Konten dari Pengguna

Aku Ingin Ganti Ayah!

Fayha Afanin Ramadhanti
Mahasiswa Jurnalistik di Politeknik Negeri Jakarta
25 Mei 2022 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fayha Afanin Ramadhanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Pernah terpikir menukar Ayah dengan Ayah tetangga misalnya? Atau Ayah teman? Kalau begitu sama. Otakku berpikir seperti itu karena sudah berada di puncak kekesalan. Dongkol karena Ayah terlalu cuek, dingin, tidak pedulian, keras kepala, egois, sulit diajak bernegosiasi untuk acara atau kumpul keluarga. Saat kuutarakan pada Ibu, Ibu hanya mengangguk-angguk sambil tertawa, tanda setuju, tapi setelah itu menyebutkan kebaikan-kebaikan Ayah dan berkata, ”Ayahmu itu sudah paling sempurna tau!” Mendengarnya aku hanya bisa mendengus.
ADVERTISEMENT
Sampai suatu hari aku perlu kebaya untuk lomba di sekolah. Ayah bela-belain antar menyusuri Plaza Pondok Gede, mal kecil yang terjangkau dari tempat tinggal kami. Walaupun pada akhirnya tidak ditemukan apa yang dicari. Ayah berulang kali bertanya untuk memastikan aku ingin apa sebagai penawarnya. Langkah kakinya hati-hati, memastikan semua toko sudah didatangi. Jadi, siapa bilang Ayah tidak pedulian?
Aku dan Ayah tidak begitu dekat, kami hanya bicara seperlunya. Bisa dibilang aku takut pada Ayah, teman-temanku berpendapat demikian. Mungkin karena sifatnya yang pendiam dan tidak pintar basa-basi. Padahal pekerjaannya guru matematika salah satu SMA di Sunter, jadi seharusnya Ayah lebih jago menangani generasi z dibandingkan dengan Ayah temanku yang bekerja sebagai pebisnis atau arsitek.
ADVERTISEMENT
Hingga tiba saat dimana pandemi menjalar di Indonesia. Kami terpaksa di rumahkan. Peristiwa itu memang memberikan banyak dampak buruk, tapi tidak untuk hubunganku dengan Ayah. Aku merasa sejak Ayah sering berada di rumah kami jadi lebih sering berinteraksi, sesekali melempar candaan. Setelah bisa kusimpulkan, sepertinya sikap Ayah yang seperti itu juga didukung dengan lelahnya perjalanan ke kantor yang jaraknya 17 km dari rumah kami. Apalagi Ayah menempuh perjalanan dengan motor dan sebelumnya disempatkan pula mengantarku ke sekolah.
Ayah mungkin seorang yang dingin, tapi Ayah adalah manusia paling sabar. ”Kok ngga becus amat ya aku jadi anak,” kalimat itu yang terus menghantui pikiranku, menyelimuti keresahanku, saat pertama kali melihat Ayah menangis, dan akulah penyebab utamanya. Ayah boleh jadi kecewa, tapi bisa dipastikan kecewanya tidak sebesar kecewaku pada diri sendiri. Aku bahkan masih ingat jelas suasana hari itu. Tapi keesokan harinya, tatapan Ayah masih teduh seperti biasanya. Itu yang membuatku percaya bahwa cinta tanpa syarat nyata adanya.
ADVERTISEMENT
Ayah mungkin egois, namun tanpa disadari hanya Ayah yang paling mengerti aku. ”Tadi ini diskon di supermarket,” sepulang kerja Ayah memberi kantong berisi susu dan marshmallow, ”yang suka kamu pake buat bikin kue kan?” lanjutnya. Padahal biasanya nampak tidak peduli. Sekedar bertanya atau mencicipi pun tidak.
Ayah juga seorang yang perfeksionis. Tempo hari aku dimintai tolong membuat pas foto untuk keperluan kerjanya. Ayah berdandan rapi. Aku mulai menjepret kamera. Bolak-balik Ayah bertanya, bolak-balik foto-foto itu dicek.
”Cahayanya bagus kan?”
”Jangan terlalu kebawah ya!”
“Burem!”
Seakan trauma dengan keperfeksionisan Ayah, aku memperhatikan setiap detail foto. Hal itu membuatku merenung. Kerutan telihat begitu jelas disana. Terbayang betapa berat tanggung jawabnya. Menjaga keluarga, mencari nafkah yang halal, dituntut untuk selalu bersikap adil, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Aku sadar tidak ada Ayah yang hebat kalau anaknya tidak mau diajak kerja sama. Nasihat mungkin datang dari Ayah, tapi hanya aku yang dapat memutuskan untuk patuh atau abai. Diujung nanti, aku yang akan menikmati lapang atau sempitnya kehidupan. Aku sadar bukan porsi kami untuk menuliskan takdir. Yang penting Ayah sudah berusaha, yang penting aku sudah berusaha.