjelasan mengenai strategi pengembalian hutang, Mas.”
“Itu kan akal-akalan mereka aja. Ibarat orang diminta bolongin bajunya sendiri, habis itu diajarin cara jahitnya lagi, dengan alat dan teknik yang juga harus didapat dari mereka”
“Bisa jadi memang gitu, mas. Ya, aku juga bingung harus ngapain lagi. Mau jualan juga lagi ga punya modal”
ADVERTISEMENT
Bukan hanya sekali ini saja kegiatan sosialisasi seperti itu dilakukan. Intinya selalu sama, membantu memberdayakan para istri nelayan agar dapat lebih produktif dan menghasilkan uang selama di rumah.
Namun, kegiatan itu tidak pernah benar-benar selesai dilakukan dan diadakan pendampingan setelahnya. Jika dirasa cukup untuk mengisi laporan kegiatan bulanan atau tahunan lembaga, kegiatan semisal tersebut tidak lagi terdengar kabarnya. Dan ibu-ibu pun kembali beraktifitas seperti semula.
Setelah menghabiskan kopi yang sudah terasa dingin itu, Amin terpikir untuk datang dan meminta pandangan pak Usman, kiyai yang selalu mengisi pengajian bapak-bapak jama'ah masjid setiap malam senin. Bukan kebetulan, selain menyampaikan nasihat keagamaan, pak Usman memang getol menyampaikan pesan mengenai pentingnya pengaturan keuangan dan bagaimana mengisi waktu luang dengan berbagai kegiatan produktif.
ADVERTISEMENT
Amin teringat pesan pak Usman di salah satu pengajian.
“Kalau sudah terhimpit, manusia selalu berpikir untuk melakukan cara apa saja yang memungkinkan. Padahal, tidak jarang hal itu justru membuatnya semakin jauh dari solusi. Nah, bapak-bapak disini juga perlu berhati-hati, saat ini tersedia banyak jerat yang kalau tidak teliti seolah menawarkan jalan keluar dari masalah, padahal justru malah menambah masalah”
“Apakah pikirannya untuk mencari kerja di kota termasuk jerat yang pak Usman bilang? Lalu, apa solusi untuk masalah yang dihadapi saat ini agar tidak lantas menambah masalah baru?” Pertanyaan itu muncul di benak Amin tanpa mendapat jawaban memuaskan. Berhubung juga terdengar adzan Ashar berkumandang, Amin bergegas pergi ke masjid untuk bertanya kepada pak Usman setelah shalat dilakukan.
ADVERTISEMENT
“Memangnya kamu sudah punya rencana mau kerja dimana” tanya pak Usman kepada Amin
“Belum sih, tapi kemarin Gofar bilang ada lowongan buat jadi satpam di salah satu supermarket. Dan persyaratannya memang cukup lulusan SMA. Tapi belum tau juga berapa gaji dan biaya hidup yang dibutuhkan perbulannya”
“Nah, jangan sampai menukar satu ketidakpastian dengan ketidakpastian lain”
“Maksudnya, Pak?”
“Iya, tadi kamu bilang tangkapan ikan makin menurun dan tidak pasti kapan meningkatnya. Sedangkan rencana-mu untuk kerja di kota juga belum pasti dapetnya”
“Terus harus gimana ya, Pak?”
“Terkait uang untuk keperluan anak-anak mu sekolah, coba besok datang ke pak Jalal, juragan beras di kampung sebelah. Pak Jalal memang terkenal pilih-pilih kalau ngasih pinjaman, tapi sekalinya ngasih pinjaman, dia ngga minta ditambahin. Lagian, kamu kan punya alasan cukup kuat juga untuk pinjam"
ADVERTISEMENT
“Nah, kalau rencana mu nyari kerja lain. Saran bapak jangan dituruti. Coba cari cara lain biar tangkapannya lebih banyak, atau coba sebagian ikan yang ditangkap itu kamu olah dulu, biar harga jualnya lebih besar. Soalnya, Kalau saat ini kamu susah nyari ikan karena lautnya mulai rusak, di luar sana juga begitu. Malah, bisa jadi kamu nanti salah tangkap. Ngiranya nangkap ikan kerapu, padahal asilnya ikan buntal yang dihias jadi seperti ikan kerapu.”
Amin tertegun mendengar jawaban pak Usman. Bukan hanya tidak punya pengalaman, Amin memang merasa belum siap kalau tidak bekerja sebagai nelayan, setelah mendengar pesan dari pak Usman.
Dunia tempatnya tinggal hari ini memang membuat siapa saja terpikir untuk menanggalkan jati dirinya karena pertimbangan materi. Padahal, sebab hal itu jugalah kadar pencemaran lautan terus meningkat hasil dari limbah industri di dekat perkampungannya, yang membuat ikan semakin sulit ditemukan.
ADVERTISEMENT