Ketika Manusia Perahu Menjadi Makanan Ikan di Laut Medeterania

Jessy Febriani
Mahasiswa Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
1 Desember 2020 13:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jessy Febriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kapal pengangkut imigran ilegal di Laut Medeterania | Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kapal pengangkut imigran ilegal di Laut Medeterania | Freepik.com
ADVERTISEMENT
Kegiatan migrasi bahkan eksodus baik secara legal maupun ilegal telah menjadi budaya bagi sebagian masyarakat dunia. Terutama bagi para pengungsi yang tidak dapat lagi tinggal di negaranya akibat konflik yang terjadi. Para imigran yang menyeberangi lautan ini kerap disebut juga sebagai manusia perahu.
ADVERTISEMENT
Menurut jurnal penelitian Herman Suryokumoro, dkk. yang berjudul Urgensi Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal di Indonesia Sebagai Negara Transit Berdasarkan Konvensi Tentang Status Pengungsi 1951 bahwa dorongan utama sekelompok orang bermigrasi adalah naluri ilmiah manusia untuk mencari keamanan. Mencari rasa aman ke negeri orang meski harus menyeberangi lautan.
Kejadian kapal karam hingga terbalik terhempas ombak menewaskan diantaranya perempuan dan anak-anak. Tragedi tewasnya para pengungsi yang berlayar menyeberangi lautan luas ini menjadi masalah abadi. Selalu ada dan sulit dikendalikan. Jasad yang tidak bisa ditemukan kemungkinan besar akan dimakan ikan di lautan dalam.
Seperti yang terjadi kepada para pengungsi asal Afrika yang mencoba menyeberangi lautan untuk mencapai Eropa. Dengan alasan mencari kehidupan yang layak, para pengungsi memulai perjalannya dari Libya. Ratusan hingga ribuan pengungsi tenggelam ke dalam dinginnya Laut Mediterania.
ADVERTISEMENT
Salah satu video yang tersebar di media yaitu cuplikan seorang ibu yang histeris mengetahui anaknya hilang setelah kapal mereka karam. “I lose my baby. Why my baby?” teriak perempuan tersebut sambil mencoba melihat dasar lautan. Ibu itu harus kehilangan buah hatinya setelah kapalnya karam.
Miris dan menyayat hati.
Situasi manusia perahu saat mengarungi lautan mengingatkan saya pada buku Weeping: Under This Same Moon yang ditulis oleh Jana Laiz. Cerita yang dibuat berdasarkan kisah nyata ini menceritakan bagaimana seorang gadis asal Vietnam bernama Phoung Mei yang meninggalkan keluarganya untuk mencari suaka baru akibat perang yang terjadi di Vietnam.
Seringkali alasan sebuah suku atau etnis yang merasa lebih besar dan berpengaruh menjadi alasan terjadinya konflik. Etnosentrisme masih kekal. Tidak ada obat yang paling baik dari penyakit ini selain menganggap manusia sebagai manusia.
ADVERTISEMENT
Mengarungi lautan ganas dengan perahu tak layak dan pasokan makanan terbatas bukan hal wajar bagi manusia. Belum lagi kelebihan muat kapal karena menampung terlalu banyak pengungsi. Berdesak-desakan dalam kurun waktu berminggu-minggu.
Menurut kisah Phim, perahu kayu yang ditumpanginya sudah tua. Saat menaiki perahu, setiap pengungsi berdesakan mencari tempat yang aman. Meski hanya rasa aman yang semu karena jika perahu yang dinaiki terbalik, maka semua orang akan tetap jatuh ke laut. Kurangnya air minum, makanan yang mulai busuk menambah penderitaan para manusia perahu.
Belum lagi cuaca di lautan yang sulit diprediksi. Badai akan mengingatkan mereka pada kematian. Ketika paus menampakkan dirinya, tidak seperti para penyelam atau wisatawan yang kegirangan, para pengungsi dihantui ketakutan. Mereka khawatir kapalnya tidak akan bertahan jika dihantam ikan raksasa itu.
ADVERTISEMENT
Jika pengungsi tidak dapat mencapai negara tujuannya, hanya ada dua kemungkinan, yaitu tertangkap penjaga dan dikembalikan ke negara asalnya atau mereka tertangkap ombak lautan dan tidak bisa kembali ke permukaan. Terseret ombak hingga ke pantai atau tenggelam bersama ikan-ikan.
Sejak 2014, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mencatat lebih dari 200.000 orang tewas di Laut Mediterania. Hal ini menjadikan Laut Mediterania menjadi mengerikan dan mematikan. Libya menjadi dermaga pertama keberangkatan para pengungsi asal Afrika yang ingin lari dari negaranya. Negara tujuannya adalah negara-negara Eropa, seperti Italia, Yunani, dan Spanyol. Sementara pada tahun 2020 saja, kasus pengungsi yang tenggelam di Laut Mediterania mencapai 900 korban jiwa.
Melihat mayat-mayat yang tersapu ombak bersama serpihan kapalnya merupakan penampakan yang menyayat hati Mei sekaligus bukan hal yang mengejutkannya. Mereka hanya berharap dan berdoa kejadian tersebut tidak menimpa keluarganya. Bukan tidak memiliki empati, tetapi kejadian itu mereka sadari akan terjadi.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, migrasi ilegal memiliki dampak terhadap sebuah negara, seperti dapat mengancam kedaulatan, keamanan, kehidupan sosial dan ekonomi, bahkan dapat mengancam ideologi suatu bangsa. Namun berdasarkan Text of the 1951 Convention Relating to the Status of Refugees bahwa hak pengungsi sebagai manusia perlu tetap dilindungi, yaitu hak untuk hidup dan merasa aman.
Pemerintah dunia melalui PBB membentuk United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) untuk menjamin hak-hak pengungsi tersebut. UNHCR menjalankan tugas sebagai pencari solusi dan mengkoordinasi langkah internasional dalam menyelesaikan permasalahan pengungsi. Tidak hanya bantuan mencarikan status pengungsi, tetapi juga meliputi bantuan mental, pendidikan, dan pelatihan untuk para pengungsi bisa bertahan hidup.
Selain itu, PBB juga membentuk International Organization for Migration (IOM) yang juga fokus pada pemenuhan hak pengungsi. IOM dan UNHCR memiliki tujuan yang sama namun sistem kerja yang berbeda. Kedua organisasi terseb
ADVERTISEMENT
t perlu memiliki batasan yang jelas agar dapat memaksimalkan setiap aspek pekerjaannya. Namun, izin dan koordinasi dari sebuah negara atas kedua organisasi ini menjadi poin penting lainnya.
Mengenai kejadian yang terjadi di Libya, dimana banyak pengungsi yang tenggelam saat mencoba menyeberangi Laut Mediterania. IOM menyayangkan kebijakan pemerintah Libya yang tidak terbuka terhadap bantuan badan atau organisasi asing untuk melakukan penyelamatan lebih cepat. Dalam hal ini, fasilitas kru penyelamatan Libya dianggap belum cukup untuk mengatasi masalah ini.
Pergolakan yang terjadi di Laut Mediterania dirasa memiliki andil terhadap banyaknya batasan yang diberlakukan pemerintah Libya terhadap bantuan asing. Setidaknya jika tidak ingin menerima bantuan asing, pemerintah Libya perlu menambah sumber daya manusianya. Dengan sumber daya yang lebih diharapkan pengawasan akan lebih ketat dan misi penyelamatan lebih cepat dilakukan.
ADVERTISEMENT
Kejadian ini seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi seluruh negara di dunia, khususnya negara yang memiliki perairan yang menjadi jalur pelayaran, seperti Indonesia. Bahwa masalah ini akan selalu ada sehingga perlu adanya tindakan preventif dan antisipatif agar tragedi seperti yang terjadi di Laut Mediterania tidak kembali terulang karena ini mengerikan.