Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Kelab Malam atau Restoran: Potensi Pendapatan Pajak Hiburan yang Tersembunyi
5 Februari 2025 17:40 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Febrianti Elizabeth Pandiangan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Live Music di Kelab Malam (Sumber: Pexels)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkas8v8xg9mhjgyvgbecj9r6.jpg)
ADVERTISEMENT
Hiburan merupakan suatu hal yang bisa membuat seseorang merasakan kebahagiaan, kesenangan atau kegembiraan dalam dirinya. Orang yang mencari hiburan terkait erat dengan pencarian keseimbangan dalam hidup, baik dalam hal emosional, sosial, maupun mental. Hiburan datang dalam berbagai bentuk yang bisa disesuaikan dengan minat, suasana hati, dan konteks sosial seseorang. Dari berbagai jenis hiburan yang ada, hiburan musik dan sosial dapat ditemukan dalam hiburan di malam hari yang lebih dikenal dengan kelab malam.
ADVERTISEMENT
Kelab malam disebut sedemikian rupa karena kegiatan operasionalnya dimulai pada malam hari. Pengunjung menikmati hiburan berupa live music oleh band sekitar pukul 23.00 dan oleh disjoki (DJ) pada pukul 01.00 hingga 03.00. Terlepas dari perspektif sosial terhadap baik dan buruknya, tempat ini merupakan salah satu bentuk kegiatan rekreatif yang semakin populer di berbagai kota besar di Indonesia.
Jasa hiburan di kelab malam termasuk dalam daftar hiburan yang dikenakan pajak. Pengenaannya berasal dari kemampuan seseorang untuk ‘membeli’ kenikmatan dari hiburan tersebut. Tidak terbatas pada kemampuan finansial itu saja, pajak hiburan di kelab malam juga bertujuan untuk mengontrol eksternalitas negatif yang mungkin muncul dari hiburan tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), kelab malam merupakan salah satu tempat yang menyediakan jasa kesenian dan hiburan. Jasa ini merupakan bagian dari Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang pengenaan pajaknya menjadi wewenang Pemerintah Daerah. Sebelumnya, pajak atas kesenian dan hiburan ini disebut pajak hiburan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Untuk mempersingkat penyebutan, selanjutnya pajak hiburan akan tetap digunakan dalam penulisan ini.
ADVERTISEMENT
Subjek pajak hiburan ialah konsumen jasa hiburan, sedangkan wajib pajaknya ialah orang pribadi atau Badan yang melakukan penyerahan jasa hiburan. Artinya, yang dikenakan pajak hiburan ini adalah penikmat hiburan di kelab malam, sedangkan pihak yang wajib memungut dan menyetorkan pajak hiburan tersebut ke kas daerah adalah penyelenggara kelab malam.
Tarif pajak hiburan di kelab malam mempunyai tarif pajak hiburan paling tinggi dibanding pajak hiburan lainnya, yaitu paling sedikit 40% dan paling besar 75%. Pemerintah Daerah dapat menetapkan tarif pajak hiburan melalui Peraturan Daerah masing-masing. Kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya menetapkan tarif pajak hiburannya sebesar 40%.
Meskipun dengan tarif yang besar, nampaknya otoritas pendapatan daerah tidak banyak fokus pada pajak hiburan ini. Akibatnya, potensi pendapatan asli daerah (PAD) tidak terealisasi semaksimal mungkin. Pengawasan yang longgar juga membuat kepatuhan wajib pajak hiburan di kelab malam menjadi rendah.
ADVERTISEMENT
Kelab malam mempunyai prosedur masuk masing-masing. Ada yang menggunakan harga tiket masuk (HTM), ada yang tidak. Namun, kelab malam umumnya mewajibkan minimum payment. Apakah ada yang kenal dengan istilah open table? Nah, istilah ini juga digunakan untuk mengenakan pemesanan minimal agar pengunjung mendapatkan meja dan kursi untuk duduk di kelab malam tersebut. Jika ingin yang lebih premium, pengunjung kelab malam juga bisa membeli paket open sofa.
Paket-paket ini biasanya memberikan penawaran yang bervariatif, mulai dari jenis dan jumlah makanan, minuman, dan layanan tertentu, seperti lady companion (LC) bahkan sekuriti di beberapa kelab malam besar. Bagi pengunjung yang tidak kebagian spot (meja/sofa), biasanya akan duduk di bar atau bahkan berdiri selama masih menikmati hiburan di sana.
ADVERTISEMENT
Pemesanan minimal tanpa open table/sofa ialah sekitar Rp150 ribu hingga Rp300 ribu per orang. Open table memerlukan pemesanan minimal umumnya sekitar Rp400 ribu hingga Rp1,5 juta, tergantung kapasitas meja dan kursi yang disediakan. Open sofa memerlukan pemesanan minimal sekitar Rp2 juta hingga Rp3 juta. Di kelab malam besar, tarif ini bisa lebih mahal. Pemesanan minimal ini tidak sama setiap hari. Hari libur akan lebih mahal, terutama jika ada bintang tamu.
Pengunjung yang memenuhi pemesanan minimal ini akan mendapatkan minuman dan/atau makanan sesuai dengan pemesanannya. Di sinilah permasalahannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan penikmat kelab malam, pengunjung membayar pemesanan minimal dengan tambahan service charge dan ‘pajak’ yang totalnya tidak lebih dari 30% dari total pemesanan minimal. Hal ini dapat menunjukkan bahwa tarif pajak tersebut bukanlah tarif pajak hiburan kelab malam.
ADVERTISEMENT
Kelab malam yang seharusnya memungut 40% dari pemesanan minimal tersebut justru mengenakan tarif yang jauh lebih rendah, yaitu sebesar 10% atas pesanan pengunjung. Artinya, pajak yang dikenakan justru atas penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman, bukan atas hiburan live music yang dinikmati oleh pengunjung sebagaimana seharusnya pajak hiburan dikenakan. Pengunjung seakan mendapatkan bonus hiburan setelah membeli makanan dan/atau minuman.
Berdasarkan UU HKPD, Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/ atau keramaian untuk dinikmati. Dalam hal ini, kelab malam termasuk dalam jasa tersebut. Namun, dengan biasnya apa yang dikonsumsi pengunjung dalam proses bisnis kelab malam dapat memicu penggunaan tarif yang salah.
ADVERTISEMENT
Kelab malam yang beroperasi pada malam hari, biasanya akan tutup saat siang hari. Namun, ada kelab malam yang saat siang hari beroperasi sebagai restoran. Hal ini yang dapat memicu penggunaan tarif 10% tersebut. Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang didaftarkan saat menjadi wajib pajak daerah adalah KLU Restoran. Tari Pajak Restoran dalam UU HKPD diatur sebesar 10%. Siang hari beroperasi menjadi restoran, tetapi saat hari hampir berganti, restoran tersebut mulai menjalankan operasional kelab malam.
Pajak hiburan di kelab malam sebenarnya menunjukkan potensi pajak yang cukup besar. Sebagai ilustrasi, sebuah kelab malam berkapasitas 4 meja kecil, 15 meja sedang, dan 7 meja besar dengan pembayaran minimal Rp600 ribu, Rp900 ribu, dan Rp1,2 juta. Kelab malam tersebut juga memiliki 5 sofa sedang dan 5 sofa besar dengan pembayaran minimal Rp1,5 juta dan Rp2,5 juta.
ADVERTISEMENT
Dengan perkiraan 80% dari total meja dan sofa terisi saat hari kerja dan 100% saat akhir pekan, serta satu bulan terdiri atas empat pekan, maka total penjualan dalam sebulan ialah sekitar Rp318,96 juta. Jika Pemerintah Daerah tersebut menetapkan tarif 40%, maka pajak hiburan yang seharusnya dipungut oleh wajib pajak pada bulan tersebut sebesar Rp127,58 juta. Namun, jika tarif yang digunakan adalah 10%, maka pajak yang dipungut adalah sebesar Rp31,89 juta. Terdapat selisih Rp95,69 juta yang sangat signifikan bagi penerimaan pajak daerah.
Untuk itu, perlu adanya intensifikasi atas pajak hiburan. Pengawasan terhadap operasional hiburan malam masih tergolong lemah di beberapa daerah. Bukan hanya kelab malam yang tidak mendaftarkan diri menjadi wajib pajak, tetapi juga wajib pajak yang menggunakan tarif yang tidak sesuai dengan penyerahan jasa yang diberikan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Daerah, khususnya otoritas pajak daerah seperti Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), sebaiknya melakukan cek lapangan terhadap restoran-restoran yang berpotensi menjalankan kelab malam. Bapenda dapat melakukan pendekatan-pendekatan terbaik untuk menjangkau kelab malam agar menjadi ‘mitra’ dalam meningkatkan pendapatan daerah.
Dengan demikian, diharapkan pengelolaan pajak hiburan malam dapat menjadi lebih efektif dan adil, serta memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendapatan daerah.