Konten dari Pengguna

Karakter Berbeda, Tujuan Sama: Seni Berkolaborasi dalam Tim

Faza Nur Wulandari
Pranata Humas Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
28 April 2025 11:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faza Nur Wulandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Sebuah tim dengan anggota tim yang berbeda-beda karakter memanglah hal yang wajar. Namun, perbedaan menjadi kekuatan untuk membangun tim yang saling percaya.

Ilustrasi by ChatGPT: Anggota Tim yang Saling Percaya dan Melengkapi dari Perbedaan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi by ChatGPT: Anggota Tim yang Saling Percaya dan Melengkapi dari Perbedaan
Bekerja dalam tim dengan berbagai latar belakang dan karakter adalah keniscayaan. Perbedaan itu bisa muncul dari keluarga, budaya, pendidikan, pertemanan, hingga lingkungan tempat tumbuh. Meski kadang menimbulkan gesekan, justru di situlah kekayaan perspektif muncul.
ADVERTISEMENT
Seperti kata KH. Abdurrahman Wahid, “Kemajemukan harus bisa diterima, tanpa ada perbedaan.” Kalimat itu mengingatkan kita bahwa keberagaman bukan penghalang, melainkan kekuatan yang harus dikelola dengan saling pengertian.
Langkah awalnya sederhana: mengenal gaya perilaku dan kepribadian satu sama lain. Ada rekan yang vokal dan suka tampil, ada pula yang lebih nyaman di balik layar. Ada yang percaya diri menyampaikan ide, ada juga yang memilih diam dan menjadi pendukung. Bahkan cara bekerja pun berbeda—ada yang lebih suka bekerja dalam diam, ada yang senang membagikan progresnya.
Karena itu, membangun kedekatan antar anggota tim menjadi penting. Ini bisa dimulai dari aktivitas nonformal seperti hangout atau menjalani hobi bersama. Kedekatan memunculkan kepercayaan, dan dari sanalah komunikasi terbuka lebih mudah tercipta.
ADVERTISEMENT
Dalam ilmu komunikasi, kedekatan dan keterbukaan sangat dipengaruhi oleh konteks komunikasi antarpersonal. Menurut Teori Johari Window yang dikembangkan oleh Joseph Luft dan Harry Ingham, ada empat jendela kesadaran diri dalam relasi: arena terbuka, buta, tersembunyi, dan tak dikenal. Semakin besar “jendela terbuka” melalui komunikasi terbuka dan umpan balik, semakin sehat hubungan dalam tim terbentuk.
Selain itu, dalam ilmu psikologi, hal ini sejalan dengan Social Penetration Theory dari Altman dan Taylor, yang menjelaskan bahwa kedekatan interpersonal terbentuk melalui proses pengungkapan diri secara bertahap. Semakin kita merasa aman dalam lingkungan sosial (seperti tim kerja), semakin dalam informasi pribadi yang berani kita bagikan, yang pada akhirnya memperkuat ikatan emosional dan kepercayaan dalam tim.
ADVERTISEMENT
Tak kalah penting, memahami passion masing-masing anggota juga jadi kunci. Ketika seseorang mengerjakan sesuatu yang sesuai dengan minatnya, hasil kerja akan lebih optimal. Pembagian tugas pun menjadi lebih efektif dan menyenangkan.
Peran pemimpin dalam tim pun krusial. Seorang leader yang baik bukan hanya memberi arahan, tetapi juga menjadi teladan. Ia menciptakan ruang yang aman untuk berkembang, mendorong inovasi, dan memberi kepercayaan pada tim untuk memikul tanggung jawab.
Ini berkaitan dengan konsep Transformational Leadership dalam psikologi organisasi. Seorang pemimpin transformasional tidak hanya fokus pada hasil, tetapi juga menginspirasi, memberi perhatian individual kepada anggota tim, dan menciptakan visi bersama. Pemimpin seperti ini cenderung meningkatkan motivasi intrinsik dan komitmen anggota tim terhadap tujuan kolektif.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif komunikasi organisasi, pemimpin memiliki fungsi sebagai “komunikator strategis” yang mengelola arus informasi, membangun makna bersama, dan menciptakan budaya kerja yang sehat. Komunikasi yang asertif dan empatik dari pemimpin terbukti mampu meningkatkan kelekatan emosional anggota tim terhadap visi bersama.
Jangan lupakan pula nilai-nilai penghargaan. Sebuah pujian tulus bisa berdampak besar. Apresiasi, sekecil apa pun, membuat seseorang merasa dihargai dan termotivasi. Sebaliknya, pengabaian bisa membuat semangat luntur perlahan.
Dalam kerangka Teori Kebutuhan Maslow, rasa dihargai atau esteem adalah kebutuhan psikologis penting setelah kebutuhan dasar dan rasa aman. Ketika seseorang merasa diakui kontribusinya, harga diri mereka naik—dan ini berdampak positif pada keterlibatan dan loyalitas dalam bekerja.
Pada akhirnya, saat saling mengenal dan menghormati sudah menjadi budaya tim, rasa memiliki pun tumbuh. Komitmen bukan lagi soal kewajiban, tapi panggilan hati. Fokus tim pun akan bergeser—bukan sekadar menyelesaikan tugas individu, tapi meraih tujuan bersama.
ADVERTISEMENT