Muslim atau China : Dilema Jokowi Menghadapi Isu Uighur

Faza Alfansuri
Jurnalis, Content Creator, dan Novelis
Konten dari Pengguna
25 Desember 2019 4:46 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faza Alfansuri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo bersalaman dengan Presiden Cina Xi Jinping, di Beijing, Kamis/m.republika.co.id/(26/3).
Muslim Uighur kembali menjadi perbincangan hangat di dunia internasional, bukan tanpa alasan, China sebagai negara yang menaungi muslim Uighur terindikasi melakukan kejahatan kemanusiaan kepada etnis tersebut. Berawal pada pertengahan November The New York Times menerbitkan dokumen setebal 403 halaman, yang kuat dugaan menggambarkan adanya tindak kekerasan terhadap muslim Uighur di Xinjiang. Dokumen tersebut memuat bagaimana Presiden China, Xi Jinping, pada 2014 meminta para pejabat di bawahnya untuk membalas aksi geriliyawan Uighur sesadis mungkin serta tanpa belas kasihan.
ADVERTISEMENT
Isu ini menggelinding bak bola salju, terutama di negara-negara barat yang mengecam keras tindakan negeri tirai bambu tersebut, terlebih Amerika serikat yang diwakili oleh House of Representatives (HOR) atau DPR nya Amerika Serikat (AS) meloloskan rancangan undang-undang (RUU) soal Uighur, entah apa agenda dibalik rancangan undang-undang tersebut, akan tetapi langkah AS ini yang memicu gejolak isu Uighur di barat kembali memanas, akan tetapi bagaimana dengan negara-negara mayoritas muslim, apa tanggapan mereka soal isu muslim Uighur ini?.
Cuitan Mesut Ozil di Twitter mempertanyakan negara-negara muslim yang bungkam soal isu Uighur, sudah menggambarkan bagaimana negara mayoritas muslim yang tidak memiliki sikap tegas untuk membela, semua negara muslim cenderung berpihak kepada China karena faktor ekonomi, misal Iran yang minyaknya banyak di ekspor ke China, serta China sebagai salah satu investor migas terbesar di Iran. Kemudian negara Arab dan Timur-Tengah lainnya senada dengan Iran, faktor ekonomi jadi dugaan kuat negara-negara muslim bungkam. bahkan Turki sekalipun yang sebelumnya pada tahun 2009 membela perjuangan etnis minoritas Uighur dengan menampung para imigran dari Xinjiang serta membolehkan para etnis Uighur melakukan kegiatan politik di Ankara, akan tetapi pada tahun 2017 menteri luar negeri turki mengeluarkan kebijakan melarang keras etnis Uighur yang hidup di pengasingan, dan di tahun 2019 Presiden turki Erdogan memuji tindakan pemerintah China, alasan nya ada 2 : karena hubungan dengan negara barat memburuk dan ekonomi yang sulit memaksa turki mencari alternatif sekutu perdagangan yang sehat.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana dengan Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia. Pola yang sama terjadi pada Jokowi, orang no satu di republik ini bungkam seribu bahasa, seolah tidak ingin menanggapi isu yang menjadi perbincangan dunia internasional. Alasan nya kuat dugaan sama dengan negara-negara muslim lainya “Ekonomi”.
Melihat data yang dirilis Bank Indonesia terkait utang luar negeri Indonesia kepada negara China periode Agustus 2019, posisi ULN menurut pemberi kredit yang berasal dari China sebesar US$ 16,99 miliar atau setara dengan Rp 239,55 triliun (kurs Rp 14.100). Belum lagi Jokowi ingin melebarkan sayap kerja sama dengan China terkhusus urusan investasi. Jika Jokowi gegabah dalam mengeluarkan sikap atau statement bukan tidak mungkin pihak China akan tersinggung dan memutus kerja sama dengan Indonesia, tapi di sisi lain masyarakat menginginkan sikap tegas Jokowi membela muslim Uighur dan menunggu statement Jokowi soal isu ini, karena sampai saat ini langkah yang di lakukan pemerintahan Jokowi hanya melakukan dialog lunak dengan pihak pemerintah China melalui menteri luar negeri serta elemen MUI dan Muhammadiyah.
ADVERTISEMENT
Patut kita tunggu langkah apa lagi yang akan di lakukan Presiden Jokowi dalam meredam riak-riak dan demonstrasi yang mulai kembali terjadi di berbagai daerah mengenai Muslim Uighur.