Konten dari Pengguna

Kematian Mendadak dan Pentingnya Autopsi Forensik

Fayez Ghazi Mutasim Adesta
Saya Fayez Ghazi Mutasim Adesta, lulusan Bachelor of Laws dari International Islamic University Malaysia. Saat ini saya sedang menempuh studi Magister saya di bidang Kajian Terorisme di SKSG, Universitas Indonesia.
17 Februari 2022 20:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fayez Ghazi Mutasim Adesta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Sedikit kupasan mengenai kematian mendadak Mayor Jenderal TNI Abdul Haris Napoleon, Kepala BIN Daerah Papua

Ilustrasi Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini Indonesia dikejutkan dengan kabar duka yang mendalam dari Papua. Mayor Jenderal (Mayjen) TNI Abdul Haris Napoleon, Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua telah meninggal dunia di Rumah Sakit Dian Harapan, Waena Kota Jayapura pada pukul 18:12 WIT.
ADVERTISEMENT
Mayjen Abdul Haris dikabarkan mengalami serangan jantung di Café-Restoran Horex Sentani, Kabupaten Jayapura sekitar pukul 17:40 WIT. Setelah itu, beliau langsung dilarikan ke Rumah Sakit Dian Harapan, Waena, Jayapura untuk mendapatkan pertolongan pertama. Namun takdir berkehendak lain dan beliau dinyatakan meninggal dunia pada pukul 18:12 WIT.
Ini bukan pertama kalinya seorang Kabinda Papua meninggal saat menjalani tugas. Kurang dari satu tahun yang lalu, lebih tepatnya pada tanggal 25 April 2021, Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI I Gusti Putu Danny Nugraha Karya yang pada saat itu menduduki jabatan yang sama meninggal dalam insiden baku tembak dengan kelompok criminal bersenjata (KKB) Papua. Brigjen Putu Danny gugur usai ditembak di bagian kepala. Brigjen Putu Danny yang pada saat itu dalam perjalanan menuju Kampung Dambet ditemani oleh Satgas BIN dan Satgas TNI-Polri tiba-tiba diadang oleh KKB dan saat itulah aksi baku tembak terjadi.
ADVERTISEMENT
Setelah insiden tersebut, jabatan Brigjen Putu Danny kemudian digantikan oleh pendahulunya yang tak lain dan tak bukan Mayjen Abdul Haris Napoleon yang pada saat itu menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Ideologi dan Politik BIN. Selang 10 bulan setelah insiden tersebut, kita kembali mendapatkan kabar duka dengan meninggalnya Mayjen Abdul Haris Napoleon. Kabar duka ini membuat saya berpikir mengenai pentingnya autopsi forensik dan apakah dasar hukumnya.
Autopsi forensik, seperti yang kita ketahui memiliki satu tujuan utama, yaitu menemukan penyebab pasti kematian seseorang. Ada beberapa Pasal di KUHP dan KUHAP yang mengatur mengenai autopsi forensik di Indonesia. Pasal pertama adalah Pasal 222 KUHP yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Pasal 133 KUHAP pun mengatur mengenai ini di mana ia berbunyi sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Pasal 134 KUHAP secara garis besar mengatur mengenai pemberitahuan kepada keluarga korban di mana penyidik wajib menerangkan secara jelas mengenai maksud dan tujuan pembedahan tersebut namun jika setelah kurun waktu dua hari tidak ada tanggapan apa pun dari keluarga atau pihak yang diberi tahu tidak diketemukan, penyidik dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana yang dijelaskan di Pasal 133 ayat (3) di atas.
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan autopsi forensik, kasus tersebut harus sampai tahap penyidikan. Yang berarti, ia harus lewat tahapan penyelidikan terlebih dahulu dan memerlukan bukti permulaan yang cukup. Jikalau tahapan penyelidikan sudah terpenuhi, barulah penyidikan dapat dilakukan guna mencari serta menemukan bukti.
Kembali lagi ke kasus Mayjen Abdul Haris Napoleon. Ini adalah kedua kalinya seorang Kabinda meninggal saat menjalankan tugasnya sebagai Kabinda Papua. Dan kurun waktu antara meninggalnya Kabinda Brigjen Putu Danny dan Mayjen Abdul Haris Napoleon kurang dari 1 tahun. Jadi menurut saya ada sedikit kejanggalan dan kebetulan karena alasan-alasan sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1) Kematian beliau terjadi kurang dari 1 tahun setelah Brigjen Putu Danny, Kabinda Papua sebelumnya meninggal karena baku tembak dengan KKB
2) Beliau meninggal secara mendadak di restoran
3) Tidak adanya surat keterangan dokter yang tersebar di media mengenai apa penyebab kematian beliau
Alasan-alasan di atas mungkin bukanlah alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP. Lantas, ia tidak dapat dijadikan perkara untuk memulai penyelidikan. Maka oleh itu, autopsi forensik menjadi tidak mungkin karena sesuai dengan pasal-pasal yang dijelaskan di atas, untuk memulai autopsi forensik memerlukan kasus tersebut mencapai tahapan penyidikan.
Tulisan ini saya tulis karena saya berpendapat bahwa autopsi, khususnya autopsi forensik amat sangatlah penting, terlebih lagi bila ia melibatkan pejabat tinggi yang bertugas di daerah yang notabene di dalam konflik yang meninggal secara mendadak.
ADVERTISEMENT