Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten dari Pengguna
Menilik Prinsip Konservasi Lingkungan Laut Masyarakat Hukum Adat Nusantara
23 April 2022 6:07 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Fawaz Muhammad Sidiqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Jauh sebelum berbagai konsep pengelolaan secara inklusif dijelaskan oleh para ilmuwan hari ini, masyarakat hukum adat di sebagian pulau nusantara sudah memiliki sistem pranata sosial ataupun tradisi pengelolaan sumber daya alam secara lestari dan berkeadilan. Masyarakat hukum adat memiliki perhatian serius terhadap pengelolaan sumber daya alam karena berhubungan erat dengan mata pencaharian (livelihood) dan sistem ketahanan pangan mereka (Satria et al., 2017).
ADVERTISEMENT
Sistem yang ternyata diakui dalam konvensi dan kode etik Internasional ini sekalipun tentu saja mengandung kekurangan, memiliki pengaruh kuat dalam menjaga keberlanjutan sumber daya alam dan kerukunan antarkelompok dengan kepentingan berbeda.
Salah satu upaya masyarakat hukum adat dalam menjaga ekosistem laut ialah melalui tradisi Sasi baik laut maupun darat. Sasi berarti larangan, di mana ketika Sasi diberlakukan oleh ketua adat dan pemerintah desa, masyarakat dilarang mengambil beberapa biota di wilayah adat, sebagai wujud pelestarian alam dan menjaga populasi ekosistem tertentu.
Masa berlaku Sasi bisa sampai dua tahun, hingga akhirnya akan kembali dibuka ketika sumber daya alam yang dijaga sampai pada masa panen maksimal. Tradisi ini dilakukan agar sumber daya laut yang dilindungi dapat berkembang biak dengan baik sehingga akan dihasilkan panen dengan kuantitas lebih banyak.
ADVERTISEMENT
Sasi laut masih dapat ditemukan hingga hari ini di Pulau Selaru, Maluku Tenggara Barat. Pulau terluar Indonesia yang terletak di laut Timur berbatasan langsung dengan Australia ini sudah menjalankan Sasi laut sejak era orde baru. Sasi laut tidak diberlakukan untuk semua jenis ikan, melainkan hanya yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti teripang, lola, karang mutiara dan lobster.
Waktu tutup Sasi laut bisa mencapai 3-5 tahun setelah hasil laut dianggap sudah melimpah dan sudah waktunya panen, atau karena adanya kebutuhan pembangunan sarana dan prasarana desa, atau juga mempertimbangkan kebutuhan mendesak masyarakat.
Sanksi bagi yang melanggar Sasi ialah sanksi fisik berupa pukulan dengan sangat keras sebanyak 25 kali menggunakan rotan pada tubuh oleh aparat desa (sanksi ini mulai ditinggalkan setelah berkembangnya konsep Hak Asasi Manusia) dan sanksi fisik lain berupa penyitaan semua hasil laut yang ditangkap dan denda sesuai keputusan aparatur desa. Selain sanksi fisik, terdapat juga sanksi rohani yang bersifat mistik, di mana pelanggar Sasi akan dikutuk oleh leluhur desa dan ditimpa musibah seperti sakit, bahkan meninggal (Mony et al., 2017).
ADVERTISEMENT
Selain tradisi Sasi, pengelolaan lingkungan laut oleh masyarakat adat juga dapat dilihat pada tradisi Abanfan matilon di Pulau Liki, Papua. Abanfan matilon ini sebenarnya mirip dengan sasi, di mana pada periode tertentu diberlakukan pelarangan untuk penangkapan biota yang dikelola yaitu bia lola (sejenis siput laut) karena memiliki nilai ekonomi tinggi.
Proses buka-tutup Abanfan matilon pun disepakati oleh masyarakat adat, setelah mempertimbangkan kelimpahan ekosistem, waktu panen dan kebutuhan masyarakat. Sanksi yang diterapkan bagi pelanggar Abanfan matilon, tidak jauh berbeda dengan sasi di mana terdapat sanksi fisik berupa teguran, atau bahkan pengusiran (bagi selain warga asli pulau liki) dan sanksi rohani dari pemuka agama maupun adat sehingga diyakini para pelanggar Abanfan matilon akan terkena penyakit, bahkan kematian (Mahmud et al., 2007).
ADVERTISEMENT
Prinsip Pengelolaan Berkelanjutan
Tradisi Sasi dan Abanfan matilon sebagaimana dijelaskan sebelumnya, memiliki kesesuaian dengan prinsip pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang banyak dikaji dan dikembangkan oleh ilmuwan hari ini. Dua di antara prinsip yang dimaksud ialah : (1) keseimbangan antara aspek ekologi, sosial dan ekonomi, dan (2) penentuan maximum sustainable yield (MSY) ikan.
Keseimbangan antara aspek ekologi, sosial dan ekonomi merupakan kunci dalam pemanfaatan sumber daya alam secara lestari. Dengan kata lain, pengelolaan sumber daya alam bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, tetapi dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungan atau keberlanjutannya (Nugroho dan Budianto, 2021).
Keseimbangan antara ketiga aspek tersebut akan tercapai jika kebijakan yang diambil oleh pemerintah maupun pengelola sumber daya diputuskan berdasarkan keterpaduan kajian di antara ketiga aspek tersebut. Keterpaduan kajian di antara ketiga aspek menjadi salah satu tantangan yang perlu diselesaikan oleh peneliti dan perumus kebijakan, sehingga tidak ada aspek yang diunggulkan dan tidak diunggulkan pada saat bersamaan (Grilli et al., 2019).
ADVERTISEMENT
Selain itu, secara teoritis terdapat dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumber daya kelautan di berbagai belahan dunia yaitu akses terbuka (open access) dan akses terkendali (controlled access).
Regulasi akses terbuka membebaskan nelayan untuk mengeksploitasi sumber daya kelautan kapan pun dan di mana pun, serta menggunakan instrumen apa pun. Regulasi ini selain mengakibatkan kerusakan sumber daya alam juga menimbulkan adanya konflik sosial di antara pengelola sumber daya.
Sementara itu, regulasi akses terkendali memiliki pendekatan pembatasan input (input restriction) berupa pembatasan jumlah pelaku, jenis dan instrumen; dan pembatasan output (output restriction) yaitu pembatasan jumlah penangkapan berdasarkan kuota tertentu (Atmaja & Nugroho, 2017).
Implementasi dari regulasi tersebut dapat dilihat salah satunya pada kebijakan penentuan Maximum Sustainable Yield (MSY) ikan. Dilakukan pemantauan terhadap stok ikan secara berkala, sehingga jika sudah melewati standar MSY tersebut, penangkapan ikan jenis tertentu masuk pada status overfishing untuk kemudian akan dilakukan berbagai kebijakan sampai statusnya kembali normal (Pontecorvo, 2008)
ADVERTISEMENT
Tradisi Sasi dan Abanfan matilon secara konsep memiliki keseusaian dengan prinsip keseimbangan dan penentuan MSY Ikan. Keseimbangan tiga aspek (ekologi, ekonomi dan sosial) dapat dilihat dari pemilihan jenis biota yang dikelola dan metode penangkapan yang digunakan (ekologi), keterlibatan masyarakat secara luas dalam tradisi yang diadakan (sosial), keadilan dalam proses panen dan pemanfaatan hasil penjualan (ekonomi) dengan memprioritaskan kepentingan umum dibandingkan personal, sehingga menghadirkan kerukunan di antara masyarakat.
Kemudian, penentuan kapan Sasi maupun Abanfan matilon dibuka dan ditutup juga menjadi gambaran praktis dari proses penentuan nilai Maximum sustainable yield (MSY) Ikan. Bahkan, kepatuhan masyarakat terhadap aturan tersebut menjadi nilai yang mahal karena bukan rahasia umum jika saat ini peraturan dibuat seringkali justru untuk dilanggar.
ADVERTISEMENT
Sekalipun begitu, tradisi yang sudah dikembangkan oleh masyarakat hukum adat perlu disempurnakan agar semakin rapi secara administrasi dengan menuliskan peraturan secara tertulis. Sebab selama ini peraturan tersebut masih secara lisan. Termasuk penyesuaian sanksi dengan peraturan yang berlaku secara umum, serta penentuan jenis maupun waktu panen biota yang dikelola berdasarkan formulasi ilmiah sebagaimana berkembang dalam keilmuan mengenai pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Referensi
1. Atmaja, S. B., & Nugroho, D. (2017). Upaya-Upaya Pengelolaan Sumber Daya Ikan Yang Berkelanjutan Di Indonesia. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia, 3(2), 101. https://doi.org/10.15578/jkpi.3.2.2011.101-113
2. Grilli, N. de M., Xavier, L. Y., Jacobi, P. R., & Turra, A. (2019). Integrated science for coastal management: Discussion on a local empirical basis. Ocean and Coastal Management, 167(October 2018), 219–228. https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2018.10.009
ADVERTISEMENT
3. Gupta, J., N. Puow & M. Rose-Tonen. (2015). Towards an Elaborated Theory of Inclusive Development. European Journal of Development Research,27 : 541-559. https://doi.org/10.1057/ejdr.2015.30
4. Mahmud, A et al. 2017. Abanfan Matilon : Kearifan lokal masyakarat pulau liki dalam pengelolaan pesisir. Laut dan masyarakat adat. Kompas. 78-108
5. Mony, A. et al. 2017. Eksistensi Pengelolaan Sasi Laut di Pulau Selaru, Maluku Tenggara Barat. Laut dan Masyarakat Adat. Kompas.
6. Nugroho, Untung dan Budianto. (2021). Perspektif Eksploitasi dan Konservasi dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Indonesia: Menjaga Kelestarian Daya Dukung Lingkungan Atas Eksploitasi Sumber Daya Ikan. Majalah Media Perencana, 2(1), 51-67. Retrieved from https://media-perencana.perencana-pembangunan.or.id/index.php/mmp/article/view/20
7. Pontecorvo, G. (2008). A note on “overfishing.” Marine Policy, 32(6), 1050–1052. https://doi.org/10.1016/j.marpol.2008.03.001
ADVERTISEMENT
8. Satria et al. 2017. Laut dan Masyarakat Adat. Penerbit Buku Kompas; Jakarta.