Konten dari Pengguna

Iitoko Dori : Adopsi dan Singkronisasi Budaya Asing di Jepang

febra Hamidah Putri
Mahasiswa S1 Universitas Airlangga Prodi Studi Kejepangan
7 Oktober 2024 8:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari febra Hamidah Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi pernikahan di Jepang yang mengadopsi gaya Barat (source: canva)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi pernikahan di Jepang yang mengadopsi gaya Barat (source: canva)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jepang adalah negara yang memiliki banyak budaya dan tradisi, akan tetapi Jepang juga merupakan negara yang memiliki kemampuan untuk mengadaptasi dan meyingkronisasikan budaya atau elemen asing terhadap budaya yang ada di Jepang. Konsep yang digunakan dalam adaptasi budaya asing ini disebut dengan dengan iitoko dori ( いいとこ取り). Kata iito (いいと) yang berarti “poin yang baik” sedangkan dori (取り) berarti mengambil. Iitoko dori ( いいとこ取り) sendiri adalah pengadaptasian elemen asing dari luar negeri (Japanese mind 2002:127). Meskipun proses adapatasi ini mengambil budaya atau elemen asing dari luar akan tetapi Jepang tidak serta-merta mengambil seluruh budaya kemudian diterapkan dalam budaya atau tradisi di Jepang, namun proses ini cendurung akan menyaring elemen-elemen atau budaya yang dirasa baik ataupun positif kemudian akan disesuaikan dengan nilai-nilai, tradisi, budaya Jepang yang sudah ada sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Fenomena iitoko dori ini adalah salah satu faktor pembentuk identitas dan budaya Jepang. Kemampuan dalam mengambungkan elemen-elemen asing dengan tradisi di Jepang bahkan tanpa menghilangkan identitas asli dari budaya Jepang adalah cerminan dari masyarakat yang membentuk identitas Jepang saat ini. Kemampuan masyarakat Jepang dalam mengadaptasi budaya asing adalah salah satu yang membantu Jepang bangkit dari kondisi ekonomi yang buruk saat pemerintahan Tokugawa. Ekonomi, industri, teknologi di Jepang bisa berkembang sangat pesat karena adanya konsep iitoko dori yang sudah diterapkan dan menjadi kebiasaan dari masyarakat Jepang. Selain itu, Jepang juga mampu menyelaraskan dua agama yaitu Buddha dan Shinto melalui konsep iitoko dori.
Jepang penah mengalami ketertinggalan saat Jepang dikendalikan oleh samurai selama 150 tahun lamanyaa. Jepang mengalami peningkatan industrialisasi serta teknologi, sulit dibayangkan apabila melihat keadaan Jepang yang dulu. Saat restorasi meij, dikatakan bahwa itu adalah awal mula dari modernisasi yang terjadi di Jepang. Banyak yang berpendapat bahwa negara-negara yang sebelum bekembang kemudian menjadi negara yang maju disebabkan karena negara tersebut mengadopsi teknologi dari negara yang sudah lebih maju, hal tersebut juga dilakukan oleh Jepang. Meskipun dikatakan demikian bnayak juga negara yang telah melakukan hal yang sama namun, tidak berhasil memondernisasikan negara mereka dengan cara ini. Negara-negera tersebut misalnya Singapura, Taiwan, Hongkong, dan Korea. Selain itu, China dan India juga merupakan negara yang memiliki hubungan dengan peradaban Barat lebih dahulu akan tetapi Jepang masih lebih unggul dalam keberhasilan dan kesuskesan Ekonomi. Hal tersebut dapat terjadi karena Jepang memiliki meliki dasar yang baik sebelum menerima semua teknologi dan industrialisasi yang diadopsi dari barat. Saat pemerintahan Tokugawa Jepang sudah memiliki industri rumah tangga dan juga sistem keuangan yang sudah berkembang dan dikatan cukup baik, sehingga saat Jepang mengadopsi “elemen asing” dari peradaban Barat, Jepang hanya perlu menyesuaikan atau menyelaraskan seuai dengan tradisi lama yang sudah ada di Jepang.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya Maysarakat Jepang adalah pemeluk agama shinto. Air terjun, batu, topan, gunung, dan fenomena alam atau aspek-aspek alam lainnya adalah konsep dari dewa atau pemujaan yang ada di shinto. Pada abad ke-6, masyarakat jepang mulai menemui agama baru yaitu Buddha, namun masyarakat menyadari bahwa apabila mereka memeluk agama baru maka akan timbung masalah yang serius bagi kekaisaan untuk mempertahankan posisinya sebagai yang tertinggi di Jepang yang ada dalam mitos Shinto. Adanya Buddha ini juga menimbulkan masalah yang serius bagi politik di Jepang. Awal terjadinya parktik dari Fenomena iitoko dori ini dituliskan dalam “Konstitusi tujuh belas pasal” yang terjadi pada awal abad ke-7 yang berhubungan dengan kaisar Shotoku Taishi. Pangeran Shotoku sendiri adalah keponakan dari Kaisar Suiko. Pangeran Shotoku menemukan cara agar agama Buddha dengan sistem kekaisaran bisa berdampingan, agae keduananya bisa berdampingan dengan konfusiansieme yaitu sistem kepeceryaan yang diadopsi Jepang dari China. Baik Buddha maupun konfusianisme yang diadopsi dari China, keduanya diadopsi dengan menggunakan konsep iitoko dori, yaitu menggambil elemen yang paling baik dan sesuai untuk peradaban Jepang. Pangeran Shoroku mengatakan bahwa “Shinto adalah batang, Buddha adalah cabang, dan Konfusianisme adalah daun” (Roger J. Davies & Osamu Ikeno, Japanese mind 2002:128). Dengan adanya pendekatan ini, masyarakat Jepang bisa menerima nilai-nilai agama, filosofi, dan budaya yang baru, dengan itu orang Jepang mampu menerima budaya dan tradisi baru dari negara lain tanpa terhalang dengan prasangka agama. Hal tersebut manjadi dampak yang besar bagi pembangunan identitas dan mentalitas masyarakat Jepang.
ADVERTISEMENT
Di Jepang, sudah banyak tradisi yang diambil dari elemen-elemen asing sesuai dengan konsep iitoko dori. Tradisi-tradisi tersebut bisa banyak dilihat dari tradisi-tradisi modern di Jepang saat ini, contohnya seperti perayaan natal dan perayaan pernikahan. Di Jepang, mayoritas masyarakatnya menganut Shinto dan Buddha, meskpun begitu saat perayaan natal banyak juga yang merayakan natal akan tetapi perayaan natal di jepang ini diubah maknanya, bukan sebagai perayaan keagaman tetapi lebih seperti perayaan sebagai hari romantis serta digunakan untuk berkumpul dengan orang tersayang baik keluarga, pasangan, maupun teman. Meskipun natal di Jepang digunakan sebagai hari romantis tetapi hiasan natal, pohon natal, dekorasi khas natal tetap banyak dipasang di Jepang. Perayaan natal ini sebenernya lebih populer di kalangan generasi muda. Dalam hal ini konsep iitoko dori sangat jelas terlihat yang mana jepang mengadopsi nuansa dan elemen-elemen natal akan tetapi mengubah makna sesuai dengan budaya Jepang dan bukan sebagai perayaan keagamaan. Selain perayaan natal, pernikahan dengan gaya barat juga populer di Jepang. Pernikahan tradisional di Jepang yang seharusnya dilaksanakan di kuil dengan menggunakan kimono dan dengan ritual-ritual tradisional jepang, namun akhir-akhir ini banyak pasangan di Jepang memilih untuk merayakan pernikahan dengan gaya Barat. Pernikahan yang dilakukan di Gereja, menggunakan gaun putih, serta musik-musik ala barat tapi mereka tetap melakukan ritual Shinto sesuai tradisi yang ada. Konsep iitoko dori dari fenomena pernikahan gaya barat ini terlihat jelas. Pasangan di Jepang banyak yang memilih pernikahan gaya Barat ini karena terlihat lebih mewah dan mahal, Perayaan pernikahan ala barat ini serta ritual Shinto yang tetap dilakukan oleh pasangan di jepang menunjukan bahwa masyarakat Jepang tetap mempertahankan tradisi dan budaya yang sebelumnya sudah ada.
ADVERTISEMENT
Konsep iitoko dori sudah ada sejak dahulu yang membentuk identitas masyarakat Jepang. Adanya konsep ini dimana Mayarakat Jepang hanya mwngadopsi elemen luar dan masih mempertahankan tradisi dan budaya asli Jepang, melalui konsep ini Jepang mampu mengintregasikan banyak pengaruh positif dari luar baik dalam aspek agama, budaya, ekonomi, dan lainnya dan mampu untuk mempertahankan idetitas aslinya. Pada pemerintahan Tokugawa, konsep iitoko dori ini berperan sangat penting untuk modernisasi Jepang ssat itu. Melalui konsep ini Jepang mampu menyerap dan mengembangkan pengaruh-pengaruh teknologi dari Barat ssat itu dan mampu mengembangkannya dalam bidang ekonimi sehingga Jepang mengalami kemajuan ekonomi, teknologi serta industri. Konsep iikoto dori ini mampu memantu Jepang dalam mengatasi masalah globalisasi karena dari konsep ini menunjukan bahwa Jepang memiliki flesibilitas dalam budaya. Hal tersebut bisa menjadi kekuatan untuk Jepang dalam menghadapi isu-isu globalisasi yang ada.
ADVERTISEMENT